Mang Sawal Goes Blog
Facebook "Al Nursyawal"
02 April 2024
24 Maret 2024
Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia
Oleh : Nursyawal
22
Februari 2024, para pelanggan layanan bioskop dalam jaringan yang dikelola
perusahaan over the top Netflix di seluruh dunia, berbondong-bondong
menyaksikan tayangan perdana versi hidup dari serial kartun “Avatar: The Last
Air Bender” yang pernah populer Tahun 2005 silam. Situs goodstats.com mencatat,
penonton tayangan perdana itu mencapai lebih 21 juta pengguna. Trailernya di
platform youtube mencari hampir 10 juta kali ditonton.
Dalam
setting ceritanya, film ini mengisahkan dunia imajiner yang terbagi dalam 4
unsur dasar alam, yaitu negara api, negara air, negara angin, dan negara tanah.
Masing-masing negara itu terdiri dari warga negara yang menguasai teknik
pengendalian unsur alam secara maksimal. Jadi, di negara angin, warga negaranya
memiliki kemampuan mengendalikan angin tapi tidak menguasai pengendalian unsur
alam lainnya. Sebagai penyeimbang dari seluruh unsur dasar itu, ada kelompok
pendeta yang dapat mengendalikan seluruh unsur alam itu. Mereka disebut Avatar.
Plot flim berpusat pada seorang remaja bernama Aang yang merupakan keturunan terakhir
pendeta Avatar, setelah pendeta lainnya gugur dalam peperangan yang dilakukan
oleh Negara Api. Aang yang masih remaja, hanya menguasai pengendalian udara, jadi
mengembaralah ia mencari sumber-sumber ilmu, pengetahuan dan keahlian untuk
mengendalikan unsur-unsur alam ke seluruh penjuru dunia agar takdirnya sebagai
penyeimbang alam semesta dapat ditunaikan. Mengetahui keberadaan avatar
terakhir, tentara negara api melakukan operasi perburuan terhadap Aang agar
dominasinya terhadap negara-negara lain tetap terpelihara.
Film
ini mengambil Cosmogony tentang Cinta dan Pertikaian sebagai dua elemen yang
saling mengimbangi di alam semesta. Cosmogony dari Filsuf Yunani sebelum
Sokrates, Empedocles yang juga menyampaikan teori tentang empat unsur dasar
alam: tanah, air, udara dan api (Britannica). Secara umum, film serial Avatar
berkisah tentang bagaimana keahlian, pengetahuan dan ilmu digunakan untuk mendominasi
dunia.
Sejak
lama pengetahuan disebut sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan. Idiom ini
dibukukan Francis Bacon dalam bukunya Novum Organum Tahun 1620, dengan
“knowledge is power” (Law, 2007:126). Tentu saja kekuatan itu datang bukan dari
pengetahuan yang diperoleh dengan cara serampangan, melainkan menurut Bacon,
pengetahuan hasil induksi, yang diperoleh melalui pengamatan dan pengujian
berkali-kali (White, 2014:7).
Komunikasi Ilmu
Pengetahuan
Seperti
halnya Bacon, Robert K. Merton (1948), menyebut sudah seharusnya ilmu
pengetahuan menjadi milik publik karena pengetahuan adalah hasil kerja kolektif
dan kumulatif dari komunitas ilmuwan, dan ilmuwan tidak memperoleh rekognisi dari
dirinya sendiri melainkan dari publikasi yang dapat diakses bebas oleh
masyarakat. Juga karena melalui pengetahuanlah
masyarakat membentuk dirinya. Prinsip ini merupakan salah satu dari apa
yang disebut Etika Merton atau Empat Norma Kecendikiawanan Merton (institutional
imperative). Yang pertama, universalism, kecendikiawanan seharusnya
dinilai dari hasil temuannya bukan dari ras, kebangsaan, atau posisi sosialnya.
Yang ke dua, disinterestedness, fokus utama cendikiawan adalah membangun
pengetahuan, pada kemajuan pemahaman, bukan keuntungan pribadi atau ketenaran.
