02 November 2009

Siaran Televisi Hilangkan Nilai Etika Anak

WASPADA ONLINE

MEDAN - Siaran televisi yang sarat dengan adegan kekarasan secara fisik dan verbal dipercaya menjadi penyebab hilangnya nilai etika dan sopan santun anak pada orang tua.

"Kita wajib prihatin dengan siaran televisi sekarang yang minim nilai edukasi dan sarat adegan kekerasan. Semua itu berpengaruh pada perilaku anak yang sekarang cenderung kehilangan etika dan sopan santun kepada orang tua," kata ketua Himpunan Mubalig Sumut (HIMSU), Khaidir Sulaiman malam ini.

Menurut dia, siaran televisi punya pengaruh kuat terutama kepada anak-anak dan remaja. Sayangnya dampak negatif tayangan di televisi lebih dominan karena acara yang disiarkan minim nilai edukasi.

Dampak negatif itu akibat dominannya tayangan kekerasan baik secara fisik dan verbal. Perilaku artis yang cenderung bebas dan bicara lepas juga berpengauh kuat terhadap penonton terutama anak-anak dan remaja.

"Anak-anak dan remaja punya sikap selalu ingin mencontoh apa yang dilihatnya karena rasa ingin tahunya yang besar sehingga adegan dan perilaku artis yang dilihatnya di televisi cenderung diikutinya," tambah mubalig yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini.

Ia mengatakan, sebenarnya sudah cukup lama keprihatinan akan tayangan televisi yang tidak mendidik tersebut diungkap ke permukaan. Tak terhitung berapa banyak penelitian yang dilakukan mengenai dampak negatif siaran televisi.

Namun kata dia, sampai saat ini keprihatinan dan peringatan akan bahaya siaran televisi terhadap prilaku anak seperti kurang mendapat perhatian. Kekerasan dan perilaku artis yang cenderung menunjukkan kebebasan juga masih mendominasi siaran televisi.

"Kita sebenarnya sangat berharap pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar lebih tegas dalam bersikap terutama menyangkut kekerasan dan siaran lain yang tidak memiliki nilai edukasi," katanya.

Sebagai pengajar agama di sekolah dan universitas, Khaidir mengaku, kerap kesulitan dalam memberi pelajaran karena anak sekarang jauh lebih ‘berani’ dalam bersikap.

Anak didik menjadi lebih kritis tapi sering tidak pada tempatnya serta lebih emosional. Anak-anak juga cenderung kurang menghargai teman bahkan gurunya di sekolah.

"Saya kira para orang tua sekarang juga mengalami kesulitan di rumah dalam mendidik anak-anaknya dalam hal tata krama dan menanamkan nilai kesantunan," katanya.

24 Oktober 2009

204 Media Nasional dan Asing Liput Pelantikan SBY - Boediono

Sumber: Detik com
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2009-2014 memang menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tidak heran jika 204 media nasional maupun asing berbondong-bondong meliput acara tersebut.

"1.339 peliput akan mengabadikan momen tersebut," kata Sekjen MPR, Rohimullah dalam rilisnya, Senin (19/10/2009) kemarin.

Dari data yang masuk di Sekretariat Jenderal MPR telah terdaftar 86 media cetak nasional, 12 radio nasional, 22 TV nasional, 30 media internet yang meliput acara tersebut. Sementara dari media asing, tercatat 13 media cetak asing, 4 radio asing, 18 televisi asing dan 1 media internet asing.

"Juga akan ada lembaga penyiaran (kantor berita) negara asing dan situs resmi pemerintah," kata Rohimullah.

Rencananya, pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono akan digelar pukul 10.00 WIB. Selain anggota parlemen, pelantikan juga akan dihadiri oleh sejumlah mantan Presiden dan Wakil Presiden.

Bandung Lgi-lagi Disebut Cocok Jadi ICT City

sumber:www.detik.com, www.kompas.com
Menteri Komunikasi dan Informatika yang baru terpilih Tifatul Sembiring mengungkapkan sangat mendukung kemajuan industri teknologi komunikasi informasi (ICT) lokal.

Menurut Tifatul, suatu saat nanti Indonesia akan memiliki Silicon Valley seperti di Amerika Serikat (AS). Keinginan tersebut sepertinya sejalan dengan keinginan masyarakat Indonesia, khususnya kota Bandung yang baru-baru ini baru saja menggelar event Helarfest yaitu perhelatan kreatif warga Bandung khususnya komunitas kreatif.

Bandung memiliki potensi yang luar biasa untuk tumbuh dan berkembang berbasiskan industri kreatif. Merujuk kepada pengalaman suksesnya Silicon Valley di San Jose, Santa Clara, Sunnyvale, dan Palo Alto, AS sebagai salah rujukan kota kreatif dunia, Perusahaan teknologi raksasa banyak yang bermarkas di daerah tersebut seperti, Adobe System, Google, Yahoo, Apple Computer, Cysco Systems, eBay, Hewlett-Packard, dan Intel.

Menurut Kamil Ridwan, Ketua Bandung Creativity City Forum (BCCF), Bandung memiliki kemiripan seperti daerah Silicon Valley, AS meskipun dalam skala yang berbeda. Kemiripan itu terkait rumusan Three T (Tiga T) yaitu talenta, teknologi, dan toleransi.

Seperti yang dikutip dari detik.com, "tentu kami ingin tingkatkan industri lokal hardware dan software seperti Silicon Valley," kata Tifatul kepada detikINET.com.

Tifatul menilai, belanja infrastruktur ICT, khususnya telekomunikasi yang tiap tahunnya mencapai 70 triliun, kurang dinikmati masyarakat industri lokal.

Ia juga menyoroti, dengan pengguna telepon seluler yang mencapai 160 juta, seharusnya banyak potensi bisnis yang bisa direguk pebisnis dalam negeri.Red/AN

05 Oktober 2009

Tiga Juta US Dollar Bantuan Cepat dari Jerman

Jakarta, 01-10-2009

Kanselir Jerman Merkel menyampaikan duka cita yang mendalam kepada Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono dan menyampaikan kesediaan Jerman untuk membantu Indonesia.

Sehubungan dengan terjadinya gempa besar di Pulau Sumatra pada hari Rabu dan Kamis lalu, Kanselir Jerman, Angela Merkel pada Hari Kamis (01-10-09) dalam pembicaraan melalui telepon dengan Presiden RI Yudhoyono menyampaikan rasa duka yang sangat mendalam. Ia menyampaikan bahwa Jerman akan membantu Indonesia menghadapi masa sulit ini. Kanselir Merkel juga menekankan kesediaan Jerman untuk memberi bantuan. Jerman telah menyediakan Tiga Juta US Dollar sebagai bantuan segera bagi para korban, 1,5 juta US Dollar dari jumlah tersebut diambil dari dana Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman. Selain itu sebanyak 40 Anggota THW (tenaga ahli penanganan bencana) akan ditugaskan di wilayah bencana di Sumatra Barat.

Presiden Yudhoyono menyampaikan terima kasih kepada Kanselir Merkel dan juga berterima kasih atas bantuan Jerman dan menyampaikan, bahwa Indonesia dengan senang menerima bantuan dari Jerman.

Selain itu Menteri Luar Negeri Jerman, Dr. Frank-Walter Steinmeier menyampaikan rasa dukanya terhadap terjadinya gempa di Sumatra kepada Menteri Luar Negeri RI Dr. N. Hassan Wirajuda dan menyampaikan kesedian Jerman untuk membantu.

01 Oktober 2009

KPID Jabar Ingatkan TV Berita Dalam Meliput Gempa SUMBAR

Bandung, 1 Oktober 2009,---

Karena sifatnya segera, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat Kamis petang ini (01/10/09) melalui telepon, mengingatkan redaksi sejumlah televisi berita agar memperhatikan aturan dalam penayangan gambar, baik langsung maupun rekaman, dari lokasi evakuasi korban bencana gempa di Sumatera Barat.

Menurut Ketua KPID Jawa Barat Dadang Rahmat Hidayat, KPID Jabar mendukung kebebasan pers dan menjunjung tinggi hak publik untuk memperoleh informasi, namun gambar yang ditayangkan tetap harus memperhatikan dampak psikologis bagi korban, keluarga korban, dan pemirsa umumnya.

Menurut Peraturan KPI nomor 03 Tahun 2007 tentang Standard Program Siaran (SPS) Pasal 30 disebutkan, lembaga penyiaran agar membatasi gambar yang memperlihatkan korban bencana dengan memperhatikan dampak negatif seperti trauma baik kepada keluarga korban atau penonton anak-anak, dan lain-lain. Karena itu, Pasal 30 SPS mengatur agar gambar korban bencana disamarkan dan durasinya dibatasi.

Menurut Pasal 54 SPS dalam meliput dan atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena tragedi musibah atau bencana, lembaga penyiaran harus mempertimbangkan dampak peliputan bagi proses pemulihan korban dan keluarganya, tidak boleh menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang terkena musibah, dan atau orang yang sedang berduka, dengan cara memaksa, menekan korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya.

Selama sehari ini, kantor KPID Jawa Barat menerima banyak telepon dan SMS dari pemirsa televisi yang menilai cara presenter televisi berita dalam mewawancarai keluarga korban tidak pantas, karena mengajukan pertanyaan yang tidak relevan hanya untuk memancing air mata orang yang diwawancarai. Pertanyaan cliche yang selalu ada adalah, "apa perasaan Anda?". Ada pula pemirsa yang terganggu dengan gambar seorang ibu yang dievakuasi hidup dan diambil gambar dengan close up juga jenazah anak-anak yang bertumpuk-tumpuk diambil secara close up. Menurut sejumlah pemirsa, gambar-gambar itu hanya menimbulkan kengerian, bukan menimbulkan simpati, terutama pada diri penonton anak-anak kecil. Melalui facebook KPID Jabar, seseorang menulis, televisi seharusnya tidak mengeksploitasi bencana atau korban bencana untuk menarik rating.

30 September 2009

KPID Jabar Peringatkan TV One, Metro TV dan ANTV

Melalui surat bernomor 167/K/KPIDJABAR/09/09 Hari Rabu 30 September 2009, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat mengingatkan 3 buah stasiun televisi swasta Jakarta untuk tidak berpihak (impartial) dalam pemberitaan tentang bakal calon Ketua Umum Partai Golkar. Televisi tersebut adalah TV One, Metro TV, dan ANTV.

Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPID Jawa Barat Dadang Rahmat Hidayat tersebut, KPID Jawa Barat mengungkapkan, telah menerima aduan masyarakat dan memperoleh temuan pelanggaran aturan dalam sejumlah tayangan berita di ketiga televisi tersebut yang berkaitan dengan proses pencalonan Ketua Umum Partai Golkar, selama sepekan terakhir. Ketiga stasiun televisi dari Jakarta itu dinilai tidak netral atau berpihak pada bakal calon tertentu.

KPID Jabar menegaskan, menurut UU Penyiaran nomor 32 Tahun 2002 Pasal 36 ayat 4, lembaga penyiaran harus menjaga netralitas isi siarannya. Selain itu, menurut Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) nomor 02 Tahun 2007, Pasal 15 Ayat 1, dalam menyajikan informasi harus berimbang dan tidak berpihak. Ayat 2, lembaga penyiaran wajib patuh pada Undang-undang dan Kode Etik Jurnalistik dalam kegiatan jurnalistiknya. Hal ini sesuai dengan bunyi UU Pers nomor 40 Tahun 1999, Pasal 7 ayat 2.

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) Tanggal 24 Maret Tahun 2006 yang disahkan Dewan Pers menjadi Peraturan Dewan Pers nomor 06 Tahun 2008, Pasal 3 menyebut, "wartawan Indonesia menyiarkan berita secara berimbang".

Untuk menjamin kemerdekaan wartawan/redaksi dalam menjalankan kebebasannya, KPI mengatur melalui Peraturan KPI Nomor 03 Tahun 2007, Pasal 43 yang menyebut "Pimpinan redaksi harus memiliki independensi untuk menyajikan berita dengan obyektif, tanpa memperoleh tekanan dari pihak pimpinan, pemodal, atau pemilik lembaga penyiaran".

Melalui surat tersebut, KPID Jawa Barat meminta pengelola ketiga stasiun TV dari Jakarta itu patuh dan menghormati hak publik untuk mendapat informasi yang benar, jujur, adil dan tidak berpihak.

Sesuai peraturan UU, pengelola ketiga stasiun televisi dari Jakarta tersebut memiliki hak untuk menjawab.

AJI Minta TV One dan Metro TV Netral

Nomor : 001/AJI-Div. EP/Pernyataan/ IX/2009
Perihal : Pernyataan Sikap untuk segera diberitakan

PERNYATAAN SIKAP ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN
"Jaga Independensi, dan tetap Profesional Melayani Hak Informasi Publik"

Aliansi Jurnalis Independen menerima sejumlah keluhan dari masyarakat menyangkut pemberitaan bertendensi mengabaikan aspek keberimbangan, obyektivitas, dan dikhawatirkan mengancam independensi wartawan. Seperti diketahui, menjelang Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya (Munas Golkar) 4-7 Oktober 2009, terdapat adanya gejala penayangan paket pemberitaan cenderung diliputi persaingan politik dari dua pemilik media televisi berita, yakni TVOne dan METRO TV.

Sebagaimana diketahui, Aburizal Bakrie adalah pemilik TVOne, sementara Surya Paloh adalah pemilik METRO TV. Keduanya kini sedang bertarung memperebutkan posisi Ketua Umum Golkar dalam Munas mendatang. AJI menangkap sinyalamen, kedua media ini bertendensi lebih mewakili kepentingan pemilik dalam konteks pemberitaan pertarungan politik di Golkar, dan berpotensi menghasilkan pemberitaan yang tidak berimbang.

AJI mengingatkan bahwa frekwensi yang dipakai kedua TV itu adalah milik publik dan karenanya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk melayani kebutuhan informasi publik. Sesuai dengan aturan hukum dan etik penyiaran, frekwensi televisi tak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan golongan, tidak juga untuk pemilik media. Atas dasar itulah AJI mendukung langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegakkan prinsip-prinsip independensi di dunia penyiaran.

Sebagai organisasi profesi, AJI menghimbau kepada jurnalis untuk mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik seperti diamanatkan oleh Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Pers. Sebagai media yang hidup di ranah publik, para jurnalis diharapkan senatiasa tetap menjaga independensi, dan bekerja menggunakan standar profesionalisme yang berlaku di dunia jurnalistik, antara lain dengan menyajikan berita secara berimbang. AJI mengingatkan, dalam rangka melayani hak masyarakat untuk tahu (rights to know), tanggungjawab profesional seorang wartawan bukan hanya kepada pemilik, tetapi terutama sekali adalah kepada publik.

Jakarta, 29 September 2009

Nezar Patria // Andy Budiman
Ketua Umum // Koord. Divisi Etik dan Peningkatan Kapasitas Profesi

AJI Indonesia
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website : www.ajiindonesia. org

18 September 2009

1 Syawal 1430 H

Taqabalallahu minna waminkum
Shiamana washiamakum

Mohon Maaf
LahirBatin
.

14 September 2009

AJI Mendukung Putusan PN Makassar

(AJI Indonesia) Hari Senin 14 Agustus 2009, Pengadilan Negeri Makassar memutus bebas Jupriadi Asmaradhana, jurnalis yang didakwa mencemarkan nama mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat, Irjen Polisi Sisno Adiwinoto.

Menurut majelis hakim PN Makassar, Jupriadi Asmaradhana tidak terbukti melakukan pencemaran nama. Sebelumnya, Jupriadi didakwa mencemarkan nama Irjen Sisno menyusul protesnya terhadap pernyataan Irjen Sisno yang setuju kriminalisasi pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyambut baik putusan tersebut. Putusan tersebut ibarat oase di tengah padang pasir tekanan hukum bagi kebebasan pendapat di Indonesia. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali orang yang dijerat dengan pasal pencemaran nama, baik itu jurnalis maupun masyarakat.

AJI Indonesia berharap putusan tersebut menjadi pembanding bagi para penegak hukum yang sedang menangani kasus-kasus pencemaran nama, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Dengan mengacu pada putusan tersebut, para penegak hukum akan mengadili kasus-kasus pencemaran nama secara lebih komprehensif, sehingga bukan sekedar mengadili kata-kata.

AJI juga memberi apresiasi yang besar bagi para hakim yang menangani perkara ini karena telah membuat putusan dengan bijak, tidak sekedar mengadili kata-kata. Majelis hakim telah memeriksa perkara ini dengan professional dan independen.

AJI juga menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Kepolisian Republik Indonesia, terutama Kapolri Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri. Sebab, kepolisian telah bersikap profesional dengan tidak mengintervensi kasus ini. Kepolisian tidak menganggap kasus ini sebagai kasus antara Jupriadi melawan institusi kepolisian, tapi
semata-mata kasus antara pribadi Jupriadi dengan pribadi Irjen Sisno Adiwinoto.

AJI juga tidak lupa menyampaikan terimakasih yang besar atas dukungan berbagai pihak dalam mengadvokasi ini. Lembaga Bantuan Hukum (LH) Makassar, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) serta para jurnalis di Makassar dan berbagai kota telah memberi dukungan dalam penangani kasus ini.

Namun demikian, AJI juga megingatkan bahwa masih banyak orang yang dijerat kasus-kasus pencemaran nama di Indonesia. Saat ini Prita Mulyasari, seorang konsumen rumah sakit, tengah diadili dengan tuduhan pencemaran nama. Usman Hamid, koordinator Kontras, juga menjadi tersangka pencemaran nama mantan pejabat BIN Muchdi Pr.

12 September 2009

Godzilla, Buaya, Cicak

Catatan Al Nursyawal dalam Facebook

Tahun 2004, podium film Hollywood diisi sebuah film remake berjudul "Godzilla". Kaena Box Office, iapun memilik tilas tapak di "Walk of Fame".

Ada satu petikan adegan dalam remake itu yang mengutip film aslinya. Ketika seseorang yang sekarat (sosoknnya orang Jepang) dengan suara paraunya menyebut-nyebut "gojira" berulang-ulang.

Penonton menduga, film asli Godzilla, tentulah dijuduli "Gojira".

Tidak salah, film aslinya produksi Tahun 1954, karya sutradara Ishiro Honda, dalam bahasa Jepang, ditulis "Gojira". Tetapi dalam katalog film Tahun 1954, "Gojira" sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan "Godzilla".

Ide pembuatan film ini muncul setelah upaya produser Jepang Tomoyuki Tanaka, untuk membuat film tentang dampak nuklir terhadap perairan Jepang, berjudul Eiko-kage-ni, gagal pada tahun 1953. Kemudian Tomoyuki berlibur ke Indonesia dan di sanalah ia mendapat inspirasi untuk mendukung pembuatan film Gojira.

Gojira sebenarnya adalah gabungan dari Gorira dan Kojira. Gorira untuk Gorilla dan dan Kojira untuk Ikan Paus. Ide awal bentuk Gojira memang makhluk raksasa gabungan gorila dan ikan paus. Tetapi ide itu ditolak sang produser. Kemudian dari sekian usulan sosok monster, terpilihlah sosok mirip dinosaurus. Namun nama Gojira tetap dipakai.

Film ini mendapat hadiah Academy Award-nya Jepang sebagai film dengan efek visual terbaik pada tahun 1954.

Namun, meski Gojira adalah makhluk mengerikan, perilakunya adalah perilaku alamiah hewan yang secara instinktif melindungi anaknya. Sayangnya, ukurannya membuat semua gerakannya menjadi merusak. Karena yang dirusak adalah milik dan kepentingan manusia, maka Gojira dianggap musuh manusia dan harus dimusnahkan.

Sebetulnya, kalau ingin mengambil analogi makhluk yang paling mengerikan dan kuat, maka manusia adalah pilihan yang tepat daripada buaya atau tokoh fiktif seperti godzilla. Karena dalam setiap film atau cerita apapun, yang bertahan di akhir cerita tetaplah manusia. Manusia adalah Predator paling atas dalam rantai makanan.

Jadi ngapain capek-capek cari padanan. Bilang aja, "manusia kok dilawan, ya keteteran dong!"

Polisi Tambah Jaksa Jadi Godzilla

Jum'at, 11 September 2009 | 18:18 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Jaksa Agung Hendarman Supandji berseloroh soal kerja sama polisi dan jaksa dalam menangani perkara. “Kalau kepolisian bertindak sendiri kan buaya. Tapi kalau bersama-sama dengan jaksa sudah bukan buaya lagi, tapi Godzilla,” kata Hendarman saat memberikan keterangan pers di Kejaksaan Agung, Jumat (11/9).

Tapi kata-kata Hendarman tak ada hubungannya dengan kasus dugaan suap PT Masaro ke petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini ditangani Mabes Polri.

