30 September 2009

KPID Jabar Peringatkan TV One, Metro TV dan ANTV

Melalui surat bernomor 167/K/KPIDJABAR/09/09 Hari Rabu 30 September 2009, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat mengingatkan 3 buah stasiun televisi swasta Jakarta untuk tidak berpihak (impartial) dalam pemberitaan tentang bakal calon Ketua Umum Partai Golkar. Televisi tersebut adalah TV One, Metro TV, dan ANTV.

Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPID Jawa Barat Dadang Rahmat Hidayat tersebut, KPID Jawa Barat mengungkapkan, telah menerima aduan masyarakat dan memperoleh temuan pelanggaran aturan dalam sejumlah tayangan berita di ketiga televisi tersebut yang berkaitan dengan proses pencalonan Ketua Umum Partai Golkar, selama sepekan terakhir. Ketiga stasiun televisi dari Jakarta itu dinilai tidak netral atau berpihak pada bakal calon tertentu.

KPID Jabar menegaskan, menurut UU Penyiaran nomor 32 Tahun 2002 Pasal 36 ayat 4, lembaga penyiaran harus menjaga netralitas isi siarannya. Selain itu, menurut Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) nomor 02 Tahun 2007, Pasal 15 Ayat 1, dalam menyajikan informasi harus berimbang dan tidak berpihak. Ayat 2, lembaga penyiaran wajib patuh pada Undang-undang dan Kode Etik Jurnalistik dalam kegiatan jurnalistiknya. Hal ini sesuai dengan bunyi UU Pers nomor 40 Tahun 1999, Pasal 7 ayat 2.

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) Tanggal 24 Maret Tahun 2006 yang disahkan Dewan Pers menjadi Peraturan Dewan Pers nomor 06 Tahun 2008, Pasal 3 menyebut, "wartawan Indonesia menyiarkan berita secara berimbang".

Untuk menjamin kemerdekaan wartawan/redaksi dalam menjalankan kebebasannya, KPI mengatur melalui Peraturan KPI Nomor 03 Tahun 2007, Pasal 43 yang menyebut "Pimpinan redaksi harus memiliki independensi untuk menyajikan berita dengan obyektif, tanpa memperoleh tekanan dari pihak pimpinan, pemodal, atau pemilik lembaga penyiaran".

Melalui surat tersebut, KPID Jawa Barat meminta pengelola ketiga stasiun TV dari Jakarta itu patuh dan menghormati hak publik untuk mendapat informasi yang benar, jujur, adil dan tidak berpihak.

Sesuai peraturan UU, pengelola ketiga stasiun televisi dari Jakarta tersebut memiliki hak untuk menjawab.

AJI Minta TV One dan Metro TV Netral

Nomor : 001/AJI-Div. EP/Pernyataan/ IX/2009
Perihal : Pernyataan Sikap untuk segera diberitakan

PERNYATAAN SIKAP ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN
"Jaga Independensi, dan tetap Profesional Melayani Hak Informasi Publik"

Aliansi Jurnalis Independen menerima sejumlah keluhan dari masyarakat menyangkut pemberitaan bertendensi mengabaikan aspek keberimbangan, obyektivitas, dan dikhawatirkan mengancam independensi wartawan. Seperti diketahui, menjelang Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya (Munas Golkar) 4-7 Oktober 2009, terdapat adanya gejala penayangan paket pemberitaan cenderung diliputi persaingan politik dari dua pemilik media televisi berita, yakni TVOne dan METRO TV.

Sebagaimana diketahui, Aburizal Bakrie adalah pemilik TVOne, sementara Surya Paloh adalah pemilik METRO TV. Keduanya kini sedang bertarung memperebutkan posisi Ketua Umum Golkar dalam Munas mendatang. AJI menangkap sinyalamen, kedua media ini bertendensi lebih mewakili kepentingan pemilik dalam konteks pemberitaan pertarungan politik di Golkar, dan berpotensi menghasilkan pemberitaan yang tidak berimbang.

