Lebaran sudah berlalu. Evaluasi arus mudik dan balik sudah selesai.
Pujian dilontarkan kepada pengelola jalan raya. Namun adakah evaluasi
terhadap polah para pemudik? Apakah
tingkah bangsa ini sudah sesuai dengan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang beradab?
Dalam sebuah percakapan telepon di Radio PRFM Bandung, pagi hari Sabtu 25 Juli 2015 lalu, seorang pendengar yang merupakan pemudik lebaran, mengeluhkan sampah yang
berserakan di sepanjang jalan jalur mudik dan balik menuju Bandung dari arah Timur melalui jalur selatan Pulau Jawa. Sebelumnya, sebuah akun facebook milik seorang mantan Kuwu
Jatisura, Jatiwangi Majalengka di jalur utara, Ginggi Syar Hasyim memuat pernyataan pada 23 Juli, “melihat jalan tol penuh sampah, tempat hiburan penuh sampah, rest area dan tempat2 pemberhentian penuh sampah.. kami disini menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran kalian para pemudik.. balesannya beginih.. kalian ini memang kelas menengah yang ngehe, kampungan dan super udik..”. Untuk diketahui, Jatisura adalah wilayah yang dilalui jalan tol Cipali dan tentu pemakaian istilah kampung dan udik bukan untuk merendahkan kampung dan udik.
Pada hari yang sama, 23 Juli, akun facebook seorang pemuda asal Jember Kaia Rambu mengunggah 3 buah foto berisi longsoran sampah plastik bungkus mie instan merek MS di jalur mudik Gunung Gumitir yang menghubungkan Jember dengan Banyuwangi. Jalur ini nampaknya lebih banyak dipilih tahun ini karena jalur Gunung Raung sedang dalam status Waspada. Foto yang memalukan ini telah disebarkan oleh sebanyak 4.342 akun facebook lain.
tingkah bangsa ini sudah sesuai dengan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang beradab?
Dalam sebuah percakapan telepon di Radio PRFM Bandung, pagi hari Sabtu 25 Juli 2015 lalu, seorang pendengar yang merupakan pemudik lebaran, mengeluhkan sampah yang
berserakan di sepanjang jalan jalur mudik dan balik menuju Bandung dari arah Timur melalui jalur selatan Pulau Jawa. Sebelumnya, sebuah akun facebook milik seorang mantan Kuwu
Jatisura, Jatiwangi Majalengka di jalur utara, Ginggi Syar Hasyim memuat pernyataan pada 23 Juli, “melihat jalan tol penuh sampah, tempat hiburan penuh sampah, rest area dan tempat2 pemberhentian penuh sampah.. kami disini menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran kalian para pemudik.. balesannya beginih.. kalian ini memang kelas menengah yang ngehe, kampungan dan super udik..”. Untuk diketahui, Jatisura adalah wilayah yang dilalui jalan tol Cipali dan tentu pemakaian istilah kampung dan udik bukan untuk merendahkan kampung dan udik.
Pada hari yang sama, 23 Juli, akun facebook seorang pemuda asal Jember Kaia Rambu mengunggah 3 buah foto berisi longsoran sampah plastik bungkus mie instan merek MS di jalur mudik Gunung Gumitir yang menghubungkan Jember dengan Banyuwangi. Jalur ini nampaknya lebih banyak dipilih tahun ini karena jalur Gunung Raung sedang dalam status Waspada. Foto yang memalukan ini telah disebarkan oleh sebanyak 4.342 akun facebook lain.
(Sumber
Foto : Facebook Kaia Rambu).
Esoknya, pada 24 Juli akun Facebook
milik Tommy Brahmaputra mengunggah sebuah rekaman video yang
memperlihatkan sebuah mobil bernomor polisi Jakarta yang sepanjang
perjalanan menuju lokasi wisata di Bali, terus membuang sampah ke jalan.
Video itu diberi judul “Trash Tourists in action”. Menurut Tommy, video
unggahannya itu bermaksud menggugah kesadaran orang-orang yang masih
memiliki kebiasaan membuang sampah keluar mobil. Tommy kemudian mengutip
prinsip etika perilaku yaitu “dalam kebebasan terdapat tanggungjawab.
Di dalam hak melekat kewajiban”.
Tidak
ketinggalan, kepada Harian Pikiran Rakyat, Direktur PD Kebersihan Kota
Bandung yang baru dilantik sebelum lebaran, Deni Nurdyana mengeluh,
selama libur lebaran yang lalu, jumlah sampah di Kota Bandung malah
meningkat drastis dari 1.500 ton menjadi 1.700 ton perhari. Khusus di
kawasan Alun-alun, volume sampah mencapai sekitar 3 ton setiap hari !
Ya, setiap hari! Sampah tersebut di antaranya berupa plastik, koran, dan
bungkus makanan yang dibuang di sembarang tempat. Bagi pengikut
(follower) Fanpage Netizen PRFM kritik terhadap perilaku nyampah warga
Kota Bandung sejak lama kerap terbaca namun seolah kritik itu tidak
mengubah apapun.