Hendarman mengatakan hal itu terkait rencana menjerat Robert Tantular, bekas Komisaris Bank Century, dengan pasal korupsi dan pencucian uang. Dia mengaku telah memerintahkan jaksa dari Bidang Pidana Khusus dan Bidang Pidana Umum untuk berkoordinasi dengan polisi.

“Jaksa akan bergabung dengan kepolisian untuk menangani kasus itu,” ujarnya. “Buaya kalau 10 kali lebih besar saya ibaratkan godzilla.”

Istilah ‘buaya’ menjadi populer ketika Komisaris Jenderal Susno Duadji mengibaratkan posisi polisi dan KPK – yang disebut-sebut tengah memanas. “Ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” kata Susno suatu kali.

ANTON SEPTIAN

26 Agustus 2009

Pemilu Afghanistan Di Mata Media Internasional

Sumber: DW Online

Pemilu ini bukan hanya penting bagi Afghanistan saja, melainkan juga bagi dunia internasional. Karenanya menjadi tema komentar dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian Spanyol El Periodico de Catalunya yang terbit di Barcelona dalam tajuknya berkomentar : Jika Afghanistan merupakan sebuah negara normal, maka pemilu ini akan berlaku sebagai pertanda demokrasi dan koherensi sosial. Tapi sayangnya situasi di Afghanistan tidak normal. Ketika AS delapan tahun lalu menyerang negara itu, karena dianggap sebagai lahan subur bagi tumbuhnya Al Qaida, tindakan ini ibaratnya memukul sarang tawon. NATO dengan missinya, juga ingin menunjukkan bahwa aliansi ini di abad ke 21 masih dapat memainkan peranan. Lebih dari 100.000 serdadu ditempatkan di Afghanistan. Tapi jumlah ini tidak mencukupi untuk mencegah aksi kekerasan dan maraknya korupsi di kalangan pemerintahan. Taliban terus melancarkan serangan-serangan mengerikan. Walaupun situasinya amat dramatis, pemilu ini merupakan secercah harapan, bahwa suatu hari nanti Afghanistan akan menjadi sebuah negara yang bebas.

Harian Austria Salzburger Nachrichten yang terbit di Salzburg berkomentar : Pemilu ini tidak seperti apa yang diimpikan barat. Namun Afghanistan harus mencari jalan sendiri bagi masa depannya. Uni Eropa sudah menegaskan, pemilu presiden ini amat menentukan bagi masa depan Afghanistan. Tapi pernyataan Eropa ini dapat dibantah. Pemilu kedua setelah digulingkannya rezim Taliban pada tahun 2001 memang menandai sebuah etappe dari jalan yang amat panjang. Tapi pemilu ini nyaris tidak menentukan masa depan Afghanistan. Perkembangan kemasyarakatan tidak mandeg gara-gara pemilu. Juga bila peristiwa ini dinilai amat penting oleh pengamat barat. Hari pemungutan suara sebetulnya merupakan sebuah kesempatan, untuk menarik neraca dari masa lalu.

Harian Belanda Trouw yang terbit di Amsterdam berkomentar : Pemilu presiden sebelumnya diikuti 70 persen pemilih, yang mencerminkan bahwa banyak warga Afghanistan masih memiliki harapan bagi masa depan yang lebih baik. Tapi sekarang, banyak warga yang sudah putus harapan. Dipatahkan oleh aksi kekerasan dan situasi ekonomi yang buruk. Selain itu juga dikhawatirkan terjadinya kecurangan pemilu. Terutama juga akibat serangan Taliban yang bahkan dilancarkan di pusat ibukota Kabul. Walaupun demikian, tetap muncul harapan, warga Afghanistan akan tetap menuntut haknya untuk demokrasi, bagaimanapun kacaunya situasi. Ini merupakan sebuah prasyarat yang menentukan untuk dapat melawan teror serta anarki.

Terakhir harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar : Pemungutan suara itu tidak hanya memiliki arti penting secara nasional. Permainan ini mempertaruhkan lebih banyak lagi. Pemilu presiden ini berdampak melewati perbatasan negara yang tercabik-cabik dan sulit dikendalikan itu. Warga Afghanistan tidak hanya sekedar memilih presiden baru dan dewan provinsi. Apakah mereka pergi ke bilik pemilihan, atau tetap tinggal di rumah, ibaratnya seperti mengikuti sebuah referendum, yang diarahkan pada kepedulian masyarakat internasional. Dalam arti, menyangkut upaya stabilisasi Afghanistan, yang dinilai sebagai lokasi strategis penting dalam perang melawan terorisme. Ini merupakan referendum di bawah ancaman senjata.

Termehek-mehek Trans TV Kena Tegur

Sumber : KPI Link

KPI Pusat melayangkan teguran tertulis pada Trans TV karena dinilai menayangkan adegan kekerasaan di program acara Termehek-mehek edisi 1 Agustus lalu, Selasa (25/8). Adegan kekerasaan tersebut melanggar aturan yang ada Pasal 36 ayat (3) dan 5 (b) UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan sejumlah ketentuan yang ada di Standar Program Siaran (SPS) KPI.

Perlu diketahui, teguran tertulis yang diberikan KPI Pusat pada Trans TV ini dijatuhkan setelah adanya klarifikasi langsung dari Trans TV terkait persoalan tersebut pada 19 Agutus 2009.

Dalam surat teguran yang ditandatangani oleh Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Sendjaja, dijelaskan pula mengenai sanksi pelanggaran terhadap Pasal 36 ayat 5 (b). Adapun sanksi berupa pidana berupa kurungan sebanyak-banyaknya 5 tahun atau kena denda paling banyak 10 miliar rupiah sesuai dengan aturan di Pasal 57 ayat (d) UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

KPI Pusat juga menegaskan akan terus melakukan pemantauan pada program tersebut dan jika ditemukan kembali adanya pelanggaran dalam program tersebut kemungkinan KPI akan menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan yang ada dan bukan tidak mungkin akan kena sanksi pidana seperti yang dijelaskan dalam surat teguran tersebut.

Di akhir surat teguran itu, KPI Pusat meminta kepada Trans TV membuat surat pernyataan tertulis mengenai komitmen mereka melakukan perbaikan-perbaikan terkait isi siaran program Termehek-mehek. Red/RG

Jembatan Selat Sunda Ditentang Akademisi

Steven Lenakoly - detikNews

Surabaya - Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) mendapatkan pertentangan dari akademisi. Jembatan itu dinilai tidak memiliki nilai tambah sehingga pembangunan jembatan sepanjang lebih dari 30 kilometer itu sebaiknya dipikirkan lagi. Pembangunan jembatan itu dinilai lebih memiliki nilai gengsi daripada nilai fungsional.

"Seperti Sidney Opera Hall yang tidak lagi terpakai. Saya takutkan nanti seperti ikon Australia itu," kata pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Johan Silas dalam seminar Jembatan selat sunda: Blunder atau Terobosan Teknologi? Tantangan Negara Kepulauan di ITS, Jalan Sukolilo, Selasa (25/8/2009).

Contoh yang dimaksud oleh Johan menggambarkan bahwa Sidney Opera Hall yang semula bertujuan untuk pementasan opera dan menghabiskan dana yang sangat besar ternyata saat ini tidak sesuai harapan. Saat ini gedung itu malah menjadi ikon yang tidak memiliki nilai positif.

Ia memaparkan bahwa JSS itu tidak memberikan pertambahan nilai saja dan lebih merupakan prestige bangsa ini. Ia menyarankan agar lebih baik memperbaiki kapal yang menghubungkan Jawa-Sumatera yang saat ini masih belum optimal.

Pertimbangan ini didasarkan bila kapal lebih baik maka akan terjadi perkembangan ekonomi dan lebih efektif dibandingkan jembatan. Jembatan tidak bisa memberikan nilai tambah pada lingkungan sekitarnya.

Sementara itu pakar hukum perairan internasional Universitas Hang Tua, DR Dhiana T Wardana menyatakan bahwa Selat Sunda merupakan perairan lalu lintas internasional. Sehingga apabila nanti dibangun jembatan akan mempersulit lalu lintas internasional.

laporan selengkapnya ..

.

25 Agustus 2009

Hari tanpa Televisi (HTT) : Kendali Ada Di Tangan Anda

Sumber : Koran Pikiran Rakyat

KALAU pada Kamis (23/7) malam lalu Anda sempat menyaksikan tayangan malam puncak Nickelodeon Indonesia Kids Choice Awards 2009 yang disiarkan langsung dari Tennis Indoor Senayan Jakarta, ada satu kejadian yang menarik perhatian. Luna Maya yang mendapat penghargaan sebagai Artis Wanita Favorit bagi Anak-anak, didaulat ke atas panggung bersama Ariel "Peterpan". Tanpa dikomando, ratusan anak-anak yang berdiri di depan panggung mengeluarkan koor, "Cium... cium... cium!".

Entah apa yang ada di benak para orang tua menyaksikan adegan impulsif tersebut. Pasalnya, acara tersebut diperuntukkan bagi anak-anak, dan banyak dihadiri anak-anak. Mana yang jadi reaksi Anda saat menyaksikan adegan tersebut bersama buah hati Anda? Tertawa terbahak-bahak, apatis, atau bahkan tertawa miris?

Apa pun itu, setidaknya kejadian itu memberikan satu gambaran luas. Betapa anak-anak sudah sedemikian diterpa oleh tayangan yang diberikan media massa, terutama yang memberitakan kisah semacam Luna dan Ariel.

Pembahasan mengenai dampak negatif televisi sendiri sudah banyak diperbincangkan. Barangkali sejak J.L. Baird dan C.F. Jenkins pertama kali menemukan kotak bernama televisi di negeri Paman Sam. Pergulatan wacana seputar dampak negatif versus positif televisi tak pernah lepas dari perbincangan mahasiswa atau pemerhati dunia komunikasi. Yang paling mudah ditemukan, oleh orang tua yang prihatin dengan tayangan televisi bagi anak-anak mereka.

"Makanya kita butuh satu hari untuk mengingat kembali, isunya masih sama dengan tahun lalu. Dengan Hari tanpa Televisi (HTT), kita berharap bisa menggerakkan kecerdasan penonton untuk memilih tayangan televisi, dan menyehatkan tayangan televisi sendiri," ucap pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung sekaligus pengamat media, Santi Indra Astuti, ditemui di Sekretariat Bandung School of Communication Studies di Jln. Tamansari Bandung, Jumat (24/7).

Pada 2009, kegiatan HTT bertepatan dengan hari ini, Minggu (26/7). Namun Santi mengingatkan, HTT yang identik dengan slogan "Turn off Your TV Day", bukan merupakan bentuk ekstrem dari pelarangan menonton televisi.

