26 Desember 2015

Kartu Ucapan

Ini gambar lucu, dikirim orang tak dikenal ke emailku. (25des2015)

06 Oktober 2015

Menjadi Wartawan Seperti Tintin (tulisan lama 2003)

Sejak pertama menjadi pengajar di kelas Jurnalistik, Tahun 2000, saya selalu mendapat pertanyaan dari mahasiswa (betulan, karena mahasiswi di kelas Jurnalistik amat sedikit), jadi wartawan itu susah nggak sih? harus bernyali besar ya? harus siap bangun 24 jam ya? dst.

Ingin sekali saya menjawab dengan gamblang, namun kuatir karena sebagian jawaban hanyalah mitos. Untuk menghindari tanggungjawab moral itu, saya memilih mengisahkan tokoh komik karangan Herge, Tintin (kalau di Jerman namanya menjadi Tim dan anjingnya menjadi Strupy).

Komik Tintin menggambarkan betapa dunia wartawan adalah dunia khayal yang indah, menyenangkan, sekaligus penuh petualangan dan bahaya. Herge menggambarkan Tintin yang tidak pernah kuatir dengan uang di saku, juga tidak pernah diperlihatkan memeriksa buku rekening banknya. Tintin selalu ingin tahu, sekaligus cermat dan hati-hati. Ingatannya panjang tapi ia tidak segan mencatat hal-hal kecil seperti nama, alamat juga warna baju seseorang, dan ini amat membantunya dalam merangkai beberapa peristiwa menjadi sebuah untaian kesimpulan.

Tidak penakut, tapi tidak pernah menantang bahaya. Selalu kreatif dalam mencari jalan keluar ketika telah tersudut tapi juga selalu bernasib untung. Berteman dengan banyak kalangan, dari mulai seorang anak nun jauh di atas pegunungan Himalaya, sampai anak Raja dari Timur Tengah. Polisi dan Pengusaha. Penyanyi, ilmuwan juga pengusaha yang ternyata gembong mafia dan akhirnya berusaha membunuhnya.

Di beberapa episode, kisah-kisah petualangan Tintin, diakhiri dengan sekuel laporan yang dimuat sebuah koran di AS. Demikian karakter Tintin digambarkan. Jika dicermati, Herge (sang pengarang) rupanya berkeyakinan, wartawan seperti Tintin akan selalu menuai bahaya. Semua kisah petualangan Tintin selalu menghidangkan ketegangan yang mengancam jiwa, meski Herge selalu membuat nasib Tintin beruntung. Berbagai ancaman telah dialami Tintin. Disekap. Diculik. Dipukuli. Diracun. Nyaris ditembak mati di depan barisan tentara mabuk. Dimakan hiu. Didorong dari atap kereta api yang melaju. Dan masih banyak lagi. Sedikit banyak kemiripannya, begitulah dunia wartawan.

Pekerjaan ini tidak sama dengan pekerjaan seorang Sekretaris yang setiap hari duduk di kursi kantor, menunggu perintah dari majikannya sambil berhadapan dengan komputer dan telpon. Seseorang tidak mungkin menjadi wartawan, jika ia tidak pernah ingin tahu atas sesuatu dan punya keinginan kuat untuk mencari jawaban yang benar dari keingin-tahuannya itu. Mungkin, boleh dibilang, wartawan adalah seorang filosof. Dalam bahasa Latin, philo berarti suka atau beuki (ini dari bahasa Sunda), sementara sophie adalah pertanyaan. Jadi, filsuf adalah orang yang suka bertanya-tanya. Tapi di sinilah persoalan lain muncul, karena mencari jawaban ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan keingin-tahuan pun tidak perlu dimiliki oleh oknum yang ingin diaku sebagai wartawan, karena dia bisa saja bergerombol seperti ikan tuna, pergi ke sana pergi ke sini, wara wiri mencari narasumber lalu akhirnya mencari sedekah. Ini yang disebut wartawan gadungan.

