29 Januari 2017

Kelambanan

Alkisah, lebih dari setengah dekade lalu, sekelompok jurnalis menjadi semacam informan sebuah riset yang dilakukan oleh dokter-dokter dari lembaga pendidikan kesehatan jiwa sebuah rumah sakit pendidikan di Bandung.

Meski hasilnya sudah dapat diduga, karena secara awam, gejalanya sudah nampak, namun ketika vonis datang dari ahlinya, maka hal itu menjadi kejutan luar biasa. Hampir seluruh informan itu dianjurkan untuk melakukan konsultasi ke dokter ahli kesehatan jiwa. Diagnosa awal, depresi.

Sebagian kecil jurnalis itu mengikuti saran untuk berkonsultasi. Sebagian besar merasa tidak perlu karena kemungkinan besar sedang menghibur diri atau membohongi diri dengan melihat kenyataan mereka tidak pernah berpikir mau bunuh diri, atau mengalami mimpi-mimpi buruk setiap harinya. Mereka bahkan kerap tertawa lepas di tangga-tangga gedung kantor sambil menunggu naarasumber keluar pintu dan melakukan doorstop. Mereka juga makin yakin baik-baik saja karena tetap dapat menikmati hidangan makan siang di seminar-seminar yang mereka liput, atau sekedar ganjal perut di warung nasi pinggir jalan ketika meliput peristiwa di lapangan.

Pun mereka tidak melihat perbedaan apapun pada diri jurnalis yang telah mengikuti saran untuk berkonsultasi. Karena yang sudah berkonsultasi itu secara kasat mata tidak berubah menjadi pribadi yang berbeda, yang berdandan berbeda dengan sebelumnya, atau berbicara dengan gaya yang berbeda dengan sebelumnya, yang berubah kebiasaannya, atau bahkan berubah menjadi seperti para motivator-motivator di televisi.

Jurnalis yang tidak mengikuti rekomendasi itu juga beragumen, jika mereka konsul, malah sudah pasti akan datang stress, karena biaya konsultasi dokter kesehatan jiwa tidak ditanggung oleh perusahaan. Sementara untuk sekali konsul bisa menghabiskan ratusan ribu Rupiah.

Bukankah sumber gejala depresi itu adalah stress yang tidak dikelola? Demikian pertanyaan retoris para jurnalis pembangkang nasehat dokter itu.

Gejala Umum

Ya, rekomendasi dokter kesehatan jiwa itu memang datang dari diagnosa awal, bahwa para jurnalis ini diduga mendapat stress tinggi dalam kurun waktu yang lama. Dugaan awal, sumber stress adalah pekerjaan.

Tentu kita semua yang bekerja, segera akan menyahut dengan nada tidak percaya, kalo begitu supaya tidak stress, kita harus tidak bekerja? Karena mana ada pekerjaan yang tidak mengandung stress.

Diagnosa itu baru tahap awal. Tentunya harus ditelisik, faktor yang spesifik dalam pekerjaan jurnalis yang menjadi sumber stress. Itu sebabnya, dokter memberi rekomendasi untuk konsul lebih lanjut.

Namun seperti telah disampaikan di awal celoteh ini, secara awam kita sudah dapat mengenali gejalanya. Hanya ketika kita mendengar vonis dari ahli kesehatan jiwa, kita cenderung menolaknya.

Gejala-gejala itu biasa dialami pada profesi apapun. Yaitu ketika menelpon seseorang dan telpnya tidak diangkat segera, kita mulai gelisah. Seolah orang yang ditelepon tidak ada pekerjaan lain selain menunggu telepon kita. Ketika pesan yang disampaikan melalui aplikasi di telepon pintar hanya terlihat tanda "dibaca" dan tidak dibalas saat itu juga, kita mulai gusar. Ketika rapat, saat ada peserta yang banyak berdebat, kita mulai kesal karena merasa buang waktu percuma, karena masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan hari itu juga seusai rapat. Ketika mengemudi kendaraan, antrian di simpang jalan, kerap membuat marah karena cemas akan terlambat tiba di lokasi pertemuan dengan mitra kerja, dan membuat pertemuan berikutnya juga terlambat. Ketika laporan kerja tidak juga selesai dibuat karyawan dalam hitungan jam, surat peringatan segera dicetak sang direktur.

Dunia saat ini memang menjadi serba cepat dan harus segera. Bahkan makan pun harus segera dihidangkan dan segera dikonsumsi. Para pelayan rumah makan berlomba paling cepat menghidangkan menu pilihan. Tidak ada lagi tempat bagi dering telepon yang tidak terangkat. Tidak lagi ada tempat bagi perangko di sampul surat karena jawaban harus segera diperoleh lebih cepat dari datangnya tukang pos 2 hari kemudian. Kebergegasan adalah ciri masyarakat produktif. Kelambanan adalah ciri negatifnya.