"Itu yang sering saya alami, masih banyak orang yang berpikir seperti itu. Gerakan ini hanya sebagai ajakan untuk mematikan televisi selama satu hari, dan anjuran bagi keluarga untuk mencari kegiatan positif lain di luar menonton televisi," ucap Santi. Pemilihan hari Minggu disebabkan hari itu merupakan hari libur mayoritas, ketika anak-anak biasanya berkumpul bersama orang tua.

Ancaman televisi
Berdasarkan data dari AGB Nielsen Media Research untuk 2008, televisi masih merupakan media yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, sebanyak 94 persen. Selanjutnya diikuti oleh radio (62 persen) dan koran (22 persen). Anggap saja itu merupakan satu bukti betapa besarnya pengaruh televisi.

Survei Unicef pada 2007 juga menyebutkan konstruksi realitas yang lumayan mengejutkan saat itu. Anak Indonesia menonton televisi sebanya lima jam sehari atau 1.560 hingga 1.820 setahun. Sementara jumlah jam belajar tak lebih dari 1.000 jam setahun. Ketika sudah menginjak bangku SMP, seorang anak rata-rata sudah menyaksikan siaran televisi selama 15.000 jam. Padahal, waktu belajar di sekolah tak lebih dari 11.000 jam.

Di Jawa Barat sendiri, dalam kurun waktu Januari hingga Juli 2009, ada empat tayangan televisi yang membuahkan surat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, akibat isi siaran yang dianggap bisa melukai jiwa anak-anak. "Pada dasarnya, setiap konsumen berhak mendapatkan kenyamanan saat mengonsumsi sesuatu. Ajakan HTT lebih kepada kampanye mengajak penonton untuk lebih dewasa memilih isi siaran," ucap Anggota KPID Jawa Barat Bidang Isi Siaran, Nursyawal, ditemui di Kantor KPID Jawa Barat di Jln. Malabar Bandung, Kamis (23/7).

Secara umum, kata Nursyawal, KPID Jawa Barat melayangkan surat teguran kepada radio dan televisi sebanyak 56 kali pada 2008. "Di antaranya, ada 26 aduan yang sudah diklarifikasi, namun mereka menyadari dan tidak melanjutkan," katanya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bandung Y. Rudy Parasdio, ditemui di Kantor KPAI Jln. Cianjur Bandung, Jumat (24/7) menegaskan, anak-anak kini sudah menjadi korban kamuflase siaran tayangan televisi yang tidak sesuai dengan usia anak-anak. "Yang terkena sebenarnya mayoritas secara psikologis, dan ini sudah masuk ke ranah kekerasan terhadap anak," ucapnya.

Pelanggaran hak anak pada mutu siaran, kata dia, sebaiknya membutuhkan peran aktif orang tua untuk mendampingi saat anak-anak menonton televisi. Jika hal ini sulit dilakukan, minimal orang tua menyediakan alternatif kegiatan yang bisa dilakukan di rumah selain menonton televisi.

Kegiatan HTT lewat "Turn off Your TV Day" memang tidak serta-merta mengajak penonton untuk mengenyahkan televisi. Ajakan untuk melakukan "diet" televisi selama satu hari penuh setidaknya bisa memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa tak ada istilah "ditodong" televisi. Penonton sebagai konsumen punya hak penuh untuk menentukan atau (bahkan) menggiring tayangan menjadi lebih aman bagi anak-anak. Jadi, kini saatnya kendali ada di tangan Anda. (Endah Asih/"PR") ***

15 Agustus 2009

Komnas HAM Kecam Tayangan Penggrebekan Densus 88

Jumat, 14 Agustus 2009 13:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam jajaran media yang mempertontonkan penggerebekan tersangka teroris oleh Densus 88 di Temanggung.

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, media televisi telah menjadikan upaya penangkapan itu menjadi live show. "Penggerebekan itu menjadi tontonan live show. Ditayangkan selama 18 jam, lagi. Ini kan lama," kata Ifdhal di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (14/8).

Menurut Ifdhal, media massa seharusnya tidak melakukan trial by the press terhadap orang yang tidak bersalah dan menghormati asas praduga tak bersalah. Di samping itu, media juga harus menahan diri dan tidak membuat pemberitaan yang misleading dengan fakta dan bukti-bukti yang telah dikumpulkan, baik oleh jajaran intelijen, maupun aparat Polri.

Tontonan ini, tambah Ifdhal, juga memberi pengaruh buruk bagi anak-anak karena menayangkan tindakan kekerasan oleh aparat negara. "Kan tidak semua yang menonton acara itu orang dewasa. Anak-anak juga nonton," cetusnya.

Bahkan, keluarga tersangka juga ikut terseret dalam stigma sebagai bagian dari kelompok teroris. Akibatnya, tidak jarang ada kelompok masyarakat yang menolak keluarga tersangka di lingkungan mereka. "Ini kan kasihan. Mereka ini warga biasa yang lebih sering tidak tahu aktivitas tersembunyi suami, bapak, anak ataupun anggota keluarga mereka. Secara hukum tidak memiliki sangkut pautnya," ungkapnya.

13 Agustus 2009

Mencermati Tayangan Marathon Dari Temanggung

Tidak semua senang dengan tayangan marathon hampir 18 jam di 2 buah televisi swasta Jakarta. Tidak semua ternyata membutuhkan katarsis. Tidak semua orang ingin seperti penonton Drama Oedipus Rex saat menyaksikan Raja Oedipus yang setelah kematian istri yang juga ibunya itu, lalu membutakan matanya sendiri. Tidak semua orang memiliki gumpalan emosi yang menyumbat dan perlu dibersihkan, dengan menonton rentetan tembakan ke dinding rumah kecil milik Mohjahri di sisi jalan Desa Beji RT01/RW07 Kelurahan Kedu Temanggung dan sedikitnya 5 ledakan bahan peledak yang dilontarkan ke dalam, dengan sebelumnya diberitahu bahwa di dalam rumah ada buronan nomor satu, Noordin M.Top. Sehingga banyak juga teman yang berkomentar pada status facebook dengan kalimat, "rasain lu", "modhar kowe", "biar mampus", "go to hell", dst. Benar-benar hidangan catharsis effect.

Masih ada orang yang merasa betapa nelangsa perasaan keluarga dari orang yang berada di dalam rumah itu. Melihatnya ditembaki belasan jam, lalu dibombardir. Siapa pun orang itu. Entah dia teroris, entah dia syuhada, entah orang biasa yang tidak tahu apa-apa. Perasaan yang ada masih sama.

Kepada Komisi Penyiaran Indonesia, melalui Hotline SMS Pengaduan KPI, seorang warga menulis aduannya, "Penayangan selama 18 jam, di 2 stasiun TV swasta, soal proses pembunuhan oknum warga yang dianggap teroris, benar-benar tidak mendidik! Tayangan itu, melebihi fragmen drama atau pagelaran wayang orang semalam suntuk. selain penuh nuansa sadisme. juga mganggu hak kenyamanan warga. Bagaimana jika yang diberondong senapan itu saudara anda? Bagaimana jika polisi yg berugas,gugur disaksikan oleh jutaan warga, termasuk keluarga? Bagaimana ini bisa ditayangkan, seperti sinetron?".

Begitulah, simpati seorang warga pada keluarga orang yang akhirnya ternyata bukanlah Noordin M.Top.

Lepas dari dukungan terhadap kampanye anti teror di Indonesia. Lepas dari kemarahan orang atas tindakan teror yang telah mengoorbankan ratusan nyawa dan ribuan orang lain yang kehilangan. Lepas dari kepentingan politik atas tindakan polisional terhadap para tersangka. Kita memang harus secara rasional melihat persoalan ini dengan tenang.

Publik memang memiliki hak untuk memperoleh informasi dan media bertugas untuk itu. Tapi saya percaya ada ruang privat yang tidak boleh ditembus oleh media massa, termasuk ketika penegak hukum sedang melakukan tugasnya pada level tertentu. Adalah benar, media massa berfungsi untuk mengawasi tindak tanduk aparat negara dalam melaksanakan tugas fungsinya, agar negara selalu memberi manfaat pada rakyatnya. Agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Tapi tidak semua keputusan aparatur negara, harus diketahui orang banyak.

Ada kalanya, seorang ayah memutuskan untuk melarang seorang pria yang mencoba mendekati anak gadisnya, secara diam-diam tanpa diketahui anak gadisnya itu. Sang Gadis tentu akan merasa kehilangan, tapi hidup akan terus berjalan. Si Ayah tentu punya pertimbangan yang amat kuat ketika memutuskan tindakan itu tanpa perlu memberitahukan kepada anaknya dengan pertimbangan keutuhan keluarga, dsb. Pepatah lama menyebut, dirty deed done good job.

Karena itu, ada batasan etis dan normatif dalam proses penyebaran informasi, meski di dalam rejim demokrasi sekalipun.

Di dalam dunia penyiaran, di Indonesia, ada aturan tentang penayangan peristiwa kriminal.

Menurut Peraturan KPI no 2/2007 Pasal 5, harus ada pembatasan durasi dan isi tayangan yang bermuatan adegan kekerasan. Saya yakin semua sepakat kalau gambar orang yang sedang memegang senapan lalu senapan tadi menyalak dan nampak pelurunya mengenai tembok. Kaena itu adalah adegan ketika seseorang berusaha melumpuhkan orang lain dengan cara yang represif. Kekerasan. Tentu semua juga sepakat, 17 jam lebih adalah waktu yang lama. Jadi, kita bisa melihat sendiri, apakah secara normatif, tayangan marathon dari Temanggung itu telah melampaui batas atau tidak.

Selain itu, masih menurut Pasal 5, harus ada ketepatan dan kentralan pada siaran berita.

Ketepatan Berita = Akurat. Mengapa manajemen redaksi stasiun televisi membiarkan pernyataan presenter / reporter mereka yang memastikan orang yang berada di dalam rumah yang sedang ditembaki itu adlah Noordin M.Top? Mengapa manajemen redaksi tidak mengerahkan lebih banyak reporter mereka dan menghubungi labih banyak sumber sahih, untuk mendapat klarifikasi segera? Sehingga tidak perlu dalam caption di layar kaca ditulis, "Noordin Tewas" ketika akhirnya polisi memutuskan untuk meledakkan kamar mandi di rumah kecil itu. Mengapa tidak ada ralat?