Prinsip ke tiga, organized scepticism, kecendikiawanan terbangun melalui
pemeriksaan klaim secara kritis, mempertanyakan asumsi, menguji hipotesis
dengan ketat. Karena keraguan dan penyelidikan mendorong kemajuan ilmiah. Yang
ke empat, communism, bahwa pengetahuan merupakan milik bersama dan hasil
kolaborasi kolektif. Para ilmuwan harus berbagi temuan mereka secara terbuka,
menciptakan lingkungan kerja sama daripada menyimpan informasi (Bucchi, 2021:19).
Praktik
membuka lebar informasi tentang pengetahuan sudah menjadi tradisi sejak jaman Mesopotamia,
5000 tahun yang lalu, ketika pengetahuan dipahatkan dalam papan tanah liat.
Kemudian berlanjut ketika Kaisar Yunani, Alexander Agung, membangun sebuah
tempat yang menampung naskah-naskah kajian akademik dari mana saja kemudian
dikelompok-kelompokan berdasarkan kesamaan isinya. Menurut White (2014:3), praktik
ini adalah sebuah model pengembangan ilmu pengetahuan. Yaitu, mengelompokkan
infomasi (classifications), memeriksa keaslian dan kebenaran sumber (provenance)
membuka akses kepada semua orang (access) keragaman gagasan (universality).
Model ini yang merupakan bagian dari praktik komunikasi ilmu pengetahuan.
Tentunya,
etika Merton itu, mendapat tantangan besar di era digital dan internet saat
ini. Massimiano Bucchi (2021: 21) menyebut, secara tradisional, pengetahuan
dinilai sebagai public goods (barang milik publik) namun saat ini pengetahuan
telah bergeser menjadi private goods (barang milik pribadi) yang
dilindungi skema Hak Kekayaan Intelektual. Bucchi menyebutnya science 1.0
sebagai fase tradisional, dan science 2.0 ketika terjadi pergeseran pandangan tentang
kepemilikan pengetahuan dan penyebaran informasinya kepada publik.
Sebelum Bucchi, White (2014) telah mengeksplorasi dampak
media digital pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Baik ekonomi, politik, dan sosial, serta menyoroti
peluang dan tantangannya. Dalam bukunya, White membahas bagaimana media digital
mengubah komunikasi, perdagangan, dan norma-norma budaya. Menurut White, selain
memungkinkan konektivitas global dan pengalaman yang unik untuk masing-masing
penggunanya, digitalisasi juga menimbulkan kekhawatiran tentang ruang privasi,
informasi yang salah, dan kecanduan gawai (adiksi). Secara khusus, White membahas
transformasi dunia akademik akibat digitalisasi, yaitu bagaimana penguasaan informasi
ilmiah telah berpindah dari lembaga publik ke platform digital swasta, yang
berdampak pada etos pembangunan pengetahuan. Serta pergeseran materi akademik
ke organisasi komersial sehingga mengaburkan batas-batas antara ruang
pengetahuan publik dan privat. Termasuk potensi risiko terhadap proses
pemufakatan akademik seperti pemeriksaan (provenderence) dan klasifikasi
ilmu (classification) serta menekankan perlunya informasi yang kredibel
di era digital sebab setiap orang saat ini dapat memproduksi informasi.
Sinyalemen White dan Bucchi tentunya berdasar. Merujuk
hasil riset Michael Gusenbauer (2019), Google Scholar diperkirakan menyimpan
kurang lebih 389 juta jurnal dan artikel ilmiah dalam databasenya, sehingga menjadikannya
sebagai mesin pencari informasi akademik yang paling komprehensif
(idntimes.com). Jumlah ini mencakup berbagai disiplin ilmu dan sumber, termasuk
artikel, tesis, buku, abstrak, dan opini pengadilan. Berdasarkan informasi yang
dapat diperoleh melalui mesin pencarian Google, Google sendiri menyimpan
sekitar 15 Exabyte data atau 15 juta Terabyte. Google memiliki 12 instalasi
pusat data di Amerika Serikat (google.com). Data yang disimpan oleh Google
mencakup berbagai jenis informasi, mulai dari permintaan pencarian di internet,
video di YouTube, data email, rekaman perjalanan pengguna, isi media sosial, rekaman
suara, video dan foto pribadi, dan lain-lain (google.com). Tidak ditemukan
informasi terbuka tentang apakah google menerapkan model pembangunan
pengetahuan yang diajukan White, ke dalam mesin-mesinnya.
