06 Oktober 2015

Menjadi Wartawan Seperti Tintin (tulisan lama 2003)

Sejak pertama menjadi pengajar di kelas Jurnalistik, Tahun 2000, saya selalu mendapat pertanyaan dari mahasiswa (betulan, karena mahasiswi di kelas Jurnalistik amat sedikit), jadi wartawan itu susah nggak sih? harus bernyali besar ya? harus siap bangun 24 jam ya? dst.

Ingin sekali saya menjawab dengan gamblang, namun kuatir karena sebagian jawaban hanyalah mitos. Untuk menghindari tanggungjawab moral itu, saya memilih mengisahkan tokoh komik karangan Herge, Tintin (kalau di Jerman namanya menjadi Tim dan anjingnya menjadi Strupy).

Komik Tintin menggambarkan betapa dunia wartawan adalah dunia khayal yang indah, menyenangkan, sekaligus penuh petualangan dan bahaya. Herge menggambarkan Tintin yang tidak pernah kuatir dengan uang di saku, juga tidak pernah diperlihatkan memeriksa buku rekening banknya. Tintin selalu ingin tahu, sekaligus cermat dan hati-hati. Ingatannya panjang tapi ia tidak segan mencatat hal-hal kecil seperti nama, alamat juga warna baju seseorang, dan ini amat membantunya dalam merangkai beberapa peristiwa menjadi sebuah untaian kesimpulan.

Tidak penakut, tapi tidak pernah menantang bahaya. Selalu kreatif dalam mencari jalan keluar ketika telah tersudut tapi juga selalu bernasib untung. Berteman dengan banyak kalangan, dari mulai seorang anak nun jauh di atas pegunungan Himalaya, sampai anak Raja dari Timur Tengah. Polisi dan Pengusaha. Penyanyi, ilmuwan juga pengusaha yang ternyata gembong mafia dan akhirnya berusaha membunuhnya.

Di beberapa episode, kisah-kisah petualangan Tintin, diakhiri dengan sekuel laporan yang dimuat sebuah koran di AS. Demikian karakter Tintin digambarkan. Jika dicermati, Herge (sang pengarang) rupanya berkeyakinan, wartawan seperti Tintin akan selalu menuai bahaya. Semua kisah petualangan Tintin selalu menghidangkan ketegangan yang mengancam jiwa, meski Herge selalu membuat nasib Tintin beruntung. Berbagai ancaman telah dialami Tintin. Disekap. Diculik. Dipukuli. Diracun. Nyaris ditembak mati di depan barisan tentara mabuk. Dimakan hiu. Didorong dari atap kereta api yang melaju. Dan masih banyak lagi. Sedikit banyak kemiripannya, begitulah dunia wartawan.

Pekerjaan ini tidak sama dengan pekerjaan seorang Sekretaris yang setiap hari duduk di kursi kantor, menunggu perintah dari majikannya sambil berhadapan dengan komputer dan telpon. Seseorang tidak mungkin menjadi wartawan, jika ia tidak pernah ingin tahu atas sesuatu dan punya keinginan kuat untuk mencari jawaban yang benar dari keingin-tahuannya itu. Mungkin, boleh dibilang, wartawan adalah seorang filosof. Dalam bahasa Latin, philo berarti suka atau beuki (ini dari bahasa Sunda), sementara sophie adalah pertanyaan. Jadi, filsuf adalah orang yang suka bertanya-tanya. Tapi di sinilah persoalan lain muncul, karena mencari jawaban ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan keingin-tahuan pun tidak perlu dimiliki oleh oknum yang ingin diaku sebagai wartawan, karena dia bisa saja bergerombol seperti ikan tuna, pergi ke sana pergi ke sini, wara wiri mencari narasumber lalu akhirnya mencari sedekah. Ini yang disebut wartawan gadungan.

Wartawan asli, seperti Tintin, memiliki rasa ingin tahu yang besar karena didorong oleh kepedulian terhadap kehidupan sosialnya. Pada nilai-nilai moral yang harus ditegakkan. Bukan pada kebutuhan perut sendiri. Dalam komik itu tidak pernah digambarkan upacara rutin makan pagi, siang dan malam, bukan? Itu menunjukkan pandangan Herge tentang wartawan, betapa kepentingan individualis sang wartawan menjadi amat tidak relevan dalam pekerjaan kewartawanan. Tintin tidak pernah vested interest, melainkan pada Public Interest.

Herge mungkin bukan seorang pakar Jurnalistik, tapi ia lebih dulu mengungkapkan melalui gambar-gambar komiknya, elemen-elemen dasar jurnalisme yang di kemudian hari dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai elemen dasar jurnalistik. Menurut Kovach dan Rosenstiel, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan bla-bla-bla seterusnya. Eleman dasar itu, mengundang konsekuensi seperti yang dialami Tintin. Disekap. Diculik. Dipukuli. Diracun. Ditembaki, dst. (oh, nasibku .. sopo sing tresna).