Dalam hal isi berita, Peraturan KPI nomor 2/2007 Pasal 15 menyebut, berita itu harus akurat (tidak menyebut pasti padahal belum tentu M. Top), berimbang (kalau seseorang disebut oleh narasumber sebagai penjahat, maka harus dicari pendapat berbeda atau setidaknya ada suara dari yang dituduh),
tidak berpihak (tidak melakukan labeling/stigma, misal seorang penyanyi "genit", "koruptor kakap", "fundamentalis islam", kelompok "pemberontak", perempuan "nakal", dsb.), tidak menonjolkan unsur kekerasannya.

Selain itu, menurut Peraturan KPI lain, yaitu nomor 3/2007 Pasal 30, tayangan berita harus juga mempertimbangan dampak negatif dari disiarkannya sebuah peristiwa.

Karena itu, adegan kekerasan (seperti orang memegang senapan lalu senapannya meletus, atau gambar peluru yang mengenai dinding, ledakan bom di lokasi yang diketahui ada orangnya) tidak boleh ditayangkan secara eksplisit (live dan close up) dan berlebihan (terus menerus berjam-jam).

Di pasal Pasal 40-nya KPI mengatur mengenai perilaku presenter acara yang tidak boleh membuat interpretasi atas berita yang baru atau sedang ditayangkan, tanpa memperlihatkan bukti atau argumen rasional atau sumber kutipan dari ucapannya.

itu adalah aturan KPI.

Hal lain yang juga musti kita garis bawahi dari kasus tayangan live penyergapan itu adalah para pemirsa digiring untuk mendukung aksi eksekusi terhadap para tersangka teroris tanpa pengadilan. Tayangan ini seperti menguatkan nilai tindakan main hakim sendiri, yang tidak boleh dibiarkan terus terjadi di sebuah negara hukum seperti Indonesia. Kita jangan lagi memukuli copet atau jambret. Tangkap dan serahkan pada polisi untuk diselidiki. Soal 2 hari kemudian dilepaskan, laporkan petiugas polisinya ke Komisi Kepolisian Nasional. Jangan pernah berhenti menjadi bangsa yang maju. Jangan menjawab, ah malas ah.

Lalu kalau tayangan itu melanggara aturan, apa tindakan KPI?

Meski dilema, KPI sudah bertindak.

Dengan tetap dalam semangat mendorong berkembangnya kebebasan pers di Indonesia yang masih seumur jagung, KPI telah jelas menyebut itu sebagai pelanggaran. Tapi nampaknya KPI masih memberi toleransi besar pada program berita di tv dan radio. Sama seperti orang tua yang melihat bayinya belajar berjalan. Ketika bayinya terjatuh, orang tua tentu tidak marah, malah menyeemangati untuk berdiri lagi, sambil diajak untuk melakukan prosedur yang benar.

Selama ini, belum ada program berita yang mendapat sanksi dari KPI. Seperti diketahui, sanksi KPI itu adalah: teguran sampai 3 kali, penghentian sementara program acara, larangan untuk disiarkan, atau sanksi denda administratif dan penghentian perpanjangan ijin siaran.

Namun ajakan untuk bertindak dengan benar, melalui surat imbauan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran, banyak sekali. Terakhir, dalam kasus tayangan 18 jam live dari Temanggung, KPI kemarin bersama Polri mengimbau praktisi penyiaran untuk bertindak sesuai aturan.

Tetapi itu bukan berarti praktisi penyiaran adalah satu-satunya pihak yang bersalah. Apartus penegak hukum juga. Karena wartawan tidak mungkin tahu segala peristiwa kalau tidak ada yang memberi tahu, kecuali jika si wartawan secara kebetulan ada di lokasi. Karena itu, saya mendukung penuh pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Sukarna, yang akan menindak anggotanya yang membocorkan informasi seputar penyidikan terorisme kepada wartawan sehingga wartawan banyak yang hadir pada saat penyergapan. Saya yakin pihak Polri akan menegakkan kode etik profesi polri sesuai Keputusan Kapolri nomor 32/VII/2003/ tanggal 1 juli 2003 yang mengatur soal publikasi atas penyelidikan atau penyidikan sebuah kasus.

Terakhir, Tips untuk teman-teman wartawan:

Jika Embedded-journalism (seperti kasus Temanggung ini) tak terhindarkan, maka letakkan kepentingan publik sebagai tujuan nomor satu dan upayakan untuk mendapat informasi yang lengkap dan berimbang.

Jika keberimbangan sulit diterapkan, maka praktisi penyiaran perlu membuat disclosure sejelas-jelasnya bahwa liputan yang dibuat itu memang liputan sepihak sehingga pemirsa tahu persis posisi liputan itu, yang memang tidak dimaksudkan sebagai liputan berimbang, dengan tambahan kalimat atau caption. "unverified" atau "yet-to-be-verified".

Kepada manajemen lembaga penyiaran, saya mengimbau, bekali para reporter lapangan dengan pengetahuan tentang aturan KPI serta fasilitas yang lengkap. Jangan paksa reporter lapangan Anda untuk memperoleh informasi lengkap seorang diri. Harus ada redaksi yang kuat untuk itu. Artinya harus ada pembiayaan yang kuat pula untuk redaksi. Ini yang jarang dibicarakan. Program berita itu mahal, tidak cuma harga iklannya, tetapi juga produksinya. Berita yang murahan, kualitasnya juga murahan, iklannya pun murahan.

Tapi dari semua kehebohan tentang siapa yang salah sehingga banyak penonton kecewa karena ternyata yang tewas bukan M.Top, ini adalah bukti kalau program informasi bisa lebih menarik dibanding program hiburan. Ini bantahan terhadap mitos, kalau acara hiburan lebih menarik daripada acara berita. Tentu... tergantung pada apa isi informasinya. Kalau isinya tidak penting, apalagi cuma janji kosong, pasti tidak menarik. Penonton akan menyaksikan program berita, jika itu menyangkut kepentingan dan menyentuh sensasi penonton!

Baru kali ini, orang Indonesia mau nonton siaran berita marathon 17 jam, dan tidak tertarik dengan sinetron pada malam 7 Agustus itu.

11 Agustus 2009

Semalam di Grage Mal

Setelah 19 tahun tidak berkunjung ke Kota Cirebon (terakhir saya ke sana tahun 1990), malam itu saya menikmati kembali hangatnya udara kota pelabuhan ini. Perjalanan sekilas itu, memang hanyalah kunjungan singkat beberapa jam, saya nikmati betul.

Sepanjang jalan menuju sebuah stasiun televisi lokal Cirebon, saya mencoba mengingat kembali kenangan yang ada. Banyak landmark yang tidak saya kenali lagi, kecuali ketika mengitari alun-alun dan balaikota serta melintas daerah gudang pelabuhan lama. Cirebon nampak tidak berubah pesat seperti Jakarta bahkan Bandung. Tapi saya melihat kecederungan arah perkembangan kota yang sama seperti Bandung. Banyak hotel besar dan Mal.

Satu hal yang tidak sempat saya kunjungi adalah warung Sega Jamblang di Pelabuhan lama. Karena seusai siaran di Televisi malam itu, saya diajak untuk menikmati Nasi Jamblang di kawasan yang dulu saya ingat adalah toko Matahari, yang sejak beberapa tahun terakhir ternyata sudah berubah menjadi Mal Grage.

Kata teman yang orang Cirebon, di sini sekarang tempat orang menikmati Nasi Jamblang jika keluyuran tengah malam. Sama seperti bubur ayam di depan Savoy Homann Bandung.

Nasi Jamblang alias Sega Jamblang, adalah makanan khas kota Cirebon. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut (Desa Kasugengan?). Dulunya, nasi Jamblang adalah sajian untuk para pekerja kasar pelabuhan, maka dari itu, selain menunya, harga nasi Jamblang harus murah. Agak aneh, kalau nasi Jamblang ada di restaurant, dengan alas piring lengkap dengan sendok garpu, duduk di kursi empuk lalu ada serbet di pangkuan, dengan harga puluhan ribu satu porsinya. Justru nikmatnya makan nasi jamblang adalah ketika kita menggunakan alas makan daun Jati, duduk di atas bangku papan kayu panjang, di bawah tenda pinggir jalan, dengan hawa panas kota, berdempetan dengan pembeli lain dan menyuap dengan tangan kotor kita. (ih jijik ya?). Lalu semerdekanya mengambil lauk teman nasi yang disajikan di atas meja di dalam baskom dengan tangan itu pula.

Malam itu, kami berada di depan Grage Mal itu. Di sana, di atas trotoir depan pagar Mal Grage, warung itu begitu ramai. Setiap orang sedang asik menikmati sajiannya sendiri. Saking banyaknya orang, kursi plastik hijau pun bertebaran di atas trotoir seluar tenda warung.. sejumlah motor berjejer bersama jajaran mobil. Orang-orang datang dan pergi. Warung ini nampaknya memiliki rejeki yang baik malam itu. Karena warung lain di sekitar sana nampak sepi.

Seperti biasa, lauk yang tersedia adalah sambal goreng, paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin (jambal roti), tahu dan tempe, serta tidak ketinggalan 'balakutak' (cumi-cumi yang dimasak pedas bersama tintanya). Masing-masing diwadahi baskom sendiri.

Katanya, nasi jamblang harus dibungkus dengan daun jati, supaya tahan lama dan tetap pulen. Atau mungkin karena sepanjang jalan menuju kota Cirebon, seperti halnya jalan menuju wonogiri atau gunung kidul, banyak kita temui pohon jati. Bukan pohon pisang. Jadi mungkin karena alasan praktis saja. Entahlah.

Tapi, sayangnya, warung nasi jamblang itu sudah mulai menambah profit dengan menawarkan air teh dalam botol. Dulu, air teh hangat adalah sajian gratis dari warung. Kalau mau mewah sedikit, kita bisa memesan teh poci dengan teko dari gerabah. Sekarang, kemewahan a'la pekerja kasar pelabuhan itu hilang. Semua menjadi komoditas, termasuk air teh. Maka itulah, ketika giliran membayar apa yang sudah saya makan, harga satu porsi tidak lagi murah, karena itu termasuk harga teh dalam botol yang sama seperti harga teh dalam botol di warung di Bandung atau Jakarta. Kecewa juga saya. Kehilangan suasana warung untuk para pekerja kasar. Tapi saya maklum, jaman sekarang ini, semua harus ada margin besar, supaya bisa hidup.