Supaya
tidak terlalu nyinyir, tentunya, dalam setiap neraca, selalu ada sisi
positif dan sisi negatif untuk melihat realitas secara keseluruhan.
Lebaran
Tahun 2015 ini, mengeluarkan modal (outflow) sekitar 125 Triliun
Rupiah, begitu lapor Bank Indonesia kepada publik pada 18 Juli lalu.
Jutaan orang nampaknya sudah pasti kebagian rejeki lebaran. Untuk
mengantar pemudik sampai ke kampung halaman, Pertamina menyediakan
rata-rata setiap hari 100 ribu kiloliter Premium, 42 ribu kiloliter
Solar, dan 3000 kiloliter Pertamax, serta 10 ribu kiloliter Avtur dan
sedikit promosi produk baru Pertalite, ungkap VP Corporate Communication
Pertamina Wianda Pusponegoro 22 Juli lalu.
Pembangunan
jalan tol Cipali, yang menyedot anggaran 10 Triliun Rupiah, pun
dipercepat demi memperlancar pergerakan pemudik dari Barat ke Timur dan
sebaliknya. Demikian papar Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Hediyanto Husaini, 12 Juni 2015
lalu. Belum terhitung transaksi belanja di toko/pasar atau warung atau
rumah makan sepanjang jalur mudik.
Catatan
kecil itu saja menunjukkan betapa besar manfaat kebiasaan lebaran bagi
roda ekonomi, belum dihitung manfaat terpeliharanya silaturahim dan
adanya proses penyegaran jiwa bagi para pemudiknya, seperti disitir
dalam ceramah Idul Fitri dari Dr. Jalaluddin Rakhmat yang viral di media
sosial.
Kebiasaan Nyampah
Pada
kenyataannya, manfaat besar itu dibuat kurang afdal dan dikotori oleh
perilaku yang justru tidak selaras dengan alasan berlebaran yaitu
mensyukuri kemenangan manusia atas hawa nafsunya.
Di
dalam hati, kita ikut bertanya, mengapa perilaku membuang sampah
sembarangan tidak juga berubah di saat makin banyak kaum pemudik yang
telah lama tinggal di perkotaan? Di saat tingkat pendidikan bangsa ini
meningkat? Mengapa perilaku membuang sampah sembarang itu tidak juga
dinilai sebagai perilaku buruk dan memalukan? Sementara dalam agama
diajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Apakah persoalan ini
sama dengan gejala korupsi yang secara normatif haram, namun perilakunya
tidak dinilai sebagai perbuatan buruk dan memalukan, karena terbukti
para tahanan korupsi tidak sungkan memperlihatkan wajahnya di depan
kamera media massa, dan keluarganya pun tidak merasa malu, malah dengan
semangat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di antara massa
pendukung yang meneriakkan yel-yel bahkan menyebut-nyebut pula nama
Tuhan?
Selain
karena alasan itu, juga untuk menghargai diri sendiri, penulis menyebut
kebiasaan nyampah bukan kebudayaan, karena kebudayaan adalah sebuah
sistem rumit yang terdiri dari tatanan norma dan krama serta identitas
kemanusiaan yang merupakan hasil proses kreatif dan konstruktif dari
ingatan-ingatan kolektif. Begitu kira-kira rumusan singkat dari pikiran
seorang filsuf kebudayaan asal Jerman, Ernst Cassirer. Seperti juga
sudah dibuktikan oleh banyak psikolog tingkahlaku di awal abad 19-an,
melalui eksperimen mereka dengan ragam binatang terutama simpanse, untuk
mencari jawaban atas pertanyaan, apa bedanya manusia dengan binatang.
Hewan hanya sanggup mengingat kebiasaan sementara manusia dapat
membangun kebudayaan melalui intelejensia simbolik, demikian kesimpulan
dalam laporan A.W. Yerkes dalam buku The Great Apes (1929). Sehingga
kebiasaan lebih rendah derajatnya dibanding kebudayaan.
Tentunya
untuk menjawab banyaknya pertanyaan “mengapa” di atas, seperti
disarankan seorang filsuf Yunani kuna, Sokrates, kita harus mengenali
diri sendiri. Meski menurut seorang filsuf Prancis di era renaissance,
Michel Montaigne, persoalan paling besar di seluruh dunia adalah
mengenali diri sendiri. Namun Sokrates tentu tidak akan diingat sebagai
seorang filsuf jika tidak mempersulit kita dengan menjawab pertanyaan
dengan pertanyaan baru. Yaitu mengapa kita musti mengajukan pertanyaan
itu? Mengapa kita musti mempermasalahkan kebiasaan nyampah? Bagi
Sokrates, manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari
dirinya, yang setiap saat menguji dan mengkaji dengan cermat kondisi
eksitensialnya. Sikap kritis inilah yang menjadikan manusia “manusia”
dan sebagai subjek moral sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya.