Mitos

Memang betul, nilai itu sudah sejak lama menjadi norma dalam budaya manusia.

Dalam mitologi Yunani dikenal nama Aergia yang disebut sebagai putri dari Aither dan Gaia. Ia adalah daimona dari sifat ketidakbergerakan, kelambanan, kebermalasan. Sifat kebalikannya, adalah daya dan usaha, dengan daimona Horme.

Patut diduga, mitologi itu menunjukkan sejak dulu kala, kelambanan itu masuk ke dalam kelompok kemalasan. Sementara bergiat dan berusaha adalah kebalikan dari lamban dan malas.

Jadi, lamban itu disebut sama dengan malas, sejak dulu. Premisnya, kelambanan sama dengan kemalasan dan bergegas sama dengan rajin. Dalam industri, itu menjadi aksioma, pekerja yang lamban, sama dengan pekerja yang malas. Ganjaran yang pantas untuk pekerja sejenis itu adalah PHK.

Persoalannya bagi jurnalis, kebergegasan bukanlah faktor eksternal  pekerjaannya, melainkan produk itu sendiri. Para jurnalis menawarkan kebergegasan. Menjual aktualitas. Siapa yang tahu lebih dulu dan lebih dulu menyebarkannya, dia yang menang.

Jadi jurnalis tidak hanya memproduksi jasanya dengan bergegas, melainkan juga memproduksi kebergegasan itu. Media hanya menjual kekinian, karena detik yang lalu sudah menjadi kemarin.

Saking pentingnya kekinian itu dalam industri media, selama mengikuti proses pendidikan, para calon jurnalis disuntik dengan mitos, harus siap 24 jam 7 hari dalam seminggu untuk meliput peristiwa. Tidak ada kata istirahat. Meski masih bersalut sarung dan memeluk guling, jika mendengar sirine mobil pemadam kebakaran, seorang jurnalis harus loncat dari tempat tidur dan berlari mengejar ke lokasi kejadian. Begitu petuah seorang dosen sekolah jurnalistik. Bahkan sudah biasa dalam iklan penjaringan calon jurnalis disebut sebagai salah satu syaratnya adalah "siap bekerja dalam tekanan".

Begitulah, gejala yang dianggap wajar dialami setiap pekerja di jaman sekarang, yaitu stress, berdampak 2 kali lebih besar pada pekerja media, a.k.a jurnalis.

Jurnalis yang rajin adalah jurnalis yang menyetor hasil kerjanya tepat waktu dan isinya adalah peristiwa yang baru saja terjadi.

Untuk itu, seorang jurnalis setiap hari harus mengejar waktu agar sesegera mungkin hadir dalan sebuah peristiwa dan mengejar waktu untuk melaporkan sebelum media lain melakukannya.

Dalam kebergegasan itu, seorang jurnalis harus tetap teliti, akurat, lengkap, mendalam, meluas dalam mengumpulkan data dan fakta, serta menarik dan etis ketika melaporkannya kepada konsumen. Jika diketahui ada pelanggaran terhadap standard kualitas kerja itu, jurnalis terancam hukum pers atau etik.

Kasus

Sila membayangkan. Bekerja dalam tekanan adalah kondisi kerja seorang jurnalis dan dalam kebergegasan itu, jurnalis harus tetap teliti dan telaten. Maka wajar jika gejala depresi akibat stress dalam pekerjaan, kemungkinan lebih besar menjangkit seorang jurnalis.

Seperti dialami seorang jurnalis yang sejak beberapa bukan terakhir, mulai menjalani terapi dokter kesehatan jiwa, karena gejala depresi mulai aktual dalam mimpi-mimpi, kesulitan tidur, serta agresi. Kawan tersebut kemudian mengajukan diri untuk tidak lagi bekerja dengan skema pensiun dini. Namun perusahaan melihatnya sebagai seseorang yang sehat, karena masih bisa tertawa dan bersosialisasi. Padahal ada surat psikiater yang memvonis kesehatan jiwanya. Dari kasus ini, maka bertambah lagi dampak depresi pada jurnalis. Ketika depresi akibat stress pekerjaan tidak lagi bisa dikelola dan membutuhkan bantuan ahli, perusahaan tempat jurnalis bekerja akan menilainya sebagai dalih untuk mangkir kerja dan mengambil manfaat dari fasilitas perusahaan.

Artinya, jurnalis harus siap untuk depresi karena tidak boleh depresi oleh perusahaan, selain karena biaya konsultasi psikologi tidak bisa di-reimburse.

Begitulah, kisah jurnalis dan stress dalam pekerjaan di jaman kiwari.

Dengan logika negasi, maka seharusnya kelambanan dapat menjadi obat bagi para jurnalis yang mulai mengalami gejala depresi aktual. Menarik diri dari kebergegasan dan produktif dalam kelambanan. Mungkin ini utopia, tapi apalagi pilihannya?