Yang belum berubah adalah cara mereka menentukan berapa harga yang musti saya bayar. Pemegang kas bertanya pada saya, apa saja yang sudah dimakan (tentu ini butuh kejujuran dari saya karena pemilik warung hanya menyediakan satu porsi nasi di atas daun jati kepada saya) lauknya saya sendiri yang ambil sambil terus mengunyah tadi. Lalu dia menulis di atas kertas bon nama-nama lauk dan setelah usai pengakuan "dosa" saya, dia menghitung begitu saja semua item dan menyebut total harganya. 19 tahun lalu, saya pernah iseng mencoba makan dengan menu yang sama di warung yang sama di dekat pelabuhan. Ternyata harga totalnya bervariasi. Memang sedikit saja variasinya, tapi itu jelas membuktikan kalau pemegang kas menambah "kebijaksanaan" dirinya dalam menghitung total tagihan. Itulah khas warung yang melayani para pekerja kasar yang suasana keuangannya tidak menentu. Saya tidak tahu apakah malam kemarin itu, pemegang kas masih memberi "kebijaksanaannya" dalam menghitung tagihan. Apalagi yang datang bukan pekerja kasar pelabuhan yang keluyuran malam pake motor dan mobil bagus.

Satu hal yang sudah pasti, Nasi Jamblang "uenak e maning uedhan !!"

29 Juli 2009

Dialoh Has Di Pisbuk

STATUS di FACEBOOK
Enton Supriyatna Sind 29 Juni
Aya tatarucingan di radio: kuanon sababna kuda nu narik delman panonna ditutupan?

Irman Nugraha pada 29 Juni 13:10
supaya panonna teu cunihin, matak panon kuda mah can aya nu turuwizen...

Mas Kundrat pada 29 Juni 13:11
bilih kapireupeunan ku penumpang nu benten sareng kusirna ..., hehehehe ...

Sufian Aliansyah pada 29 Juni 13:11
bisi ningali tukang baso, lainnya kalah narik delman kalahkan nangkring di tukang baso... he..he..he..

Wawan Djuwarna pada 29 Juni 13:15
ngarah leumpangnya lempeng. moal luak-lieuk. komo di jalan loba nu gaeulis. gawat mun kuda di gigireun aya nu geulis terus ngudag. panumpang geumpeur.

Enton Supriyatna Sind pada 29 Juni 14:32
Jawaban ceuk nu gaduh tatarucingan: Supaya lamun penumpanhg bayar ka kusir delman, si kuda moal nempo. Lantaran mun nempo mah manehna bakal ngomong, "Ngeunah pisan kusir, urang nu cape narik delman, ari nu meunang duit manehna". Malah mungkin we si kuda bisa ngadadak mogok gawe. Cenah kitu...

Al Nursyawal pada 29 Juni 14:37
teu oge.. kuda jaman ayeuna mah geus hebat.. geus make GPS.. moal sasab.. panon ditutup teh sabab serab.. maklum lubang ozon menyebabkan langit keperakan.. soal bayaran, pan geus aya kontrak bagi hasil.. teu percaya? tanyakeun ka pengacara kuda..

Enton Supriyatna Sind pada 29 Juni 14:42
Justru dina Munas PKPD (Musyawarah Nasional Persatuan Kuda Penarik Delman), eta soal bagi hasil can beres-beres. Menta direvisi. Oge pakait jeung beberapa royalti nu teu di bayar ku jelema, misalna dina penggunaan beberapa istilah "kuda" nu sok dipake ku jelema. Contoh: tenaga kuda, kerja keras bagai kuda, kuda lumping, kacamata kuda, kuda-kuda, diperkuda, dlll...

Al Nursyawal pada 29 Juni 15:31
betul, sebagian besar aspirasi Perkumulan Kuda Penarik Delman (PKPD) belum diterima.. tapi menurut berita di koran, Dewan Perwakilan Kuda, telah menerima aspirasi Fraksi PKPD dalam bidang ekonomi dan dituang dalam larangan penggunaan Argo Kuda.. meski manusia masih suka curi-curi untuk terus menggunakannya.. dalam bidang budaya, DPK juga telah membuat legislasi UU pelestarian budaya Celana Kuda..

Al Nursyawal pada 29 Juni 15:36
semoga dialog ini tidak dijadikan kalangan kuda sebagai upaya pencemaran nama baik kuda.. aamiin..

Kebebasan Pers di Televisi

Maaf kalau judulnya berbeda dengan sebagian besar isi tulisan ini. Tapi tulisan ini dibuat untuk membalas SMS kepada penulis beberapa waktu lalu.

Rupanya, banyak kalangan terkejut ketika Dewan Pers bersama Komisi Penyiaran Indonesia bersama-sama menggelar Konferensi Pers meminta televisi mengurangi gambar-gambar dari rekaman cctv atau rekaman video amatir yang berisi momen-momen sebelum ledakan dan sesaat sesudah ledakan 2 bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta. Keterkejutan ini muncul karena selama ini Dewan Pers begitu kukuh membela kebebasan pers, namun kali ini nampak sekilas seperti hendak mengekang kebebasan pers.

Sebagian lain mempertanyakan komitmen Komisi Penyiaran Indonesia terhadap kebebasan pers karena pihak KPI-lah yang mendatangi Dewan Pers untuk membahas tayangan berita televisi seputar ledakan bom itu. Mereka mencurigai KPI sebagai rejim otoriter baru yang menghalalkan sensor untuk berita.

Sebuah reaksi yang wajar di tengah ketidakpastian komitmen politik dari penguasa baru yang terpilih terhadap kebebasan pers. Apalagi muncul usulan yang kuat agar Undang-undang Subversi dihidupkan kembali agar aparatur intelejen memiliki kewenangan untuk melakukan pencegahan atas dugaan percobaan aksi terorisme. Padahal semua pihak tahu, subversi adalah upaya untuk menggulingkan kekuasaan yang sah dan bukan upaya menakut-nakuti masyarakat. Usul untuk menghidupkan Undang-undang Subversi adalah contoh teror. Karena masyarakat menjadi takut.

Namun benarkah ada arus balik reformasi yang hendak mengambil kembali kedaulatan rakyat ke tangan elite, seperti di era Orde Baru? Benarkah Dewan Pers sedang berperilaku seperti Deppen ketika meminta televisi menghentikan tayangan rekaman cctv, menghentikan penyebutan nama-nama tersangka atau buron secara lengkap, tidak menayangkan gambar-gambar korban secara close-up, mengaburkan gambar-gambar korban atau jenazah korban, serta tidak berspekulasi tentang urutan kejadian dan motivasi peledakan? Apakah KPI sedang mendudukan para reporter lapangan sebagai tertuduh?

Saya berpendapat, tidak. KPI dengan tegas menyebut, sejak UU penyiaran berlaku, maka setiap tayangan di televisi, tidak hanya sinetron dan reality show, termasuk tayangan berita pun diawasi oleh KPI untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif. Tanpa perlu dijelaskan kembali, banyak sekali hasil penelitian ilmiah studi psikologi, komunikasi dan sosiologi yang mengakui televisi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perubahan sikap serta kerekatan sosial, dalam waktu singkat. Televisi sanggup membuat khalayaknya memasuki ruang irasional sesaat. Melalui tayangan live (langsung dari tempat kejadian), khalayak dibuat seolah berada tidak jauh dari lokasi. Ini terbukti ketika tayangan investigasi tentang Bakso Tikus ditanggapi khalayak secara irrasional, sehingga untuk sesaat mereka berhenti mengkonsumsi bakso. Meski kini, semua kembali seperti semula.

Begitulah kekuatan televisi. Melalui gambar, manusia menanam ingatannya dan membangun reaksi atas hal itu. Bagi orang dewasa dengan kemampuan mental yang baik, maka gambar-gambar negatif yang sudah terekam, dapat ditekan ke alam bawah sadar dan dikunci di sana. Bagi sebagian lain, proses itu butuh waktu. Ada sebagian yang sulit sekali menekannya ke alam bawah sadar dan terus menerus muncul dalam ingatan, setiap kali melihat kata "Baso", mendengar kata "Baso", atau melihat wujud "Baso" dan yang "mirip-mirip Baso". Ini disebut trauma. Kondisi mental yang tidak bisa mengendalikan kenangan buruk. Teman-teman psikolog bisa menambahkan soal ini.

Trauma lebih mudah terjadi pada anak-anak. Bahkan sejumlah ahli psikologi menyebut "parut jiwa" ketika anak-anak menyaksikan hal-hal negatif, karena itu akan membekas dan sedikit banyak akan muncul dalam perilaku di saat dewasa. Banyak profil pelaku kejahatan sadis, memiliki sejarah kekerasan fisik dan mental di saat masa kanak-kanak.

Itu sebabnya, secara khusus UU Penyiaran yang disahkan sesudah pengesahan UU Perlindungan Anak tahun 2002 itu, mengatur tentang tentang perlindangan terhadap anak-anak dan remaja.

KPI tidak sedang anti-kebebasan pers ketika meminta Dewan Pers menghimbau redaksi televisi menahan diri. Melainkan sedang berusaha melindungi anak-anak Indonesia, dari ancaman "luka jiwa" dari gambar-gambar penuh kengerian dan kekerasan, agar di masa depan Indonesia tidak disesaki orang dewasa dengan gangguan stabilitas emosi. Tanpa disadari ini juga menjadi ancaman terhadap demokrasi di masa depan, karena orang-orang yang labil ini akan mudah diprovokasi, tidak bisa menerima perbedaan pendapat, agresif dan sulit menerima nilai-nilai masyarakat. Saat ini saja, banyak orang sudah terganggu, karena hanya berpikir dari dasar kepentingan pribadi terlebih dahulu. Lampu merah tidak lagi dipatuhi, karena tidak ada relevansinya dengan kepentingan pribadinya. Apa untungnya patuh pada lampu itu?

Selain itu, KPI juga menggunakan prosedur yang normatif, sesuai UU Pers, yaitu melalui Dewan Pers ketika meminta redaksi televisi menahan diri. Karena Dewan Pers-lah yang bertanggung jawab untuk menjaga kebebasan pers di Indonesia. Sementara isi dari televisi tidak hanya pers, tetapi juga ada iklan, film dan jenis-jenis hiburan lain yang juga tidak melulu menjadi wewenang KPI. Seperti sinetron, itu adalah kewenangan LSF sesuai UU Perfileman. Iklan itu diatur UU Perlindungan Konsumen. Namun KPI diberi wewenang mengawasi apapun yang ditayangkan di televisi. Sinetron, Panggung Musik, Video Klip, pertunjukan lain, Iklan, Quiz, Talkshow, Berita, Editorial, dst. Jika ada pelanggaran, KPI akan berkoordinasi dengan lembaga negara lain.

