09 September 2015

Nyampah Budaya Orang Kota ?

Lebaran sudah berlalu. Evaluasi arus mudik dan balik sudah selesai. Pujian dilontarkan kepada pengelola jalan raya. Namun adakah evaluasi terhadap polah para pemudik? Apakah
tingkah bangsa ini sudah sesuai dengan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang beradab?

Dalam sebuah percakapan telepon di Radio PRFM Bandung, pagi hari Sabtu 25 Juli 2015 lalu, seorang pendengar yang merupakan pemudik lebaran, mengeluhkan sampah yang
berserakan di sepanjang jalan jalur mudik dan balik menuju Bandung dari arah Timur melalui jalur selatan Pulau Jawa. Sebelumnya, sebuah akun facebook milik seorang mantan Kuwu
Jatisura, Jatiwangi Majalengka di jalur utara, Ginggi Syar Hasyim memuat pernyataan pada 23 Juli, “melihat jalan tol penuh sampah, tempat hiburan penuh sampah, rest area dan tempat2 pemberhentian penuh sampah.. kami disini menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran kalian para pemudik.. balesannya beginih.. kalian ini memang kelas menengah yang ngehe, kampungan dan super udik..”. Untuk diketahui, Jatisura adalah wilayah yang dilalui jalan tol Cipali dan tentu pemakaian istilah kampung dan udik bukan untuk merendahkan kampung dan udik.

Pada hari yang sama, 23 Juli, akun facebook seorang pemuda asal Jember Kaia Rambu mengunggah 3 buah foto berisi longsoran sampah plastik bungkus mie instan merek MS di jalur mudik Gunung Gumitir yang menghubungkan Jember dengan Banyuwangi. Jalur ini nampaknya lebih banyak dipilih tahun ini karena jalur Gunung Raung sedang dalam status Waspada. Foto yang memalukan ini telah disebarkan oleh sebanyak 4.342 akun facebook lain.
 

(Sumber Foto : Facebook Kaia Rambu).


Esoknya, pada 24 Juli akun Facebook milik Tommy Brahmaputra mengunggah sebuah rekaman video yang memperlihatkan sebuah mobil bernomor polisi Jakarta yang sepanjang perjalanan menuju lokasi wisata di Bali, terus membuang sampah ke jalan. Video itu diberi judul “Trash Tourists in action”. Menurut Tommy, video unggahannya itu bermaksud menggugah kesadaran orang-orang yang masih memiliki kebiasaan membuang sampah keluar mobil. Tommy kemudian mengutip prinsip etika perilaku yaitu “dalam kebebasan terdapat tanggungjawab. Di dalam hak melekat kewajiban”.

Tidak ketinggalan, kepada Harian Pikiran Rakyat, Direktur PD Kebersihan Kota Bandung yang baru dilantik sebelum lebaran, Deni Nurdyana mengeluh, selama libur lebaran yang lalu, jumlah sampah di Kota Bandung malah meningkat drastis dari 1.500 ton menjadi 1.700 ton perhari. Khusus di kawasan Alun-alun, volume sampah mencapai sekitar 3 ton setiap hari ! Ya, setiap hari! Sampah tersebut di antaranya berupa plastik, koran, dan bungkus makanan yang dibuang di sembarang tempat. Bagi pengikut (follower) Fanpage Netizen PRFM kritik terhadap perilaku nyampah warga Kota Bandung sejak lama kerap terbaca namun seolah kritik itu tidak mengubah apapun.

Supaya tidak terlalu nyinyir, tentunya, dalam setiap neraca, selalu ada sisi positif dan sisi negatif untuk melihat realitas secara keseluruhan.

Lebaran Tahun 2015 ini, mengeluarkan modal (outflow) sekitar 125 Triliun Rupiah, begitu lapor Bank Indonesia kepada publik pada 18 Juli lalu. Jutaan orang nampaknya sudah pasti kebagian rejeki lebaran. Untuk mengantar pemudik sampai ke kampung halaman, Pertamina menyediakan rata-rata setiap hari 100 ribu kiloliter Premium, 42 ribu kiloliter Solar, dan 3000 kiloliter Pertamax, serta 10 ribu kiloliter Avtur dan sedikit promosi produk baru Pertalite, ungkap VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro 22 Juli lalu.

