27 Juli 2022

Anak Keluarga Artis Rentan Perundungan

ARTIKEL

Penulis : Mang Sawal

Latarbelakang

Beberapa hari sebelum peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 lalu, di depan kamera program siaran televisi Trans7, FYP, pembawa acara Raffi Ahmad memperlihatkan rekaman video anaknya yang sedang menangis dalam gendongan pengasuhnya. Raffi kemudian menyebut, anaknya itu menangis setelah melihat rekaman video suasana Stadion Wibawa Mukti Bekasi usai pertandingan sepakbola antara Persija melawan Rans Nusantara yg dimenangkan Persija dengan skor 4-2 pada hari itu. Dalam rekaman video itu terdengar suara pendukung persija, Jakmania, menyanyikan lirik yang menyebut-menyebut nama anak Raffi Ahmad. Nyanyian Jakmania itu merupakan modifikasi dari lagu dangdut komedi dari Orkes Musik Pancaran Sinar Petromaks (PSP) berjudul “Bapak Menang Lotere” yang terdapat dalam album Trio Kodok (1980). Lagu PSP itu sendiri merupakan modifikasi musik milik grup vokal asal Jerman Barat, Bonnie M berjudul “Hooray ! Hooray ! Its a Holi-Holiday” yang dirilis tahun 1978.

Tidak ditemukan konfirmasi apakah anak Raffi menemukan sediri rekaman video itu, namun yang terpublikasi adalah rekaman video suasana stadion itu diperlihatkan kepada si anak oleh seseorang. Kemudian meradanglah si anak usai mendengar namanya dijadikan yel-yel untuk mengejek kekalahan tim yang dimiliki ayahnya. Dalam program FYP itu, Raffi menceritakan, dirinya sempat menelpon untuk menenangkan emosi anaknya dan mendapat jawaban, “Itu kan Papa yang punya, kenapa Aa yang diejekin”. Jadi jelas, yel-yel Jakmania itu dimaknai oleh si anak sebagai ejekan dan mengakibatkan dirinya tidak nyaman. Beruntung, menurut ibunya, Nagita Slavina, melalui kanal youtube, beberapa hari setelah kejadian itu, anaknya nampak baik-baik saja. Meski ejekan kembali dinyanyikan oleh pendukung kesebelasan sleman pada pertandingan berikutnya.

Fenomena Perundungan

Merujuk laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, perundungan diterjemahkan sebagai suatu perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati atau tertekan. Perundungan dapat dilakukan oleh perorangan ataupun berkelompok, bisa orang dewasa, bisa juga anak.

Publikasi riset lembaga swadaya masyarakat Inggris “Ditch the Label” pada tahun 2019 dari 1,5 juta kasus perundungan yang mereka tangani, mengungkapkan dua fakta besar, yaitu profil pelaku perundungan dan profil sasaran perundungan.

Menurut publikasi itu, profil perundung biasanya adalah juga korban perundungan sebelumnya, atau mengalami sindrom rendah diri, memiliki persoalan di rumah, dan tidak memiliki keterampilan sosial yang baik serta budaya kekerasan dalam masyarakat. Sementara profil korban perundungan biasanya adalah orang-orang yang berbeda, bisa karena amat pintar, karena fisik tubuh, suara, pakaian, kebiasaan, agama, disabilitas, dan seterusnya. Ada banyak alasan perundungan, bahkan ada perundungan yang dilakukan tanpa alasan yang jelas.

Bentuk perundungan juga bermacam-macam ada yang verbal, seperti membentak, berteriak, memaki, bergosip, menghina, meledek, mencela, mempermalukan, dan sebagainya. Ada perundungan fisik, berupa menampar, mendorong, mencubit, menjambak, menendang, meninju, dan lain sebagainya yang dapat melukai fisik. Juga perundungan sosial, seperti, mengucilkan, membeda-bedakan, mendiamkan. Yang kiwari adalah perundungan siber, seperti memperolok di media sosial dengan mengirimkan berbagai pesan yang menyakiti, menghina, mengancam, menyebarkan kabar bohong, mengubah foto tidak semestinya, perang kata-kata (flaming), membuat akun palsu untuk merusak reputasi seseorang, memperdaya seseorang untuk melakukan sesuatu yang memalukan, mengucilkan seseorang dari grup daring (online).