Murid
Sokrates, Plato, yang kemudian mencoba menerjemahkan ajaran gurunya
tentang cara mengenali diri. Menurutnya, mengenali diri manusia dapat
dilakukan dengan memahami kesadaran manusia dan bergaul dengannya serta
menjalani kebiasaan-kebiasaannya. Karena itulah penulis merangkum
sejumlah omelan, keluhan, laporan masyarakat dalam berbagai platform
medium komunikasi. Untuk memperlihatkan adanya kebiasaan-kebiasaan yang
dapat dikaji dan dinilai secara moral.
Nyampah Itu Tidak Bermoral
Seperti
tertera dalam pernyataan-pernyataan di atas, kebiasaan-kebiasaan
manusia haruslah dapat membedakan perilaku manusia dengan binatang dan
setiap perbuatan manusia adalah subjek moral yang harus terus menerus
dinilai.
Pertama
yang harus disepakati adalah istilah “nyampah”. Adalah kosa kata slank
yang biasa digunakan generasi sekarang untuk menunjuk kebiasaan
mengotori suatu ruang/tempat dengan sadar atau tidak sadar. Dalam bahasa
Sunda kebiasaan ini disebut dengan “ngaruntah”. Sementara kegiatan
mengotori suatu tempat namun bukan kebiasaan disebut “ngabala”.
Nyampah
hanya memiliki makna tunggal yakni mengotori, tidak ada makna lain.
Tidak konotatif. Sehingga “nyampah” jelas bernilai negatif, karena
perilaku tersebut dinilai merugikan orang lain dan karenanya menjadi
amoral atau tidak bermoral. Kata antonym dari “nyampah” adalah bersih.
Karena nyampah bukan bermakna “memproduksi sampah”, melainkan “perlakuan
yang salah terhadap sampah”. Karena itu, lawan kata dari nyampah harus
bermakna perlakuan yang benar terhadap sampah. Selama ini yang disadari
masyarakat hanyalah kata “bersih” serta jargo-jargon hidup bersih tanpa
operasionalisasi.
Zero Waste
Pada Tahun 1970-an, seseorang bernama Paul Palmer di
AS, menemukan istilah “zero waste” sebagai prinsip, tujuan dan filosofi
perilaku yang benar terhadap sampah dengan bentuk perilaku mengurangi
volume sampah yang dibuang (reduce), menggunakan benda yang sama untuk
beberapa kali pakai (reuse), mengolah sampah menjadi benda baru layak
pakai atau bernilai ekonomi kembali (recycle). 3R menjadi etika baru
dalam memperlakukan sampah.
Meski
sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an, konsep perilaku ini masih
harus disosialisasikan dengan ragam pendekatan, mulai pendekatan
psikologi sosial, budaya dan komunikasi. Karena hidup bersih nampaknya
belum dapat diterjemahkan oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Baru
pada diri sendiri, seperti pakaian, tubuh, atau tempat tinggal.
Sementara di tempat-tempat umum, perilaku hidup bersih belum dapat
diwujudkan. Kemungkinan besar karena tidak tahu operasionalisasinya.
Prinsip-prinsip
perilaku zero waste di antaranya, sampah tidak boleh dibuang. Jika
terpaksa dibuang, pilih dulu mana yang masih bisa dipakai berulangkali
dan pilah mana yang bisa diolah sendiri menjadi benda lain yang
bermanfaat. Misalnya menjadi bahan-bahan pembuatan benda lain, entah pot
tanaman, vas bunga, hiasan rumah, atau kompos. Jika tidak bisa diolah
sendiri, pilahlah mana sampah yang masih mungkin dijual kepada pengepul
sampah, seperti plastik, karet, besi, kaca, kertas. Jika terpaksa masih
ada sampah yang tidak bisa dikelola sendiri, dijual kepada pengumpul
barang bekas atau pemulung, buanglah di tempat sampah. Namun itu adalah
selemah-lemahnya iman. Dalam kehidupan sosial, prinsip zero waste,
misalnya, adalah tidak membuang sampah kecuali setelah melakukan
tindakan-tindakan di atas, dst. Beruntung, di Bandung sudah ada
perkumpulan-perkumpulan zero waste dan tokoh-tokoh masyarakat yang
mempraktekkan zero waste dalam kehidupan sosialnya. Tinggal
mengkampanyekan hal itu secara serius. Peran yang seharusnya dilakukan
oleh pemerintah kota.
Memperindah
tampilan adalah penting, tetapi lebih penting lagi kesadaran tentang
hidup bersih. Sehingga setiap orang kota pulang ke kampungnya, perilaku
yang benar terhadap sampah itu akan menjadi contoh bagi orang lain.
Sehingga makna lebaran sebagai perayaan kemenangan manusia atas hawa
nafsunya benar-benar terwujud dalam perilaku sehari-hari. (mang sawal)