Pembangunan jalan tol Cipali, yang menyedot anggaran 10 Triliun Rupiah, pun dipercepat demi memperlancar pergerakan pemudik dari Barat ke Timur dan sebaliknya. Demikian papar Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Hediyanto Husaini, 12 Juni 2015 lalu. Belum terhitung transaksi belanja di toko/pasar atau warung atau rumah makan sepanjang jalur mudik.

Catatan kecil itu saja menunjukkan betapa besar manfaat kebiasaan lebaran bagi roda ekonomi, belum dihitung manfaat terpeliharanya silaturahim dan adanya proses penyegaran jiwa bagi para pemudiknya, seperti disitir dalam ceramah Idul Fitri dari Dr. Jalaluddin Rakhmat yang viral di media sosial.

Kebiasaan Nyampah
Pada kenyataannya, manfaat besar itu dibuat kurang afdal dan dikotori oleh perilaku yang justru tidak selaras dengan alasan berlebaran yaitu mensyukuri kemenangan manusia atas hawa nafsunya.

Di dalam hati, kita ikut bertanya, mengapa perilaku membuang sampah sembarangan tidak juga berubah di saat makin banyak kaum pemudik yang telah lama tinggal di perkotaan? Di saat tingkat pendidikan bangsa ini meningkat? Mengapa perilaku membuang sampah sembarang itu tidak juga dinilai sebagai perilaku buruk dan memalukan? Sementara dalam agama diajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Apakah persoalan ini sama dengan gejala korupsi yang secara normatif haram, namun perilakunya tidak dinilai sebagai perbuatan buruk dan memalukan, karena terbukti para tahanan korupsi tidak sungkan memperlihatkan wajahnya di depan kamera media massa, dan keluarganya pun tidak merasa malu, malah dengan semangat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di antara massa pendukung yang meneriakkan yel-yel bahkan menyebut-nyebut pula nama Tuhan?

Selain karena alasan itu, juga untuk menghargai diri sendiri, penulis menyebut kebiasaan nyampah bukan kebudayaan, karena kebudayaan adalah sebuah sistem rumit yang terdiri dari tatanan norma dan krama serta identitas kemanusiaan yang merupakan hasil proses kreatif dan konstruktif dari ingatan-ingatan kolektif. Begitu kira-kira rumusan singkat dari pikiran seorang filsuf kebudayaan asal Jerman, Ernst Cassirer. Seperti juga sudah dibuktikan oleh banyak psikolog tingkahlaku di awal abad 19-an, melalui eksperimen mereka dengan ragam binatang terutama simpanse, untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apa bedanya manusia dengan binatang. Hewan hanya sanggup mengingat kebiasaan sementara manusia dapat membangun kebudayaan melalui intelejensia simbolik, demikian kesimpulan dalam laporan A.W. Yerkes dalam buku The Great Apes (1929). Sehingga kebiasaan lebih rendah derajatnya dibanding kebudayaan.

Tentunya untuk menjawab banyaknya pertanyaan “mengapa” di atas, seperti disarankan seorang filsuf Yunani kuna, Sokrates, kita harus mengenali diri sendiri. Meski menurut seorang filsuf Prancis di era renaissance, Michel Montaigne, persoalan paling besar di seluruh dunia adalah mengenali diri sendiri. Namun Sokrates tentu tidak akan diingat sebagai seorang filsuf jika tidak mempersulit kita dengan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan baru. Yaitu mengapa kita musti mengajukan pertanyaan itu? Mengapa kita musti mempermasalahkan kebiasaan nyampah? Bagi Sokrates, manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari dirinya, yang setiap saat menguji dan mengkaji dengan cermat kondisi eksitensialnya. Sikap kritis inilah yang menjadikan manusia “manusia” dan sebagai subjek moral sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Murid Sokrates, Plato, yang kemudian mencoba menerjemahkan ajaran gurunya tentang cara mengenali diri. Menurutnya, mengenali diri manusia dapat dilakukan dengan memahami kesadaran manusia dan bergaul dengannya serta menjalani kebiasaan-kebiasaannya. Karena itulah penulis merangkum sejumlah omelan, keluhan, laporan masyarakat dalam berbagai platform medium komunikasi. Untuk memperlihatkan adanya kebiasaan-kebiasaan yang dapat dikaji dan dinilai secara moral.

