27 September 2022

Potret Model Bisnis Radio Swasta di Wilayah Layanan Siaran Bukan Perkotaan


Penulis : Nursyawal, S.Sos., M.I.Kom.

 

Oh, you could study Shakespear and be quite elite,

And you could charm the critics and have nothing to eat,

Just slip on a a banana peel, the world's at your feet

Make 'em laugh, make 'em laugh, make 'em laugh!

Petikan bait lagu berjudul Make ‘Em Laugh itu, ditulis liriknya oleh Brown dan Freed, dinyanyikan Donald O’Connor, di dalam sebuah film musikal berjudul Singin’ in The Rain yang diputar di bioskop pada tahun 1952. Film berdurasi 1 jam 43 menit itu, termasuk dalam daftar film box office karena menghasilkan pendapatan sebesar USD 12,4 Juta, sementara biaya produksinya hanya USD 2,5 Juta. Fokus cerita film ini adalah kisah romantis antara seorang aktor dengan seorang gadis penyanyi dengan setting waktu tahun 30-an ketika industri film bisu mendapat tantangan dari kemunculan teknologi baru yang disebut pita film bersuara. Teknologi baru itu mengubah seluruh industri film yang hanya membutuhkan aktor tampan atau cantik yang dapat bertingkah di depan kamera, menjadi talenta yang juga memiliki kemampuan untuk berdialog dan bersuara bagus. Sekaligus menghapus sejumlah pekerjaan yang ada, seperti pemain musik live di bioskop untuk mengiringi film bisu yang tengah diputar. Begitulah, film ini menyampaikan pesan moral sesuai dengan kepercayaan determinisme teknologi, yaitu bahwa pihak yang tidak mau menyesuaikan diri dan mengambil kesempatan pada kecenderungan baru, akan ditinggalkan. Lirik lagu di atas juga memberi pesan, jika ingin menghasilkan uang, jangan membuat yang hebat-hebat karena takkan laku, melainkan cukup yang menghibur, karena semua orang ingin tertawa.

 ***

Bagitulah dalam sejarah peradaban manusia, kemunculan teknologi baru kerap membunuh teknologi sebelumnya, meski tidak berlaku pada seluruhnya. Ambil contoh, saat ini tidak ada lagi yang menggunakan perangkat telepon engkol (putar) karena sistem kerja perangkatnya tidak lagi selaras dengan sistem baru. Tidak ada lagi mesin mobil yang dinyalakan dengan mengungkit (engkol) kipas mesinnya. Tidak ada lagi radio penerima yang memakai lampu tabung vakum sebagai penguat sinyal. Tapi sampai saat ini masih banyak yang menggunakan cangkul, sebuah teknologi sederhana yang tercatat setidaknya mulai digunakan manusia pada tahun 3500 Sebelum Masehi, seperti yang terungkap oleh ahli arkeologi di Situs Bubenec dekat Kastil Praha.

Selain cangkul, ada banyak teknologi yang cenderung tak lekang oleh waktu, misalnya, teknologi pemancaran radio. Teknologi yang dikembangkan oleh Guglielmo Marconi pada saat ia masih berusia 20 tahunan di akhir abad ke-18. Hingga melampaui millenium ke-2, teknologi pemancaran radio melalui gelombang spektrum elektromagnetik ini bahkan terus berkembang, dari analog menjadi digital. Dari sinyal pulsa menjadi kode biner. Awalnya teknologi pemancaran radio dikembangkan sebagai sarana berbagi informasi antara satu titik ke titik lain, sebagai sarana telegrafika. Namun tidak lama kemudian menjadi sarana komunikasi satu titik ke tak terhingga titik. Sering juga disebut sarana komunikasi massa.

Seperti ditengarai kaum determinis, kehadiran teknologi baru akan membawa dilema. Begitu pula kehadiran teknologi radio siaran disambut meriah oleh masyarakat sekaligus mendatangkan kekuatiran pada pengguna teknologi sebelumnya, yaitu industri media massa cetak. Pada periode tahun 1930-an, dapat dikatakan terjadi perang dingin antara koran dan radio dalam menyiarkan berita serta pemuatan iklan (Simmon, 2016). Berkumpulnya anggota keluarga di sekitar perangkat penerima siaran radio pada masa awal perkembangan radio siaran, menciptakan nilai bisnis. Potensi yang langsung ditangkap banyak pebisnis (Patnode, 2011).

