26 Maret 2017

ATe

Berbeda dengan kebanyakan orang, saya memiliki kelemahan menyimpan ingatan ke dalam memori di otak untuk jangka panjang. Apalagi ingatan secara detil. Kalaupun ada, ingatan yang kerap terambil kembali dari kotak memori itu hanyalah bagian judul peristiwa tanpa kejelasan alur, kronologi, pelaku, dst. Saya yakin ingatan itu ada, hanya terlalu dalam tenggelam dalam kotak memori jangka panjang, terhimpit ingatan-ingatan baru, sehingga sulit diambil kembali.

Termasuk ingatan saya tentang Ahmad Taufik bin Aljufri.

Saya hanya sanggup mengingat sedikit sekali detil perjumpaan saya dengannya. Yang saya ingat, perjumpaan itu terjadi di awal karir saya sebagai jurnalis di Tahun 1989. Walau sebenarnya saya sudah memulai magang sejak 1988, namun karya tulis saya mulai menggunakan kode nama saya, dimulai Tahun 1989. Itu di Harian Jayakarta Biro Bandung.


Yang saya ingat, kami sama-sama wartawan junior yang masih mahasiswa. Ate mahasiswa senior fakultas hukum Unisba, saya mahasiswa junior jurnalistik fikom Unpad. Kami sama-sama tidak suka bergaul dengan wartawan senior yang tergabung pada pokja-pokja liputan. Kami juga sama-sama tidak sepakat dengan perilaku umum wartawan saat itu, yaitu, ngamplop atau bahkan meminta imbalan dari narasumber. Kami sama-sama tidak suka bergerombol ke sana kemari bersama wartawan lain mengejar-ngejar narasumber dengan pertanyaan yang sama. Kami lebih suka memilih bergerak eksklusif, sehingga kami memang jarang bertemu di lapangan, juga karena kemudian Ate makin tenggelam dalam gaya Majalah Tempo yang investigatif sedangkan saya pada tahun 1990 kepincut pada jurnalisme publik pada radio siaran dan bergabung dengan LPS PRSSNI Jabar. Apalagi setahun kemudian redaksi LPS PRSSNI Jabar ini dibredel oleh militer karena memberitakan aksi demo mahasiswa menentang SDSB.


Pada saat itu, produksi berita radio hanya boleh dilakukan oleh RRI. Tentunya tindakan yang dilakukan LPS PRSSNI itu merupakan pelanggaran "norma" menurut rezim saat itu. Selanjutnya, redaksi LPS dibubarkan oleh militer dan saya kemudian masuk ke dalam organisasi Radio Mara Bandung dan berubah profesi menjadi presenter acara talkshow pagi hari dengan sebutan Mang Sawal. Di radio inilah, jurnalisme publik kembali berkecambah.

Lihat: Catatan sejarah jurnalisme Radio Mara

Makin lama makin jarang pula saya berjumpa Ate di lapangan karena sifat pekerjaan saya itu. Meski pada akhirnya saya bergabung bersama Forum Wartawan Independen (FOWI) yang berdiri tahun 1991, saya kerap tidak hadir dalam banyak rapat yang berlangsung di kosan Ate di jalan dago. Selain di tempat kos, Ate juga kerap bertemu dengan teman-teman aktifis mahasiswa Unisba di kantor Tempo biro Bandung di jalan Tamansari. Sementara senior wartawan Tempo lain asyik main ping-pong di dalam ruangan.

Sampai tiba waktunya, gerakan perlawanan rakyat terakumulasi di beberapa tempat dan sejumlah media mulai memberitakan aksi-aksi tersebut dan mulai berani melaporkan investigasi terhadap praktek kotor kroni kekuasaan. Sejumlah media bicara tentang PT Nurtanio, radio Mara juga membicarakan hal yang sama dengan perspektif kasus yg berbeda. Pada tahun yang sama itu pula 3 media cetak dibredel oleh Deppen, dan Radio Mara juga mengalami tekanan militer untuk menghentikan "ocehan" di pagi hari mengenai Nurtanio.

Ketika eksponen FOWI menggelar aksi menentang pembredelan dan mengecam PWI yang mendukung pembredelan, radio Mara sibuk tiarap. Ketika pada akhirnya sejumlah wartawan mendeklarasikan diri dan mendirikan AJI di Sirnagalih, saya diminta untuk tetap di Bandung, berjaga-jaga agar tidak semua aktifis menjadi martir jika terjadi sesuatu di sirnagalih. Sukurlah deklarasi sirnagalih aman,

Sementara itu, pada akhirnya, radio Mara tidak tahan atas tekanan, dan pertengahan Tahun 1995, atas permintaan rezim, penyiar acara talkshow pagi hari harus diganti, agar radio Mara tetap memiliki ijin siaran. Berbeda dengan media cetak yang dibredel, pembubaran paksa redaksi LPS ini hening saja, tak terdengar. Lantas atas pertimbangan tertentu, salah satunya karena saya tidak mungkin bekerja lagi di seluruh media akibat tidak memiliki kartu screening, saya akhirnya dikirim Radio Mara ke Jerman untuk bekerja sebagai reporter dan editor di Lembaga Penyiaran Publik Jerman Deutschewelle di kota Köln. Sejak itu, saya kehilangan kontak dengan Ahmad Taufik.

Itulah satu dari sekian banyak bedanya Ate dengan saya. Ia lebih memilih untuk melawan, sedang saya menyelamatkan diri.

(Bersambung)