Sebagai contoh lain, KPID Jabar berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Kota Bandung ketika menegur sebuah stasiun televisi lokal yang menanyangkan program untuk anak dengan pemeran anak-anak. KPID Jabar juga berkoordinasi dengan MUI Jabar ketika menetapkan beberapa acara Quiz SMS di sejumlah televisi dari Jakarta sebagai praktek perjudian. KPID Jabar juga berkoordinasi dengan Lembaga Sensor Film ketika menegur sejumlah sinetron yang berisi kekerasan fisik dan dari LSF diketahui bahwa seluruh sinetron yang ada ternyata belum memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STL) dan LSF kemudian menetapkan Tanggal 17 Agustus 2009 sebagai batas toleransi. Setelah itu, tidak ada lagi sinetron yang boleh tayang tanpa STL. Ketika bencana melanda kawasan Situ Gintung, KPID Jabar sehari setelah bencana, segera berkoordinasi dengan Departemen Sosial untuk mengetahui apakah sudah ada permohonan ijin dari stasiun televisi atau lembaga masyarakat untuk menggalang dana bantuan. Kemudian muncullah surat imbauan agar manajemen televisi melapor ke Depsos dan mengaudit hasil sumbangan masyarakat serta menahan diri dalam menampilkan gambar-gambar korban, jenazah atau potongan tubuh korban banjir bandang SItu Gintung, juga dalam melakukan wawancara dengan korban langsung. Itu belum termasuk berbagai upaya KPID Jabar untuk mengingatkan televisi lokal memperhatikan nilai sosial budaya lokal dalam klip musik, audisi artis, ucapan penyiar, bahasa pengantar siaran dan masih banyak lagi.

KPID Jabar juga mendengar pendapat para ahli komunikasi dan budayawan ketika menelaah rekaman-rekaman tayangan radio dan televisi, sebelum menyebut tayangan itu ter-indikasi melanggar. Jadi, berbeda dengan prinsip pengawasan di era Orde Baru, KPI mendengar pendapat dari representasi warga dalam membuat keputusan selain melihat kewenangan normatif berdasarkan undang-undang. Jadi kekuatiran atas Dewan Pers dan KPI yang akan menjadi lembaga negara yang otoriter, tidak perlu.

Dewan Pers dan KPI serta KPID hingga saat ini masih jauh dari jangkauan kepentingan kekuasaan, karena proses penunjukkan anggotanya tidak melibatkan eksekutif. Meski perlu diakui, baik Dewan Pers maupun KPI dan KPID amat bergantung pada anggaran pihak eksekutif. Dewan Pers dan KPI Pusat bergantung pada anggaran Departemen Komunikasi dan Informatika, sementara KPID dari anggaran Sekertariat Daerah. Ini memang sisi sensitif. Melalui anggaran, lembaga negara independen ini bisa saja dipengaruhi. Tetapi jika anggotanya benar-benar independen dan keberadaannya mendapat dukungan warga, maka jika pihak eksekutif mencoba mempengaruhi sikap lembaga independen melalui anggaran, itu justru akan menjadi boomerang politik. Warga akan menilai, para elite sedang mencoba mengambil kedaulatan yang sejak era reformasi sedang diberikan pada warga sebanyak-banyaknya itu.

Saran saya, arahkan kekuatiran kepada para elite yang cenderung represif, bukan kepada representasi warga. Jika Dewan Pers dan KPI atau KPID tidak bekerja dengan baik apalagi karena hambatan anggaran (atau malah plot), justru beri dukungan yang lebih kuat. Seperti kita memberi dukungan pada KPK (apapun yang terjadi dengan pengurusnya) agar tidak dihapus, ketika sistem hukum belum bisa dipercaya. Kita masih memerlukan lembaga-lembaga independen yang berisikan representasi warga karena trauma terhadap lembaga negara (birokrasi) yang korup.

KPI jelas mendapat tugas untuk memelihara kebebasan pers, bahkan mendorong tumbuhnya industri penyiaran, namun kalimatnya tidak selesai di situ. Karena UU Penyiaran menyebut, yang harus dibangun KPI dan KPID adalah industri yang sehat (kompetisinya, isinya dan karyawannya). Memang hasil dari pelaksanaan tugas itu tidak nampak berupa jembatan atau bangunan. Tapi saya pikir, itu adalah tugas yang juga Anda berikan untuk menjamin masa depan bangsa yang sehat. Itu pula tujuan dari kebebasan pers bukan? Bangsa yang sehat.

23 Juli 2009

Adakah Acara TV yang Aman untuk Anak?

Artikel Pikiran Rakyat 23 Juli 2009

Pada 1972, almarhumah Oemi Abdurrahman, melakukan penelitian tentang dampak siaran televisi terhadap anak-anak di Jawa Barat. Hasilnya, tentu sudah bisa ditebak, meskipun pada saat itu stasiun televisi hanya ada satu, yaitu TVRI dengan kualitas siaran hitam putih.

Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, isunya masih sama. Masih banyak pihak yang meminta perhatian agar dampak negatif siaran televisi terhadap anak-anak dihiraukan. Berbagai hasil penelitian terus dipaparkan, namun faktanya, lembaga penyiaran televisi tidak hirau terhadap program acara yang mereka tayangkan untuk anak-anak, atau program acara yang ditayangkan pada jam-jam yang masih mungkin ditonton anak-anak.

Hasil riset khalayak menyebutkan, jumlah jam yang digunakan anak-anak di lima kota besar di Indonesia untuk menonton televisi, terus bertambah, paling lama lima jam sehari, atau 35 jam seminggu, atau lebih dari 1.800 jam setahun! Sementara itu, jumlah jam belajar efektif di sekolah dasar selama setahun hanya 1.000 jam. Wajar jika guru-guru kehilangan kredibilitasnya di depan anak-anak sekarang.

Tayangan televisi yang tidak aman dapat menyebabkan perkembangan fisik dan otak anak terganggu, kecenderungan perilaku obsesif, konsumtif, agresif, antisosial, dan seterusnya, adalah kesimpulan dari banyak penelitian komunikasi, psikologi, atau ekonomi.

Tabloid anak-anak Kidia pada 2004 mencatat hanya lima belas persen program acara yang layak tonton untuk anak-anak. Saking banyaknya program acara televisi yang tidak aman bagi anak-anak, sejumlah orang tua menggagas kampanye mematikan televisi melalui gerakan "1 Hari tanpa TV", sebagai upaya mengajak orang tua untuk kembali mengambil kuasa atas remote control televisi.

Akar persoalan memang tidak hanya pada kehirauan pengelola lembaga penyiaran, tetapi juga orang tua. Absennya orang tua pada waktu-waktu senggang anak, dengan berbagai alasannya, telah menyebabkan anak-anak hanya ditemani remote control televisi dan diawasi baby sitter atau pembantu yang secara sosial tidak memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan perilaku anak majikan.

Televisi menjadi pengganti keberadaan orang tua di rumah. Selain hilangnya nilai-nilai keluarga, anak-anak menjadi korban eksploitasi ekonomi melalui televisi, baik sebagai pemeran dalam berbagai acara, juga sebagai penonton acaranya. Anak-anak yang belum berdaya itu, terus dihantam orang-orang dewasa yang seharusnya bertanggung jawab. Di negara-negara maju, ada UU khusus yang melindungi anak-anak dan remaja dari segala kelakuan orang dewasa yang tidak hirau pada perkembangan positif anak-anak.

Aturan main

Di Indonesia, khusus untuk lembaga penyiaran, Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 36 ayat 3 menyebut "isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran." Selain itu, pada Pasal 46 ada larangan mengeksploitasi anak-anak melalui iklan, yang jika dilanggar, KPI dapat menjatuhkan sanksi denda dan/atau penghentian program acara. Namun, ancaman sanksi itu tidak membuat pengelola lembaga penyiaran getir. Menurut pemantauan KPAI, televisi menghabiskan 67 jam seminggu untuk infotainment dan hanya menyediakan 0,07 persen jam tayangnya untuk program anak-anak yang aman.

Di Bandung, ada stasiun TV lokal yang terancam sanksi dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena menyiarkan program acara yang dianalisis KPAI Kota Bandung bersama KPID Jawa Barat, terindikasi membahayakan perkembangan jiwa anak dan mengeksploitasi anak. Program dalam format reality show itu memperlihatkan seorang ibu membiarkan kedua anaknya menjadi objek kamera tersembunyi di arena bermain suatu mal. Selama acara, kedua anak itu dikerjai (bullying). Dari mulai dipinjam paksa handphone-nya, direbut paksa permainannya, hingga dijemput paksa (seperti diculik) oleh wanita tak dikenal. Khusus tayangan reality show yang melibatkan anak-anak itu, ancamannya tidak hanya pada lembaga penyiaran, tetapi juga pada rumah produksi yang membuat tayangan tersebut, orang tua, dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi.

Swasensor

Dalam tatanan masyarakat yang maju, pengendalian datang dari dalam diri sendiri. Dalam hal ini, dari pengelola lembaga penyiaran televisi sendiri, bukan pihak lain yang sifatnya koersif-represif. Pengelola televisi seharusnya melakukan sensor internal yang ketat dan tidak membuka kesempatan terhadap munculnya desakan agar ada campur tangan pihak lain untuk menyensor. Hal ini akan berdampak buruk bagi demokrasi.

Kepada Ibu, Bapak, ambil remote TV dari tangan anak-anak Anda. Kendali ada di ujung-ujung jari kita, bukan orang lain. Siapkan diri Anda untuk mendampingi anak-anak dalam menonton tayangan televisi. Buat kategori aman, rawan, dan bahaya. Untuk kategori aman, Anda bisa bersikap pasif. Sisanya membutuhkan konsentrasi penuh Anda. Jika tidak siap, matikan televisi. Temani anak-anak dalam mengembangkan potensi diri mereka sesuai dengan nilai-nilai keluarga Anda.

Pada saat yang sama, undangan untuk kreator dan produser acara televisi yang aman untuk anak terbuka lebar. Berkreasilah sebanyak mungkin karena bisa juga, televisi memang kekurangan pasokan program acara untuk anak yang aman, sehingga memutar program apa saja tanpa pikir panjang. Pada 2010, sesuai dengan amanat UU Penyiaran, seharusnya tidak ada lagi siaran berskala nasional. Maka akan banyak TV lokal yang membutuhkan materi program siaran bermuatan lokal. Buatlah sesuai dengan standar nilai-nilai yang hidup di masyarakat, termasuk nilai estetika dan moral.***

18 Juli 2009

Nguping di Jakarta

Dialog absurd di tengah kota Jakarta.
Gak tahu kisah nyata atau bukan.
Mohon maaf kalau ada yang garing.