Dalam banyak literatur, radio siaran sejak awal sudah mengembangkan ragam model bisnis untuk menyokong operasi radio siaran. Di AS, sejak masa awal perkembangannya, banyak radio bekerjasama dengan perusahaan pembuat rekaman musik (saat itu masih berupa piringan hitam) untuk menyediakan materi-materi musik dengan barter penyebutan jasa pembuat rekaman. Prinsipnya, jika rekaman musik diputar, maka penyiar akan menyebut siapa perekamnya dan di mana pendengar dapat membelinya. Model ini tidak banyak menghasilkan uang karena sifat bisnisnya barter, namun sanggup mengantar penyiaran radio dan produksi musik di AS berada pada masa keemasan, yang disebut dengan Radio Days.

***

Di AS-lah, radio siaran pertama kali menjual jam siaran untuk diisi iklan berbayar. Alkisah pada tahun 1922 sebuah radio siaran bernama WEAF di New York menjual jam siarannya untuk menyampaikan pesan apa saja dari siapa saja berdasarkan hitungan menit. Model bisnis ini terinspirasi oleh model bisnis telekomunikasi perusahaan jasa telepon AS, AT&T, yang merupakan pendiri radio WEAF. Perusahaan telepon menjual jasa sambungan telepon dan mendapat bayaran berdasarkan hitungan waktu pemakaian jasa sambungan telepon. Bentuk iklan seperti ini disebut dengan iklan spot.

Model bisnis penyampaian pesan kepada siapapun dari siapapun, pernah pula menjadi salah satu jagoan radio siaran swasta di Indonesia pada awal tahun 70-an dengan sebutan kartu atensi atau kartu pilihan pendengar. Pengelola radio siaran mencetak lembaran kartu atensi yang dapat dibeli oleh pendengar sebanyak yang ia kehendaki, untuk dipakai sebagai alat permintaan lagu dan pengirman pesan kepada siapa lagu itu dipersembahkan, kemudian kartu itu akan dibacakan oleh penyiar pujaan pada acara favorit masing-masing. Model bisnis semacam itu tak bisa lagi dipraktikkan begitu sambungan telepon mulai menyebar ke seluruh rumah di Indonesia, karena tidak ada cara yang efisien untuk menagih dibanding kartu atensi. Bedanya dengan Indonesia, di AS, pada awal masa perkembangan radio, kartu atensi itu dipakai oleh perusahaan untuk memastikan para penyiar menyebut nama-nama merek produk mereka. Dalam buku teks produksi siaran model bisnis ini disebut iklan ad-libitum.

Model bisnis lain yang juga berkembang di awal masa perkembangan radio di AS antara tahun 1930-1940an adalah iklan yang direkam dan dikemas seperti sebuah drama singkat. Berbeda dengan kartu atensi yang bentuk penyiaran iklannya seperti pembacaan pengumuman, iklan rekaman bisa lebih menarik karena ada efek suara dan dialog. Model bisnis ini juga berkembang di Indonesia pada saat yang sama dengan kartu atensi pada tahun 70-an. Pada masa itu, pengiklan menghubungi langsung pengelola radio dan mendiskusikan isi iklan serta bentuk akhir produksi iklan. Model bisnis ini dinilai lebih efektif terutama karena dapat memuat pesan testimonial yang dinilai lebih persuasif (Martin, 2014).

Ada model bisnis lain yang sempat berkembang sebentar pada masa awal perkembangan radio siaran di AS pada tahun 30-an namun tidak berlangsung lama, yaitu radio siaran sebagai etalase bisnis pemilik radio. Pada saat itu sejumlah radio didirikan oleh pengelola toko besar dan digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan ketersediaan barang serta harga di toko sang pemilik radio. Dalam buku teks produksi siaran jaman sekarang, ini disebut sebagai iklan info-mercial atau advertorial. Model ini pada waktu itu, di AS, tidak bertahan lama seiring berbaliknya bentuk bisnis antara perusahaan pembuat rekaman musik dengan radio siaran yang tidak lagi barter, melainkan perjanjian royalti atas karya cipta musik yang disiarkan. Perubahan bentuk bisnis dengan pembuat rekaman musik itu menyebabkan naiknya biaya produksi siaran sehingga pemilik radio yang juga pemilik toko besar, melepaskan bisnis radio karena biaya operasi menjadi beban toko.

