25 Oktober 2016

Otokritik Dari Cileuncang Kemarin

Maaf, panjang.

Sebelumnya mari kita sepakati satu prinsip dasar dulu.
Rakyat memberi mandat pada kelompok orang untuk mengurus tata kelola kota/propinsi/negara di tingkat makro. Sementara rakyat sibuk dalam urusan mikro dan hasil keringat dari urusan mikro itu, dipungut untuk membiayai kegiatan kelompok orang yang ditugasi mengurusi kota tadi.

Nah, kini mari kita bincangkan persoalan kita.

Kejadian cileuncang dalam ukuran masif Senin kemarin siang (24-10-2016) di kota Bandung pangkalnya tidak berada dalam level mikro seperti solokan yang mampet, atau karena kantong keresek atau kemasan plastik, tetapi tingkat makro, yaitu pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan cekungan Bandung. Akibat kawasan resapan air yang terus berkurang di dataran tinggi akan menghasilkan air limpasan (run off) yang terus meningkat. Rumus yang matematis. Juga pada soal tata kelola air limpasan.

Kota Bandung yang menjadi bagian dari persoalan itu, selain daerah lain di sekitarnya, lalai dalam menyadari hukum alam itu. Saya sebut lalai, karena gejala alam ini sudah jadi materi berita di media massa sejak dekade lalu. Para pengelola kota abai pada prinsip dasar tugas mereka, yaitu melaksanakan tugas yang tidak bisa dilakukan oleh warga, karena warga sudah sibuk di tingkat mikro. Bahkan sudah ikut kerjabakti hari minggu, ikut mengurangi kantong keresek, ikut bersabar dalam kemacetan, ikut memaklumi adanya proyek infrastruktur yang bekerja seenak udelnya dengan alasan "itu adalah obat", ikut dalam banyak keharusan seperti jum'at ngangkot, mencoba naik sepeda (listrik), ikut gerakan pungut sampah, ikut bayar pajak, retribusi, iuran, pungutan, sumbangan, potongan, dll, dst. Bahkan siap menolong orang lain meski nyawa sendiri bayarannya. Keterlibatan rakyat yang cukup luas ini jarang ditemukan di bangsa lain yang cukup dengan membayar iuran warga. Percaya lah.

Kritik atas cileuncang kemarin siang di sejumlah jalan Kota Bandung, adalah kritik kepada kelompok orang yang ditugasi rakyat dan sudah dibiayai dengan uang hasil keringatnya, agar melaksanakan tugasnya. Sederhana aja. Tujuan negara ini dibuat sebagiannya adalah melindungi segenap tumpah darah dan mensejahterakan rakyat. Tidak bisa berkilah dengan mencampuraduk pangkal soal antara level mikro dengan makro. Toh selama ini rakyat sudah cukup terbiasa dikritik atas perannya di level mikro, seperti masih suka nyampah, melanggar rambu jalan, dll, dst. Bahkan rakyat sudah biasa mendengar kritik pada dirinya itu setiap jam melalui iklan-iklan di radio. Ya harus bayar pajak tepat waktu lah, ya harus bikin katepe lah, ya harus buang sampah pada tempatnya lah, ya pake helm lah, ya harus bahagia lah, ya harus ini itu, dll, dst. Hebatnya iklan itu dibiayai oleh rakyat sendiri pulak. Karenanya, pengelola kota juga, biasakan saja diri menerima kritik atas perannya. Ga usah berdalih. Woles.

#udahgituaja

NB: karyawan Borma yang tewas karena hendak menolong orang lain adalah pahlawan !