Wartawan menjalankan tugas untuk memenuhi hak azasi warga negara untuk (1) mengetahui dan mengawasi jalannya pemerintahan dalam mengelola negara, (2) berpendapat dan (3) memperoleh informasi.

Inilah sebabnya, mengapa gangguan terhadap wartawan yang sedang melakukan tugasnya, disejajarkan dengan gangguan terhadap hak rakyat dan demokrasi. Bahkan di daerah perang, wartawan hadir untuk menjamin hak rakyat untuk tahu. Tanpa kehadiran wartawan, rakyat AS tidak tahu kalau tentaranya melakukan apa saja di Vietnam, sehingga muncul gelombang besar menentang mobilisasi ke Vietnam.

Tanpa kehadiran wartawan, dunia internasional tidak pernah tahu jika tentara AS menggunakan bom kimia bernama NAPALM di Vietnam. Tanpa kerja pers, kita tidak tahu sejumlah caleg di Jawa Tengah ternyata memalsukan surat keterangan kesehatan dan di antara mereka ternyata dinyatakan sakit jiwa.

Tanpa kerja wartawan, kita juga tidak tahu jika sebuah partai di Lampung ternyata mencalonkan seorang perampok sebagai calon anggota legislatif. Kemudian hari si perampok tewas dihajar peluru polisi, sebelum KPU mengumumkan daftar calon tetap tanggal 29 Januari 2003 lalu.

Jadi memang wajar, jika banyak pihak begitu geram melihat kehadiran wartawan. Karena mereka tidak ingin "ketahuan belangnya". Orang beginian yang merasa harus "ngamplopin" wartawan supaya bisa tidur tenang. Atau orang yang tidak mau bertanggung jawab pada publik.

Sebagai profesional yang menyadari tugas sebagai pengemban hak publik, wartawan memiliki perangkat Kode Etik agar interaksi wartawan dengan lingkungan sekitarnya ketika bekerja dan hasil karyanya benar-benar memenuhi standard. Selain berhak membuat berita, wartawan juga wajib hukumnya patuh pada kode etik. Di sinilah mengapa Tintin mengenal banyak orang.

Pendapat dan selera pribadi, tidak penting dalam kehidupan wartawan. Ia harus mau mendatangi kompleks pelacuran dan mewawancarai pelacur untuk mengimbangi berita tentang kompleks pelacuran. Ia harus mau bersalaman dengan penderita HIV/AIDS. Juga tetap mewawancarai seorang Presiden yang keji tanpa bersikap seperti orang yang jijik melihat bangkai.

Memang tidak dijelaskan Herge, mengapa koran mengutip iklan untuk membiayai produksi. Sebab semua orang jelas memahaminya. Tanpa iklan, informasi itu akan menjadi terlalu mahal dan publik hanya akan memperoleh terlalu sedikit informasi yang menjadi haknya. Memang cost of burden tidak pantas dibebankan kembali pada publik, yang sudah bayar pajak, bayar retribusi, dan membeli semua barang dengan harga pasar, melainkan pada lembaga-lembaga yang mengambil keuntungan dari publik. Das ist Das. Setiap langkah wartawan sebagai wartawan, harus memberi manfaat bagi publik maka menjadi relevan jika cost of burden-nya berasal dari lembaga yang selama ini mengambil manfaat dari publik dan mau mendonor. Jika Tintin meminta sumbangan pada Rastapapoulos sang pengusaha untuk memperbaiki genting rumah-nya mumpung sekarang musim Halodo, atau membeli cadeau karena Snowy sang anjing kesayangan Jaarig hari ini, itu adalah urusan pribadi, tidak ada hubungannya dengan kewartawanannya.

Sayangnya, ada teori yang mengatakan, etical constraint sang pribadi akan berhubungan dengan profesional quality-nya. Mungkin teorinya yang salah, atau saya yang terlalu bego untuk mengingatnya. Tapi saya suka Tintin. Dia tidak pernah sekalipun nampak minta sedekah.

Jika saja Herge hidup hingga 100 tahun lebih, mungkin ia masih sempat menambah satu lagi koleksi serial komik Tintin ciptaannya, dengan kisah yang sad ending, ketika akhirnya Tintin harus mati terbunuh. Mungkin. Atau masih akan ada 100 kisah lagi menyusul. Tapi waktu rupanya hanya mengijinkan Herge menyelesaikan beberapa lembar saja, halaman pertama edisi terakhir yang diberi judul oleh penerbitnya Lotus Biru, sebelum wafat.

(Nursyawal, Ketua AJI Bandung 2002-2006, dari milis AJI-ajisaja@yahoogroups.com)