Model bisnis seperti ini masih dapat ditemukan sampai saat ini di sejumlah lembaga penyiaran lokal baik televisi maupun radio di Indonesia. Sejumlah pemilik lembaga penyiaran yang juga memiliki bisnis lain, menjadikan lembaga penyiarannya sebagai outlet bisnis lain itu, sehingga biaya operasional radio dapat ditanggung sebagai biaya promosi. Bahkan ada pula sejumlah pemilik radio yang melakukan “kerjasama” manajemen dengan pemilik produk tertentu (kebanyakan jasa pelayanan kesehatan/pengobatan tradisional) untuk menyiarkan produk itu secara eksklusif dan menerima biaya operasional bulanan dari pemilik produk.

***

Kembali ke AS. Seiring waktu, konsolidasi perusahaan radio siaran di AS mulai terjadi. Konvergensi kepemilikan ikut mengubah model bisnisnya. Sejumlah radio mulai berjaringan, menyediakan alokasi waktu untuk siaran bersama (relay) berikut tempat pemasangan iklannya. Dengan siaran bersama, jangkauan siaran menjadi lebih luas dan karenanya nilai jual penempatan iklan meningkat pula. Bagi pengelola radio jaringan, ongkos produksi dapat ditekan, pendapatan meningkat, nilai bisnis bertambah. Bagi pemasang iklan, radio jaringan meningkatkan terpaan dan berarti juga memperkuat kesadaran merek untuk mempermudah pemasaran.

Ketika kajian opini publik dan public relations berkembang tahun 60-an di AS, maka tumbuh pula bisnis pencitraan. Dalam pencitraan diperlukan tindakan-tindakan spesifik terhadap sasaran yang spesifik. Radio siaran kemudian mulai menyesuaikan diri dengan kecederungan itu melalui fragmentasi khalayaknya. Format siaran jaman doeloe yang All-Segment mulai berkembang menjadi puluhan format spesifik. Ada format yang disusun berdasarkan identitas etnik, jenjang usia, selera musik, status sosial, hobby, gender, dst. Masing-masing dengan kebiasaan (habit) dan rentang waktu (time span dan time spent) dengar berbeda-beda. Model bisnis ini bertumpu pada pengelompokan berdasar identitas pasar yang spesifik dan diperkuat dengan jangkauan dan sebaran (rating dan share) dan pasar. Hingga saat ini, model bisnis penyiaran radio yang mengaitkan citra merek pemasang iklan dengan identitas pasar pendengar, menjadi model dominan di seluruh dunia. Pengelola radio siaran mengumpulkan data tentang pendengarnya dan menawarkan keterkaitan identitas pasar pendengarnya dengan kedudukan (positioning) produk dari calon pemasang iklan dalam sebuah proposal program siaran yang spesifik.

Secara khusus, di Indonesia saat ini, karena penyedia data spesifik khalayak media hanya satu, yaitu Nielsen, dan tidak terawasi dengan baik seperti di sejumlah negara maju, maka untuk meningkatkan minat pemasang iklan, proposal program siaran juga diikuti dengan proposal penyelenggaraan kegiatan penjualan (off air event organizing). Model bisnis radio siaran di Indonesia seperti ini, makin dominan, karena tidak adanya data spesifik tentang pendengar dari radio-radio siaran lokal di seluruh Indonesia. Nasib yang sama juga dialami TV lokal. Ketiadaan data itu menjatuhkan nilai tawar jam siaran radio lokal dibanding TV jaringan. Sejumlah radio siaran di Indonesia mengembangkan konsep bertahan hidup dengan istilah Five-O, merujuk sebuah film detektif yang populer pada tahun 1970-an di Indonesia, Hawaii Five-O. Konsep itu merupakan kependekan dari On-Air, Online, OB-van, Off-Air, On Data (Nursyawal, 2016). Pengelola radio tidak hanya menawarkan jasa penyiaran iklan spot, tetapi juga branding melalui outdoor broadcast van yang berkeliling kota dan melakukan siaran di tengah keramaian, juga memberi bonus penempatan iklan di website atau platform digital lain, sekaligus dalam datu paket yang sama adalah pelaksanaan sebuah event seperti panggung musik atau event lain di mana pemasang iklan dapat melakukan branding atau penjualan di lokasi. Tentunya model bisnis ini dengan mudah dilaksanakan di daerah perkotaan di mana kerumunan massa dengan mudah tumbuh.