Pengemudi yang mau bayar parkir: "Kok loketnya dikasih kerangkeng sih mbak?"
Mbak petugas parkir dengan muka dingin: "Biar saya nggak kabur Mas..."

Cewe baru dapet SIM: "Gua paling males nyetir di belakang bis, tau sendiri kan bis suka 'ontime' nunggu penumpang... "
Temennya: "Ngetem kaleee..."

Pengunjung: "Mbak, Coke-nya satu ya, pake es..."
Pelayan: "Maaf Mbak, Coke-nya gak ada, adanya Diet Coke."
Pengunjung: (Menunjuk menu) "Terus ini apa, Coca-Cola... Kok dibilang gak ada?"
Pelayan: "Kalau Coca-Cola ada, Mbak..."
Pengunjung: "?????"

Ibu mengejek anak kecil bersepeda: "Ih, lihat tuh, badan segede gitu kok masa naik sepeda sekecil itu, hahaha... (sesaat kemudian)... Lah, Bapak!! Motornya mana?"

Saat nonton DVD, Calon mahasiswa S1 FlKOM: "Oi itu jangan lupa kemsyen-nya. ."
Teman #1: "Kemsyen? apaan sih?"
Calon mahasiswa : "Kemsyen... kemsyen, masa gitu aja ga tau sih?"
Teman #2: (sibuk cari tombol "kemsyen" di remote DVD Player) "Gak ada ah..."
Calon mahasiswa S1 FlKOM: "Na ini kemsyen.. nih.. subtitel ..."
Teman #1: "Caption ah!"

Ketua Panitia: "Naahh.. pin yang ini desainnya bagus nih. Bisa buat cewek dan cowok. Biseks gitu lohh!"
Itu dari acara Buka Bersama, didengar oleh sepasukan panitia yang merasa si ketua terlalu banyak nonton porno.

Dua cewe sedang berbagi resep lalu masuk Busway,
Cewe #1: "Emang kalo cepet-cepet jadinya gak enak, ya?"
Cewe #2: "Iya.. makanya, tangannya dibalur dulu, terus ngocoknya agak lama dan ngeremesnya jangan keras-keras."
Cowok di sebelah mereka langsung ngiler..

Ibu lagi nyetir tiba-tiba panik: "De, pegangin setirnya. Mama mau garuk pantat!"
Anak laki-laki berusia 18 tahun: "Ah, Gak mau ah!"
Ibu yang tiba-tiba panik: "Mending megangin setir atau garukin pantat Mama?"

Seorang Ibu mencoba menasehati anak perempuan semata wayangnya dengan matafora: "Nduk, waktu ibu punya anak perempuan seusiamu..."
Si gadis : "Loh, jadi aku bukan anak tunggal Mah?"

Programmer komputer 1: "Eh, kemaren internet gw udah onlen, cuy"
Programmer 2: "Wah selamat, bisa donlot pelem dong, jadi gak perlu nonton di tipi!"
Coordinator: "Gaya bener lo pada, mentang-mentang udah pada punya internet berbrend..."

Seorang cewe mau ikut kursus Inggris: "Mbak, kalo disini ada kelas conservation gak?"

Di sebuah restoran,
Teman #1: "Eh udahan yuk, kite cabs.."
Teman #2: "Ok. Gua aja yang bayar.. Mas! Bill-boardnya Mas!"

Di tengah sebuah konser,
Wanita Bingung: "Waduh... Minggir, minggir, kacamata saya jatuh... Awas jangan diinjak!"
Lelaki Baik: "Kenapa mbak, kenapa?"
Wanita Bingung: "Ini mas, kacamata saya jatuh, duh gimana ya?"
Lelaki Baik: "Sini saya bantu cariin. Wah si mbak nih, makanya lompatnya pelan-pelan, jangan terlalu historis..."
Wanita makin Bingung: "Historis?"

Di sebuah Pujasera:
Pria: "Mbak, pesen es teh manis..."
Pelayan: "Es-nya habis mas..."
Pria: "Ya udah, es teh tawar..."
Pelayan: "Baik, mas..."

Sepasang Suami Istri sedang mencari VCD Dongeng anak-anak.
Istri: "Yang ada tokoh fairy tale-nya..."
Suami: "Yang mana sih?"
Istri: "Itu loh mas, yang tokohnya shorted figure.."
Suami: "Badannya pendek-pendek maksudnya?"
Istri: "That has jenggot all over their face"
Suami: "Tubuh Kerdil yang berjenggot?"
Istri: "Itu lho, Putri Salju dan Tujuh Mucikari!"
Suami: "Hah????"

Mahasiswa S2 mengomel: "Heran gua, hotel sebesar ini gak ada ballroom-nya! "
Teman: "Emang loe mau ngapain? resepsi?"
Mahasiswa S2: "Mau minta koper gua dibawain ke kamar nih!"
Teman: "Bellboy kaleeeee!"

Anak SMP #1: "Buset dah, masa tadi kelas gua selang-seling gitu duduknya..."
Anak SMP #2: "Ya elah, kesian banget kelas lo!"
Anak SMP #1: "Iye, ntar bukannye belajar, malah pade making love!"
Di dalam angkot pinggiran Jakarta, didengar oleh penumpang yang menuduh sinetron sebagai sumber kebodohan bangsa.

Nyonya: "Mbak, tolong beliin bakso di ujung jalan sana ya, beli empat bungkus, dua campur pake mie, dua baksonya aja..."
PRT Baru: "Yang baksonya aja pake kuah gak, bu?"

Mahasiswa #1: "Eh, lo demen Mocca gak?"
Mahasiswa #2: (berpikir sebentar) "Gua nggak suka yang dingin-dingin."
Mahasiswa #1: "Ya elah, bukan mocca minuman, tapi Band Mocca !"
Mahasiswa #2: (dengan begitu PD) "Ah, kalo band-band luar negeri gitu gua nggak demen..."

Peneliti#1: "Eh pensil gua kemana ya?"
Peneliti#2 sedang Internetan: "Kenapa loe?"
Peneliti#1: "Pensil gua ilang! Loe tau dimana? Udah gua cari kemana-mana nih!"
Peneliti#2: "Udah loe cari di google belum?"

Di sebuah warung Steak pinggir jalan:
Ibu #1: "Saya yang medium ya."
Pelayan: "Baik, bu. (lalu menoleh ke ibu lainnya) Kalo Ibu mau gimana? Medium atau..."
Ibu #2: (Memotong dengan mantap) "Ooooh, saya XL mas!"

Di sebuah warung sate pinggir jalan, semua yang ke sana pasti pesen sate:
Tukang Sate sambil pegang kertas dan ballpoint: "Masnya apa nih?"
Pengunjung #1: "Gue kambing! (lalu dia nengok ke temannya) Lo apa?"
Pengunjung #2: "Gue ayam..."
Pengunjung #3: "Gileee.. Pantesan kamar lo pada jorok!"

Pembeli Santun ke Penjual Sop Kaki: "Daging tiga sama kaki dua. Eh, kakinya yang kanan ya!"
Penjual Sop Kaki: "Mmmm, kenapa harus yang kanan, Pak?"
Pembeli Santun: "Yaaa, biar lebih sopan aja... kaki kanan kan kaki baik, gituu!"

Kasir: "Mau order apa, mas?"
Pembeli: "Coca-Cola large satu, sama french fries satu... Itu aja, mbak."
Kasir: "Oke, saya ulang ya, Coca-Cola large satu, french fries satu. Mau tambah kentang gorengnya, mas?"
Pembeli: ?*&%$#@!

Webmaster: "Gile, website bikinan orang-orang latin keren banget yah!"
Webdesigner: "Hah, tau dari mana loe itu buatan orang latin?"
Webmaster: "Itu ada tulisannya: Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit..."
Webdeveloper: "wakakakakakak..."

Pejabat: "Selamat sore, hari ini adalah hari yang bahagia karena kita menjadi tuan rumah untuk event internasional Festival Seni Koremponter. Eh maksud saya Kotemporer. .."
Seniman: "Kon-tem-porer, pak!"
Pejabat: "Ya maaf, harap maklum, saya kan bukan seniman!"

Reporter: "Pak, bagaimana perkembangan kasus korupsi X, apakah ada tindak lanjut dari instansi bapak, seperti pemberian sanksi ?"
Pejabat: "Sejauh ini masih kita observe dulu, sedang dibicarakan prosedurnya"
Reporter: "Apakah ini melibatkan orang dalam pak?"
Pejabat: "Anda tidak boleh sembarangan begitu... Kita harus lihat situasi ini kiss by kiss..."
Reporter: "Maksudnya pak?"
Pejabat: "satu per satu lah... wartawan mana sih kamu?"

Pengendara Motor Gak Sabar: "Maju dong! Dasar Bego!"
Supir Angkot Intelektual: "Kalo gua bego, gua gak bakal jadi supir angkot tau!"

Pelayan Kafe Jepang: "Arigato gozaimas..."
Pemuda Playboy sok tahu: "Arigato gozai mbak..."

Pembeli rese: "Mas,ada kamera paranoid ga?"
Penjaga bingung: "Hah?"
Pembeli rese: (nada sok tau) "Itu yg sekali jepret langsung jadi..."

Si bungsu perempuan ke Ibunya: "Mah, jadi kita daftar TV Kabelnya di Kebon Jeruk yah?"
Mama: "Ya, begitu. Kebon Jeruk kan enggak jauh dari rumah. Jadi nanti kabelnya bisa lebih pendek. Jadi lebih murah."

Ruang rias, seseorang mengetuk pintu,
Lelaki: "Permisii, maaf mbak, Mbak X ada gak?"
Jeung #1: Mbak X! tukang ojeknya nyariin tuh, udah bayar belum sih loe?"
Jeung #2 buru-buru keluar lalu masuk lagi: "Ihh, jahat deh, itu suamiku!"

Anak 12 tahun mengejek sepupunya: "Ah, dasar bokek loe!"
Sepupu 8 tahun: (muka polos) "Bokek artinya apa sih?"
Anak 12 tahun: "Payah, masa bokek aja gak tau... Gak gaul loe!"
Sepupu 8 tahun: (masih polos) "Gak gaul artinya apa sih?"

Ibu: "De, kamu jangan kelamaan di depan komputer ah. Nanti bisa sakit loh."
Anak: "Sakit gimana? Minus kacamata nambah?"
Ibu: "Lah kan katanya banyak virus komputer.. bahaya.. ntar ketularan."

17 Juli 2009

TRAGEDI !!!

Apakah tujuan menghalalkan cara ????
Siapakah hakim di dunia ???