Nyampah Itu Tidak Bermoral
Seperti tertera dalam pernyataan-pernyataan di atas, kebiasaan-kebiasaan manusia haruslah dapat membedakan perilaku manusia dengan binatang dan setiap perbuatan manusia adalah subjek moral yang harus terus menerus dinilai.

Pertama yang harus disepakati adalah istilah “nyampah”. Adalah kosa kata slank yang biasa digunakan generasi sekarang untuk menunjuk kebiasaan mengotori suatu ruang/tempat dengan sadar atau tidak sadar. Dalam bahasa Sunda kebiasaan ini disebut dengan “ngaruntah”. Sementara kegiatan mengotori suatu tempat namun bukan kebiasaan disebut “ngabala”.

Nyampah hanya memiliki makna tunggal yakni mengotori, tidak ada makna lain. Tidak konotatif. Sehingga “nyampah” jelas bernilai negatif, karena perilaku tersebut dinilai merugikan orang lain dan karenanya menjadi amoral atau tidak bermoral. Kata antonym dari “nyampah” adalah bersih. Karena nyampah bukan bermakna “memproduksi sampah”, melainkan “perlakuan yang salah terhadap sampah”. Karena itu, lawan kata dari nyampah harus bermakna perlakuan yang benar terhadap sampah. Selama ini yang disadari masyarakat hanyalah kata “bersih” serta jargo-jargon hidup bersih tanpa operasionalisasi. 

Zero Waste
Pada Tahun 1970-an, seseorang bernama Paul Palmer di AS, menemukan istilah “zero waste” sebagai prinsip, tujuan dan filosofi perilaku yang benar terhadap sampah dengan bentuk perilaku mengurangi volume sampah yang dibuang (reduce), menggunakan benda yang sama untuk beberapa kali pakai (reuse), mengolah sampah menjadi benda baru layak pakai atau bernilai ekonomi kembali (recycle). 3R menjadi etika baru dalam memperlakukan sampah.

Meski sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an, konsep perilaku ini masih harus disosialisasikan dengan ragam pendekatan, mulai pendekatan psikologi sosial, budaya dan komunikasi. Karena hidup bersih nampaknya belum dapat diterjemahkan oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Baru pada diri sendiri, seperti pakaian, tubuh, atau tempat tinggal. Sementara di tempat-tempat umum, perilaku hidup bersih belum dapat diwujudkan. Kemungkinan besar karena tidak tahu operasionalisasinya.

Prinsip-prinsip perilaku zero waste di antaranya, sampah tidak boleh dibuang. Jika terpaksa dibuang, pilih dulu mana yang masih bisa dipakai berulangkali dan pilah mana yang bisa diolah sendiri menjadi benda lain yang bermanfaat. Misalnya menjadi bahan-bahan pembuatan benda lain, entah pot tanaman, vas bunga, hiasan rumah, atau kompos. Jika tidak bisa diolah sendiri, pilahlah mana sampah yang masih mungkin dijual kepada pengepul sampah, seperti plastik, karet, besi, kaca, kertas. Jika terpaksa masih ada sampah yang tidak bisa dikelola sendiri, dijual kepada pengumpul barang bekas atau pemulung, buanglah di tempat sampah. Namun itu adalah selemah-lemahnya iman. Dalam kehidupan sosial, prinsip zero waste, misalnya, adalah tidak membuang sampah kecuali setelah melakukan tindakan-tindakan di atas, dst. Beruntung, di Bandung sudah ada perkumpulan-perkumpulan zero waste dan tokoh-tokoh masyarakat yang mempraktekkan zero waste dalam kehidupan sosialnya. Tinggal mengkampanyekan hal itu secara serius. Peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kota.

Memperindah tampilan adalah penting, tetapi lebih penting lagi kesadaran tentang hidup bersih. Sehingga setiap orang kota pulang ke kampungnya, perilaku yang benar terhadap sampah itu akan menjadi contoh bagi orang lain. Sehingga makna lebaran sebagai perayaan kemenangan manusia atas hawa nafsunya benar-benar terwujud dalam perilaku sehari-hari. (mang sawal)