Keluarga Artis Rentan

Kembali mengingat rekaman kasus anaknya Raffi Ahmad, kita ketahui dampak bully pada anak adalah rasa kesal dan marah. Namun untuk anak lain bisa jadi menjadi takut, malu, gelisah, rendah diri, depresi, sakit fisik, bunuh diri. Seperti kasus anak korban perundungan di Tasikmalaya yang didiagnosis supsek depresi lalu mengalami gangguan kesehatan fisik kemudian meninggal di rumah sakit.

Anak Raffi Ahmad adalah profil korban perundungan yang paling potensial, karena Raffi Ahmad mengunggah seluruh aspek kehidupannya ke media sosial sebagai bagian dari mata pencahariannya. Termasuk juga mengijinkan anaknya sejak masih berusia 2 tahun menjadi bintang film berjudul sama dengan namanya, Rafathar (2017). Bahkan anak ini memiliki halaman khusus tentang dirinya di Wikipedia berisi seluruh catatan karir di industri hiburan dan iklan. Rafathar termasuk cukup populer, karena kata kunci “rafathar” setiap hari selama 7 hari terakhir tercatat dicari melalui mesin pencari Google sebanyak rata-rata 30 kali. Bandingkan dengan kata kunci “Raffi Ahmad” yang rata-rata mencapai 100 pencarian setiap hari selama 7 hari terakhir.

Dalam kajian literasi media, untuk melindungi anak dari perundungan, orang dewasa di sekitar anak, bertugas melatih keterampilan sosial anak dan memelihara batas kehidupan publik dan privasi anak ketika anak berada di dunia maya. Dalam aspek keterampilan sosial, anak harus menunjukkan kemampuan untuk mendengar dan memperhatikan, memiliki pemahaman bahasa tulis-tubuh-simbol, mampu mengungkap perasaan-pikiran-keinginan dan pendapat dengan jelas, memiliki kemampuan berkompetisi, kemampuan mengatur diri sendiri, keterampilan bekerja secara kelompok, dan merencanakan tahap-tahap serta pembagian kerja bersama. Sementara dalam kehidupan dunia maya, harus ada batas ruang privasi di dunia maya dengan tidak mengunggah seluruh kegiatan dalam bentuk foto atau video, tidak memberikan akun media sosial untuk anak, tidak memberi akses bebas ke media sosial, serta orang tua aktif berkomunikasi dengan anak ketika berinteraksi sosial dan selalu membahas hambatan interaksi sosial anak.

Menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia, orang dewasa di sekitar anak berkewajiban melindungi anak dari potensi perundungan, namun hal itu menjadi tidak sederhana bagi keluarga artis yang memang memasarkan seluruh anggota keluarganya. Di sejumlah negara, aturan menggunakan anak sebagai pekerja dibuat amat rinci sehingga banyak keluarga artis amat berhati-hati melibatkan anak mereka dalam produksi. Ambil contoh keluarga Kardashian, artis asal Amerika Serikat yang membuka seluruh aspek kehidupan keluarga ke depan publik serta keluarga artis penyanyi Michael Jackson (alm.) yang memilih untuk menyembunyikan keluarganya dari pandangan publik. Bahkan saking seriusnyanya usaha Michael Jackson itu, setiap kali anak-anaknya tampil di tempat umum yang terbuka, wajah anaknya ditutupi topeng atau kain tipis agar sulit dikenali. Ada banyak alasan Michael melakukannya, dari mulai membatasi eksploitasi oleh media, hingga kuatir atas penculikan jika wajah anak-anaknya diketahui banyak orang. Di Indonesia memang ada aturan mengenai eksploitasi ekonomi anak namun tidak rinci dan tidak ada petunjuk pelaksanaannya, sementara dalam industri penyiaran sudah ada aturan pelaksanaan lebih rinci untuk mencegah perundungan dan ekploitasi ekeonomi anak dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) 2012.