AJI mengingatkan bahwa frekwensi yang dipakai kedua TV itu adalah milik publik dan karenanya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk melayani kebutuhan informasi publik. Sesuai dengan aturan hukum dan etik penyiaran, frekwensi televisi tak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan golongan, tidak juga untuk pemilik media. Atas dasar itulah AJI mendukung langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegakkan prinsip-prinsip independensi di dunia penyiaran.

Sebagai organisasi profesi, AJI menghimbau kepada jurnalis untuk mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik seperti diamanatkan oleh Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Pers. Sebagai media yang hidup di ranah publik, para jurnalis diharapkan senatiasa tetap menjaga independensi, dan bekerja menggunakan standar profesionalisme yang berlaku di dunia jurnalistik, antara lain dengan menyajikan berita secara berimbang. AJI mengingatkan, dalam rangka melayani hak masyarakat untuk tahu (rights to know), tanggungjawab profesional seorang wartawan bukan hanya kepada pemilik, tetapi terutama sekali adalah kepada publik.

Jakarta, 29 September 2009

Nezar Patria // Andy Budiman
Ketua Umum // Koord. Divisi Etik dan Peningkatan Kapasitas Profesi

AJI Indonesia
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website : www.ajiindonesia. org

18 September 2009

1 Syawal 1430 H

Taqabalallahu minna waminkum
Shiamana washiamakum

Mohon Maaf
LahirBatin
.

14 September 2009

AJI Mendukung Putusan PN Makassar

(AJI Indonesia) Hari Senin 14 Agustus 2009, Pengadilan Negeri Makassar memutus bebas Jupriadi Asmaradhana, jurnalis yang didakwa mencemarkan nama mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat, Irjen Polisi Sisno Adiwinoto.

Menurut majelis hakim PN Makassar, Jupriadi Asmaradhana tidak terbukti melakukan pencemaran nama. Sebelumnya, Jupriadi didakwa mencemarkan nama Irjen Sisno menyusul protesnya terhadap pernyataan Irjen Sisno yang setuju kriminalisasi pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyambut baik putusan tersebut. Putusan tersebut ibarat oase di tengah padang pasir tekanan hukum bagi kebebasan pendapat di Indonesia. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali orang yang dijerat dengan pasal pencemaran nama, baik itu jurnalis maupun masyarakat.

AJI Indonesia berharap putusan tersebut menjadi pembanding bagi para penegak hukum yang sedang menangani kasus-kasus pencemaran nama, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Dengan mengacu pada putusan tersebut, para penegak hukum akan mengadili kasus-kasus pencemaran nama secara lebih komprehensif, sehingga bukan sekedar mengadili kata-kata.

AJI juga memberi apresiasi yang besar bagi para hakim yang menangani perkara ini karena telah membuat putusan dengan bijak, tidak sekedar mengadili kata-kata. Majelis hakim telah memeriksa perkara ini dengan professional dan independen.

AJI juga menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Kepolisian Republik Indonesia, terutama Kapolri Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri. Sebab, kepolisian telah bersikap profesional dengan tidak mengintervensi kasus ini. Kepolisian tidak menganggap kasus ini sebagai kasus antara Jupriadi melawan institusi kepolisian, tapi
semata-mata kasus antara pribadi Jupriadi dengan pribadi Irjen Sisno Adiwinoto.

AJI juga tidak lupa menyampaikan terimakasih yang besar atas dukungan berbagai pihak dalam mengadvokasi ini. Lembaga Bantuan Hukum (LH) Makassar, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) serta para jurnalis di Makassar dan berbagai kota telah memberi dukungan dalam penangani kasus ini.

Namun demikian, AJI juga megingatkan bahwa masih banyak orang yang dijerat kasus-kasus pencemaran nama di Indonesia. Saat ini Prita Mulyasari, seorang konsumen rumah sakit, tengah diadili dengan tuduhan pencemaran nama. Usman Hamid, koordinator Kontras, juga menjadi tersangka pencemaran nama mantan pejabat BIN Muchdi Pr.