Untuk wilayah pinggiran atau bahkan pedesaan yang jauh dari alokasi belanja iklan nasional, maka model bisnis kolaborasi sosial menjadi referensi untuk bertahan hidup. Model bisnis ini masih menggunakan prinsip lama dari medium radio, yaitu sifat medium yang personal. Program radio disusun sedemikian rupa melulu untuk menjawab kebutuhan khalayak sasaran, dengan terlebih dahulu melalukan riset sederhana tentang identitas sosial khalayak sasaran. Berbeda dengan konsep identitas pasar yang membagi kategori segmentasi berdasar status sosial ekonomi dan gender, pengelompokan identitas sosial merupakan pengelompokan khalayak berdasarkan kecenderungan nilai-nilai hidup dan nilai sosial yang dianut khalayak sasaran. Model ini membutuhkan keterampilan sosial pengelola radio untuk menangkap nilai-nilai hidup kelompok pendengarnya dengan banyak terlibat dalam aktifitas sosial kelompok pendengar (Nursyawal, 2016). Melalui cara ini, pengelola radio dapat mengetahui agenda sosial target pendengarnya dan menawarkan fasilitas publikasi dan bantuan penyusunan acara kegiatan masyarakat, bahkan kanal untuk memperoleh bantuan dana untuk menyokong kegiatan masyarakat itu. Semacam jasa event organizing kepada kelompok masyarakat. Pada saat yang sama, pengelola radio mengumpulkan sejumlah produsen produk konsumen yang “sejalan” dengan kegiatan masyarakat tadi, lalu pada saat kegiatan berlangsung, pengelola radio menjadi pengelola konsinyasi penjualan produk di lokasi kegiatan. Biaya produksi relatif minimal karena yang dibawa untuk menyiarkan kegiatan itu hanyalah perangkat pemancar radio digital yang tidak lebih besar dari sebuah ransel, sebuah mixer dan kabel untuk taping dari sistem pengatur suara utama. Seluruh kegiatan tentu sudah dibayar oleh masyarakat sendiri atau sponsor kegiatan. Bentuk kegiatannya mengundang massa dan berlangsung di lapangan terbuka. Selain profit hasil konsinyasi, lembaga penyiaran mendapat benefit popularitas di kalangan pendengar karena mereka merasa kegiatan-kegiatan mereka selalu mendapat saluran publikasi.

Model lain yang menggunakan kebutuhan masyarakat untuk mengakses media penyiaran sebagai sarana produksi dan pembiayaan adalah penyiaran komunitas. Model ini digunakan oleh radio publik lokal yang merupakan transformasi radio siaran pemerintah daerah, yang sebelum berubah mendapat anggaran penuh dari negara. Setelah menjadi radio publik lokal, anggaran tidak lagi ditanggung sepenuhnya, maka radio-radio ini mulai mencari cara agar biaya produksi tertanggulangi atau ditekan. Caranya dengan mendekati komunitas-komunitas yang ada di masyarakat dan mengajak mereka menjadi produsen isi siaran. Model ini biasa dipraktikkan oleh radio komunitas yang pengelolaannya dilaksanakan oleh komunitas itu sendiri. Bedanya dengan radio publik lokal, radio komunitas tidak boleh berbisnis.

***

Masih banyak variasi model bisnis radio yang merupakan kelanjutan dari fase awal sejarah berkembangnya radio hingga saat ini. Namun model bisnis apapun ternyata kembali lagi pada inti utama radio siaran yaitu isi siarannya. Riset dan pengembangan isi siaran perlu dilakukan untuk menyediakan lingkungan bisnis yang kondusif. Tantangan terberat saat ini bagi para profesional radio siaran, terutama di daerah pinggiran yang tak terjangkau alokasi pembiayaan iklan nasional, adalah mengajak kembali masyarakat untuk mendengar radio, mempertahankan mereka yang sudah mendengarkan, dengan terus mengubah gaya siaran dan isi siaran yang menarik. Baru kemudian membangun model bisnisnya.