Penutup

Dari kisah keluarga artis di atas, kita belajar, ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan dan harus kita lakukan sebagai orang dewasa ketika melibatkan anak untuk tampil di depan umum lalu menjadi korban perundungan. Kita juga menyadari perlunya indikator keterampilan sosial masuk ke dalam capaian dan luaran hasil pembelajaran di tingkat pendidikan dasar dan ketegasan negara dalam menghilangkan budaya kekerasan dalam sistem sosial agar jumlah pelaku perundungan terus berkurang. Jika anak terlindungi, maka negara maju.

23 Juli 2022

Setiap Orang Dewasa Ikut Bertanggungjawab Melindungi Anak

 

Press Release

Forum Diskusi Dosen Komunikasi Sakola Nusa - Stikom Bandung

(Bandung, 22-07-2022)

Dari hasil pemindaian linimassa media sosial, sebagian warga pengguna internet (netizen) menunjukkan sikap yang salah dalam menyikapi kasus wafatnya seorang anak di Tasikmalaya berusia 11 Tahun pada hari Minggu 17 Juli 2022 lalu, setelah mengalami perundungan (bully). Menurut keterangan pihak rumah sakit, almarhum didiagnosis suspek depresi yang menyebabkan neuropati serta komplikasi typhoid yang menyerang otak. Kasus ini sempat menjadi perbincangan ramai di platform Twitter selama beberapa jam di pagi hari pada Hari Jumat 22 Juli 2022 dengan kata kunci “anak SD”.

Menurut Dosen Komunikasi Stikom Bandung, Nursyawal, hasil pemindaian linimasa itu memperlihatkan kecenderungan umum netizen yang mengecam perundungan, bahkan sejumlah pejabat tinggi pun ikut berkomentar sama. Selain itu juga nampak sikap kebanyakan netizen memandang satu-satunya yang bersalah adalah pelaku perundungan dan meminta pihak penegak hukum memberikan hukuman yang setinggi-tingginya tanpa ampun serta meminta penegak hukum mengabaikan kenyataan bahwa pelaku adalah anak-anak.

Nursyawal memaklumi, sebagai orang tua, siapa yang tidak shock, ketika mendapatkan kabar bahwa almarhum sebelumnya dirundung sedemikian rupa dan dipermalukan melalui penyebaran video rekaman perundungan ke media sosial. Akibatnya almarhum selama seminggu mengurung diri di rumah, tidak mau makan dan minum, sebelum akhirnya hilang kesadaran dan dilarikan ke rumah sakit lalu wafat. Disebutkan pula, selama sekolah, almarhum kerap dirundung teman-teman sebaya karena mengalami keterlambatan dalam belajar serta fisik yang lemah.

“Dari fakta-fakta yang ada, sebetulnya pihak yang harusnya dimintai pertanggungjawaban adalah orang dewasa di sekitar anak-anak tersebut. Berdasarkan teori, anak-anak berperilaku melalui proses melihat dan meniru dari lingkungan sekitarnya. Kecenderungan perilaku anak-anak dipengaruhi lingkungan di sekitarnya. Termasuk oleh media. Sehingga sikap yang seharusnya diperlihatkan oleh netizen adalah meminta pertanggungjawaban dari orang dewasa dan bukan menghakimi anak-anak yang masih dalam masa belajar membangun kepribadiannya”, demikian papar Nursyawal.

Menghakimi anak sebagai satu-satunya pihak yang bertanggunjawab, akan mengaburkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak. Sebab kasus di Tasikmalaya itu, bukan kasus pertama. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama tahun 2021 teradapat 2.982 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 1.138 di antaranya adalah kasus kekerasan fisik dan 1.204 terkait kejahatan seksual atas anak. Melihat data ini, nampak jelas, betapa memprihatinkannya kualitas tanggungjawab orang dewasa di Indonesia dalam melindungi anak. Akar masalah dari tingginya kasus kekerasan terhadap anak adalah masyarakat yang belum menempatkan perlindungan anak sebagai hal penting.

Pengelola media pun ikut bertanggungjawab. Ada banyak kasus yang memperlihatkan isi media juga mendorong kekerasan terhadap anak atau memelihara sikap atau budaya yang tidak melindungi anak. Padahal berdasarkan hukum, pengelola media juga wajib melindungi anak dalam proses produksi maupun isi medianya.

Untuk itu, tema peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 ini, “anak terlindungi, negara maju”, relevan adanya.