12 September 2009

Godzilla, Buaya, Cicak

Catatan Al Nursyawal dalam Facebook

Tahun 2004, podium film Hollywood diisi sebuah film remake berjudul "Godzilla". Kaena Box Office, iapun memilik tilas tapak di "Walk of Fame".

Ada satu petikan adegan dalam remake itu yang mengutip film aslinya. Ketika seseorang yang sekarat (sosoknnya orang Jepang) dengan suara paraunya menyebut-nyebut "gojira" berulang-ulang.

Penonton menduga, film asli Godzilla, tentulah dijuduli "Gojira".

Tidak salah, film aslinya produksi Tahun 1954, karya sutradara Ishiro Honda, dalam bahasa Jepang, ditulis "Gojira". Tetapi dalam katalog film Tahun 1954, "Gojira" sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan "Godzilla".

Ide pembuatan film ini muncul setelah upaya produser Jepang Tomoyuki Tanaka, untuk membuat film tentang dampak nuklir terhadap perairan Jepang, berjudul Eiko-kage-ni, gagal pada tahun 1953. Kemudian Tomoyuki berlibur ke Indonesia dan di sanalah ia mendapat inspirasi untuk mendukung pembuatan film Gojira.

Gojira sebenarnya adalah gabungan dari Gorira dan Kojira. Gorira untuk Gorilla dan dan Kojira untuk Ikan Paus. Ide awal bentuk Gojira memang makhluk raksasa gabungan gorila dan ikan paus. Tetapi ide itu ditolak sang produser. Kemudian dari sekian usulan sosok monster, terpilihlah sosok mirip dinosaurus. Namun nama Gojira tetap dipakai.

Film ini mendapat hadiah Academy Award-nya Jepang sebagai film dengan efek visual terbaik pada tahun 1954.

Namun, meski Gojira adalah makhluk mengerikan, perilakunya adalah perilaku alamiah hewan yang secara instinktif melindungi anaknya. Sayangnya, ukurannya membuat semua gerakannya menjadi merusak. Karena yang dirusak adalah milik dan kepentingan manusia, maka Gojira dianggap musuh manusia dan harus dimusnahkan.

Sebetulnya, kalau ingin mengambil analogi makhluk yang paling mengerikan dan kuat, maka manusia adalah pilihan yang tepat daripada buaya atau tokoh fiktif seperti godzilla. Karena dalam setiap film atau cerita apapun, yang bertahan di akhir cerita tetaplah manusia. Manusia adalah Predator paling atas dalam rantai makanan.

Jadi ngapain capek-capek cari padanan. Bilang aja, "manusia kok dilawan, ya keteteran dong!"

Polisi Tambah Jaksa Jadi Godzilla

Jum'at, 11 September 2009 | 18:18 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Jaksa Agung Hendarman Supandji berseloroh soal kerja sama polisi dan jaksa dalam menangani perkara. “Kalau kepolisian bertindak sendiri kan buaya. Tapi kalau bersama-sama dengan jaksa sudah bukan buaya lagi, tapi Godzilla,” kata Hendarman saat memberikan keterangan pers di Kejaksaan Agung, Jumat (11/9).

Tapi kata-kata Hendarman tak ada hubungannya dengan kasus dugaan suap PT Masaro ke petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini ditangani Mabes Polri.

Hendarman mengatakan hal itu terkait rencana menjerat Robert Tantular, bekas Komisaris Bank Century, dengan pasal korupsi dan pencucian uang. Dia mengaku telah memerintahkan jaksa dari Bidang Pidana Khusus dan Bidang Pidana Umum untuk berkoordinasi dengan polisi.

“Jaksa akan bergabung dengan kepolisian untuk menangani kasus itu,” ujarnya. “Buaya kalau 10 kali lebih besar saya ibaratkan godzilla.”

Istilah ‘buaya’ menjadi populer ketika Komisaris Jenderal Susno Duadji mengibaratkan posisi polisi dan KPK – yang disebut-sebut tengah memanas. “Ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” kata Susno suatu kali.

ANTON SEPTIAN