Referensi

Martin, Brett A. S. and Aaron Vincent (2014), Effects of Knowledge, Testimonials and Ad Copy on Cruise Advertising Judgments, Tourism Analysis, Volume 19, Cognizant Communication Corporation

Nursyawal (2016), Penggunaan Identitas Sosial Pendengar Sebagai Strategi Positioning Radio Lita FM Bandung, Program Pascasarjana UNISBA

Patnode, Randall (2011), Friend, foe, or freeloader? Cooperation and competition between newspapers and radio in the early 1920s, Journal American Journalism, Volume 28, 2011 - Issue 1 (Published online: 03 Jun 2013)

Simmons, Charlene (2016), A Marriage of Friends or Foes? Radio, Newspapers, and the Facsimile in the 1930s, Journal of Broadcasting & Electronic Media, Volume 3 : June

 

27 Juli 2022

Anak Keluarga Artis Rentan Perundungan

ARTIKEL

Penulis : Mang Sawal

Latarbelakang

Beberapa hari sebelum peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 lalu, di depan kamera program siaran televisi Trans7, FYP, pembawa acara Raffi Ahmad memperlihatkan rekaman video anaknya yang sedang menangis dalam gendongan pengasuhnya. Raffi kemudian menyebut, anaknya itu menangis setelah melihat rekaman video suasana Stadion Wibawa Mukti Bekasi usai pertandingan sepakbola antara Persija melawan Rans Nusantara yg dimenangkan Persija dengan skor 4-2 pada hari itu. Dalam rekaman video itu terdengar suara pendukung persija, Jakmania, menyanyikan lirik yang menyebut-menyebut nama anak Raffi Ahmad. Nyanyian Jakmania itu merupakan modifikasi dari lagu dangdut komedi dari Orkes Musik Pancaran Sinar Petromaks (PSP) berjudul “Bapak Menang Lotere” yang terdapat dalam album Trio Kodok (1980). Lagu PSP itu sendiri merupakan modifikasi musik milik grup vokal asal Jerman Barat, Bonnie M berjudul “Hooray ! Hooray ! Its a Holi-Holiday” yang dirilis tahun 1978.

Tidak ditemukan konfirmasi apakah anak Raffi menemukan sediri rekaman video itu, namun yang terpublikasi adalah rekaman video suasana stadion itu diperlihatkan kepada si anak oleh seseorang. Kemudian meradanglah si anak usai mendengar namanya dijadikan yel-yel untuk mengejek kekalahan tim yang dimiliki ayahnya. Dalam program FYP itu, Raffi menceritakan, dirinya sempat menelpon untuk menenangkan emosi anaknya dan mendapat jawaban, “Itu kan Papa yang punya, kenapa Aa yang diejekin”. Jadi jelas, yel-yel Jakmania itu dimaknai oleh si anak sebagai ejekan dan mengakibatkan dirinya tidak nyaman. Beruntung, menurut ibunya, Nagita Slavina, melalui kanal youtube, beberapa hari setelah kejadian itu, anaknya nampak baik-baik saja. Meski ejekan kembali dinyanyikan oleh pendukung kesebelasan sleman pada pertandingan berikutnya.

Fenomena Perundungan

Merujuk laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, perundungan diterjemahkan sebagai suatu perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati atau tertekan. Perundungan dapat dilakukan oleh perorangan ataupun berkelompok, bisa orang dewasa, bisa juga anak.

Publikasi riset lembaga swadaya masyarakat Inggris “Ditch the Label” pada tahun 2019 dari 1,5 juta kasus perundungan yang mereka tangani, mengungkapkan dua fakta besar, yaitu profil pelaku perundungan dan profil sasaran perundungan.

Menurut publikasi itu, profil perundung biasanya adalah juga korban perundungan sebelumnya, atau mengalami sindrom rendah diri, memiliki persoalan di rumah, dan tidak memiliki keterampilan sosial yang baik serta budaya kekerasan dalam masyarakat. Sementara profil korban perundungan biasanya adalah orang-orang yang berbeda, bisa karena amat pintar, karena fisik tubuh, suara, pakaian, kebiasaan, agama, disabilitas, dan seterusnya. Ada banyak alasan perundungan, bahkan ada perundungan yang dilakukan tanpa alasan yang jelas.

Bentuk perundungan juga bermacam-macam ada yang verbal, seperti membentak, berteriak, memaki, bergosip, menghina, meledek, mencela, mempermalukan, dan sebagainya. Ada perundungan fisik, berupa menampar, mendorong, mencubit, menjambak, menendang, meninju, dan lain sebagainya yang dapat melukai fisik. Juga perundungan sosial, seperti, mengucilkan, membeda-bedakan, mendiamkan. Yang kiwari adalah perundungan siber, seperti memperolok di media sosial dengan mengirimkan berbagai pesan yang menyakiti, menghina, mengancam, menyebarkan kabar bohong, mengubah foto tidak semestinya, perang kata-kata (flaming), membuat akun palsu untuk merusak reputasi seseorang, memperdaya seseorang untuk melakukan sesuatu yang memalukan, mengucilkan seseorang dari grup daring (online).

