01 Mei 2017

Mengapa Upah Wartawan Penting Dibela ?


Nursyawal, S.Sos., M.I.Kom.

Tuntutan jurnalis tentang upah layak, mungkin tidak terlalu dipercaya publik, karena wartawan bekerja di sebuah perusahaan media yang gedung kantornya hebat, dan pemilik medianya juga hebat, nampak bonafid dengan pakaian bagus dan mobil mewah.

Tidak banyak masyarakat yang mengetahui kondisi sebenarnya di dalam kantor sebuah media.

Karena banyak di antara kita berteman dengan seorang wartawan yang nampak hidup berkecukupan. Kita tidak tahu itu bukan karena upahnya memang sudah lebih dari cukup, melainkan karena ia memiliki usaha tambahan yang mencukupi kebutuhan dapurnya. Hanya sedikit perusahaan media di Indonesia, yang telah memberi upah layak kepada pekerjanya, itupun kepada karyawan yang sudah menjadi pejabat kantor, bukan kepada pekerja lapangan.

Menurut riset yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, di 10 ibukota propinsi, selama 5 tahun terakhir, hanya sejumlah kecil media di Jakarta, yang sanggup memberi upah wartawan sedikit melampaui garis upah minimum kota.

Ketika elemen buruh lain turun ke jalan menuntut kenaikan upah minimum setiap tahun, serta fasilitas lain, upah wartawan bahkan belum mencapai batas minimum.

Sementara, selain wartawan, ada banyak pekerja lain yang terlibat dalam produksi sebuah media. Di radio atau TV, ada penyiar yang dibayar perjam, dan bukan dibayar sebagai karyawan. Ada teknisi suara atau gambar yang dibayar lebih rendah dari PNS golongan terbawah yang berpendidikan SMP.

Seperti disuarakan oleh jurubicara AJI Kota Bandung dalam aksi mayday Senin pagi tadi di Gedung Sate, kesejahteraan pekerja media jelas mempengaruhi profesionalitas mereka.

Tidak banyak yang menyadari, seorang pekerja media bisa mempengaruhi hidup ribuan, puluhan ribu bahkan jutaan orang sekaligus. Setiap hari, seorang pekerja media memproduksi isi media yang dikonsumsi masyarakat. Jika profesionalitas pekerja media rendah, maka masyarakat akan menerima isi media bergizi rendah pula. Padahal informasi jelas merupakan gizi bagi kecerdasan manusia.

Seperti diungkap oleh wartawan senior dari AS, Herbert Strenz dalam bukunya, Reporte dan Sumber Berita, profesionalitas pekerja media akan menentukan kualitas isi medianya. Pemilik media yang tidak profesional, akan menggunakan media miliknya untuk berpolitik, sementara pekerja media yang tidak profesional akan menggunakan kuasanya untuk memproduksi isi media asal laku dijual walau penuh kebohongan.

Yang dirugikan tentunya masyarakat yang seharusnya memiliki hak untuk memperoleh isi media yang layak, benar dan sehat.

Itulah mengapa, tuntutan pekerja media untuk memperoleh upah layak, bukan tuntutan yang main-main, meski yang berteriak di jalanan hanya satu atau dua orang pekerja media. Seperti disampaikan di awal opini ini, satu orang pekerja media bisa mempengaruhi hidup ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang sekaligus. Membela seorang pekerja media, sama dengan membela hak ratusan, ribuan, bahkan jutaan warga. Membungkam seorang wartawan sama dengan membungkam ratusan, ribuan, bahkan jutaan warga.

Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte syahdan pernah mengatakan, dirinya tidak takut dengan 1000 tentara musuh dengan pedang terhunus, karena jikapun kalah dalam peperangan, ia cukup meratapinya saat itu. Namun ia takut menghadapi seorang jurnalis, karena melalui tinta pena seorang jurnalis, kekalahannya dalam perang akan diratapi setiap generasi sepanjang sejarah.

Karenanya, stop upah murah bagi jurnalis !

==========
Penulis adalah dosen jurnalistik dan penyiaran di Stikom Bandung, serta Ketua Majelis Etik AJI Indonesia.