Seluruh
data itu kemudian dioptimalisasi menggunakan robot/mesin pembelajar yang
disebut Artificial Intelegence. Google saat ini telah mengembangkan AI bernama
Gemini yang dapat digunakan untuk banyak kebutuhan dari mulai merancang rute
perjalanan liburan, membuatkan essay ilmiah, menggambar, editing audio atau video,
serta analisis moneter sederhana. Tentunya fitur lengkap Gemini adalah fitur
berbayar. Google juga melayani jasa kesehatan melalui Google Health yang
menggunakan sumber daya data besar, data pengguna, serta perangkat cerdas di
pergelangan tangan yang memonitor tanda-tanda vital penggunanya. Jika ditemukan
ada petunjuk gangguan kesehatan, perangkat cerdas itu akan memberikan
notifikasi kepada pengguna untuk menggunakan layanan konsultasi kesehatan Google
Health yang juga dilayani oleh AI. Layanan baru pindah kepada petugas layanan
kesehatan manusia ketika kasus pengguna telah mencapai standard tegakan
diagnosis tertentu (google.com). Tentu saja seluruhnya tidak gratis.
Penutup
Tahun 2006, seorang ahli matematika Inggris, Clive Humby
menyebut, “Data is a new Oil”. Proyeksi ini meramalkan data akan menjadi
komoditas perdagangan antarentitas swasta. Di era digital, kepakaran pun mati (the
death of expertise) menurut Nichols (2017). Setiap orang dapat mencari
informasi dan membangun pengetahuannya sendiri.
Ini
adalah tantangan bagi kaum cendekiawan yang berada di dalam kampus yang secara tradisional
mendapat tugas moral menjaga integritas pengetahuan, agar masyarakat dapat
mengambil keputusan atas pengetahuan yang sahih dan handal, karena pengetahuan
itu telah melalui proses pemeriksaan dan pengujian yang ketat. Bagaimana
komunitas kampus dapat kembali menjadi sumber pengetahuan dan melakukan
komunikasi ilmu pengetahuan di era digital ini? Tidak terjebak dalam industrialisasi
atau komersialisasi peradaban.
Dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 159
tertulis: "Dan orang-orang yang menyembunyikan bukti-bukti yang nyata dan
petunjuk yang telah Kami turunkan setelah Kami jelaskan di dalam Kitab, mereka
yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh orang-orang yang mengutuk". Dari
sejumlah tafsir dari Ibnu Abbas, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Tafsir Tahlili (quran.nu.or.id),
surat ini turun ketika ada peristiwa pendeta Yahudi yang tidak menyampaikan isi
Taurat kepada orang-orang yang bertanya tentang isinya. Sehingga dapat
ditafsirkan, wahyu itu mengutuk orang-orang yang menyembunyikan atau tidak
menyebarkan kebenaran dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tafsir Shihab (2005)
menambahkan, tidak semua yang diketahui boleh disebarluaskan, walaupun itu
bagian dari ilmu syariat dan hukum. Karena informasi terbagi dua, pertama, dapat segera disebarluaskan, kebanyakan dari ilmu syariat. Kedua, tidak perlu
segera disebarluaskan, namun mempertimbangkan keadaan, waktu atau sasaran.
Informasi tidak dapat disampaikan dengan sama kepada yang pandai dan
belum pandai, atau kepada anak kecil atau orang dewasa. Tidak semua pertanyaan perlu dijawab.
Istilah Shihab, setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada juga
ucapan yang sesuai.
Wallahu’alam bissawab.