Keluarga Artis Rentan

Kembali mengingat rekaman kasus anaknya Raffi Ahmad, kita ketahui dampak bully pada anak adalah rasa kesal dan marah. Namun untuk anak lain bisa jadi menjadi takut, malu, gelisah, rendah diri, depresi, sakit fisik, bunuh diri. Seperti kasus anak korban perundungan di Tasikmalaya yang didiagnosis supsek depresi lalu mengalami gangguan kesehatan fisik kemudian meninggal di rumah sakit.

Anak Raffi Ahmad adalah profil korban perundungan yang paling potensial, karena Raffi Ahmad mengunggah seluruh aspek kehidupannya ke media sosial sebagai bagian dari mata pencahariannya. Termasuk juga mengijinkan anaknya sejak masih berusia 2 tahun menjadi bintang film berjudul sama dengan namanya, Rafathar (2017). Bahkan anak ini memiliki halaman khusus tentang dirinya di Wikipedia berisi seluruh catatan karir di industri hiburan dan iklan. Rafathar termasuk cukup populer, karena kata kunci “rafathar” setiap hari selama 7 hari terakhir tercatat dicari melalui mesin pencari Google sebanyak rata-rata 30 kali. Bandingkan dengan kata kunci “Raffi Ahmad” yang rata-rata mencapai 100 pencarian setiap hari selama 7 hari terakhir.

Dalam kajian literasi media, untuk melindungi anak dari perundungan, orang dewasa di sekitar anak, bertugas melatih keterampilan sosial anak dan memelihara batas kehidupan publik dan privasi anak ketika anak berada di dunia maya. Dalam aspek keterampilan sosial, anak harus menunjukkan kemampuan untuk mendengar dan memperhatikan, memiliki pemahaman bahasa tulis-tubuh-simbol, mampu mengungkap perasaan-pikiran-keinginan dan pendapat dengan jelas, memiliki kemampuan berkompetisi, kemampuan mengatur diri sendiri, keterampilan bekerja secara kelompok, dan merencanakan tahap-tahap serta pembagian kerja bersama. Sementara dalam kehidupan dunia maya, harus ada batas ruang privasi di dunia maya dengan tidak mengunggah seluruh kegiatan dalam bentuk foto atau video, tidak memberikan akun media sosial untuk anak, tidak memberi akses bebas ke media sosial, serta orang tua aktif berkomunikasi dengan anak ketika berinteraksi sosial dan selalu membahas hambatan interaksi sosial anak.

Menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia, orang dewasa di sekitar anak berkewajiban melindungi anak dari potensi perundungan, namun hal itu menjadi tidak sederhana bagi keluarga artis yang memang memasarkan seluruh anggota keluarganya. Di sejumlah negara, aturan menggunakan anak sebagai pekerja dibuat amat rinci sehingga banyak keluarga artis amat berhati-hati melibatkan anak mereka dalam produksi. Ambil contoh keluarga Kardashian, artis asal Amerika Serikat yang membuka seluruh aspek kehidupan keluarga ke depan publik serta keluarga artis penyanyi Michael Jackson (alm.) yang memilih untuk menyembunyikan keluarganya dari pandangan publik. Bahkan saking seriusnyanya usaha Michael Jackson itu, setiap kali anak-anaknya tampil di tempat umum yang terbuka, wajah anaknya ditutupi topeng atau kain tipis agar sulit dikenali. Ada banyak alasan Michael melakukannya, dari mulai membatasi eksploitasi oleh media, hingga kuatir atas penculikan jika wajah anak-anaknya diketahui banyak orang. Di Indonesia memang ada aturan mengenai eksploitasi ekonomi anak namun tidak rinci dan tidak ada petunjuk pelaksanaannya, sementara dalam industri penyiaran sudah ada aturan pelaksanaan lebih rinci untuk mencegah perundungan dan ekploitasi ekeonomi anak dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) 2012.

Penutup

Dari kisah keluarga artis di atas, kita belajar, ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan dan harus kita lakukan sebagai orang dewasa ketika melibatkan anak untuk tampil di depan umum lalu menjadi korban perundungan. Kita juga menyadari perlunya indikator keterampilan sosial masuk ke dalam capaian dan luaran hasil pembelajaran di tingkat pendidikan dasar dan ketegasan negara dalam menghilangkan budaya kekerasan dalam sistem sosial agar jumlah pelaku perundungan terus berkurang. Jika anak terlindungi, maka negara maju.

23 Juli 2022

Setiap Orang Dewasa Ikut Bertanggungjawab Melindungi Anak

 

Press Release

Forum Diskusi Dosen Komunikasi Sakola Nusa - Stikom Bandung

(Bandung, 22-07-2022)

Dari hasil pemindaian linimassa media sosial, sebagian warga pengguna internet (netizen) menunjukkan sikap yang salah dalam menyikapi kasus wafatnya seorang anak di Tasikmalaya berusia 11 Tahun pada hari Minggu 17 Juli 2022 lalu, setelah mengalami perundungan (bully). Menurut keterangan pihak rumah sakit, almarhum didiagnosis suspek depresi yang menyebabkan neuropati serta komplikasi typhoid yang menyerang otak. Kasus ini sempat menjadi perbincangan ramai di platform Twitter selama beberapa jam di pagi hari pada Hari Jumat 22 Juli 2022 dengan kata kunci “anak SD”.

Menurut Dosen Komunikasi Stikom Bandung, Nursyawal, hasil pemindaian linimasa itu memperlihatkan kecenderungan umum netizen yang mengecam perundungan, bahkan sejumlah pejabat tinggi pun ikut berkomentar sama. Selain itu juga nampak sikap kebanyakan netizen memandang satu-satunya yang bersalah adalah pelaku perundungan dan meminta pihak penegak hukum memberikan hukuman yang setinggi-tingginya tanpa ampun serta meminta penegak hukum mengabaikan kenyataan bahwa pelaku adalah anak-anak.

Nursyawal memaklumi, sebagai orang tua, siapa yang tidak shock, ketika mendapatkan kabar bahwa almarhum sebelumnya dirundung sedemikian rupa dan dipermalukan melalui penyebaran video rekaman perundungan ke media sosial. Akibatnya almarhum selama seminggu mengurung diri di rumah, tidak mau makan dan minum, sebelum akhirnya hilang kesadaran dan dilarikan ke rumah sakit lalu wafat. Disebutkan pula, selama sekolah, almarhum kerap dirundung teman-teman sebaya karena mengalami keterlambatan dalam belajar serta fisik yang lemah.

“Dari fakta-fakta yang ada, sebetulnya pihak yang harusnya dimintai pertanggungjawaban adalah orang dewasa di sekitar anak-anak tersebut. Berdasarkan teori, anak-anak berperilaku melalui proses melihat dan meniru dari lingkungan sekitarnya. Kecenderungan perilaku anak-anak dipengaruhi lingkungan di sekitarnya. Termasuk oleh media. Sehingga sikap yang seharusnya diperlihatkan oleh netizen adalah meminta pertanggungjawaban dari orang dewasa dan bukan menghakimi anak-anak yang masih dalam masa belajar membangun kepribadiannya”, demikian papar Nursyawal.

Menghakimi anak sebagai satu-satunya pihak yang bertanggunjawab, akan mengaburkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak. Sebab kasus di Tasikmalaya itu, bukan kasus pertama. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama tahun 2021 teradapat 2.982 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 1.138 di antaranya adalah kasus kekerasan fisik dan 1.204 terkait kejahatan seksual atas anak. Melihat data ini, nampak jelas, betapa memprihatinkannya kualitas tanggungjawab orang dewasa di Indonesia dalam melindungi anak. Akar masalah dari tingginya kasus kekerasan terhadap anak adalah masyarakat yang belum menempatkan perlindungan anak sebagai hal penting.

Pengelola media pun ikut bertanggungjawab. Ada banyak kasus yang memperlihatkan isi media juga mendorong kekerasan terhadap anak atau memelihara sikap atau budaya yang tidak melindungi anak. Padahal berdasarkan hukum, pengelola media juga wajib melindungi anak dalam proses produksi maupun isi medianya.

Untuk itu, tema peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 ini, “anak terlindungi, negara maju”, relevan adanya.

 

30 Maret 2022

Jadwal Imsak 2022 Bandung

sumber : suaramuhammadiyah.id