Wartawan asli, seperti Tintin, memiliki rasa ingin tahu yang besar karena didorong oleh kepedulian terhadap kehidupan sosialnya. Pada nilai-nilai moral yang harus ditegakkan. Bukan pada kebutuhan perut sendiri. Dalam komik itu tidak pernah digambarkan upacara rutin makan pagi, siang dan malam, bukan? Itu menunjukkan pandangan Herge tentang wartawan, betapa kepentingan individualis sang wartawan menjadi amat tidak relevan dalam pekerjaan kewartawanan. Tintin tidak pernah vested interest, melainkan pada Public Interest.

Herge mungkin bukan seorang pakar Jurnalistik, tapi ia lebih dulu mengungkapkan melalui gambar-gambar komiknya, elemen-elemen dasar jurnalisme yang di kemudian hari dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai elemen dasar jurnalistik. Menurut Kovach dan Rosenstiel, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran dan bla-bla-bla seterusnya. Eleman dasar itu, mengundang konsekuensi seperti yang dialami Tintin. Disekap. Diculik. Dipukuli. Diracun. Ditembaki, dst. (oh, nasibku .. sopo sing tresna).

Wartawan menjalankan tugas untuk memenuhi hak azasi warga negara untuk (1) mengetahui dan mengawasi jalannya pemerintahan dalam mengelola negara, (2) berpendapat dan (3) memperoleh informasi.

Inilah sebabnya, mengapa gangguan terhadap wartawan yang sedang melakukan tugasnya, disejajarkan dengan gangguan terhadap hak rakyat dan demokrasi. Bahkan di daerah perang, wartawan hadir untuk menjamin hak rakyat untuk tahu. Tanpa kehadiran wartawan, rakyat AS tidak tahu kalau tentaranya melakukan apa saja di Vietnam, sehingga muncul gelombang besar menentang mobilisasi ke Vietnam.

Tanpa kehadiran wartawan, dunia internasional tidak pernah tahu jika tentara AS menggunakan bom kimia bernama NAPALM di Vietnam. Tanpa kerja pers, kita tidak tahu sejumlah caleg di Jawa Tengah ternyata memalsukan surat keterangan kesehatan dan di antara mereka ternyata dinyatakan sakit jiwa.

Tanpa kerja wartawan, kita juga tidak tahu jika sebuah partai di Lampung ternyata mencalonkan seorang perampok sebagai calon anggota legislatif. Kemudian hari si perampok tewas dihajar peluru polisi, sebelum KPU mengumumkan daftar calon tetap tanggal 29 Januari 2003 lalu.

Jadi memang wajar, jika banyak pihak begitu geram melihat kehadiran wartawan. Karena mereka tidak ingin "ketahuan belangnya". Orang beginian yang merasa harus "ngamplopin" wartawan supaya bisa tidur tenang. Atau orang yang tidak mau bertanggung jawab pada publik.

Sebagai profesional yang menyadari tugas sebagai pengemban hak publik, wartawan memiliki perangkat Kode Etik agar interaksi wartawan dengan lingkungan sekitarnya ketika bekerja dan hasil karyanya benar-benar memenuhi standard. Selain berhak membuat berita, wartawan juga wajib hukumnya patuh pada kode etik. Di sinilah mengapa Tintin mengenal banyak orang.

Pendapat dan selera pribadi, tidak penting dalam kehidupan wartawan. Ia harus mau mendatangi kompleks pelacuran dan mewawancarai pelacur untuk mengimbangi berita tentang kompleks pelacuran. Ia harus mau bersalaman dengan penderita HIV/AIDS. Juga tetap mewawancarai seorang Presiden yang keji tanpa bersikap seperti orang yang jijik melihat bangkai.

Memang tidak dijelaskan Herge, mengapa koran mengutip iklan untuk membiayai produksi. Sebab semua orang jelas memahaminya. Tanpa iklan, informasi itu akan menjadi terlalu mahal dan publik hanya akan memperoleh terlalu sedikit informasi yang menjadi haknya. Memang cost of burden tidak pantas dibebankan kembali pada publik, yang sudah bayar pajak, bayar retribusi, dan membeli semua barang dengan harga pasar, melainkan pada lembaga-lembaga yang mengambil keuntungan dari publik. Das ist Das. Setiap langkah wartawan sebagai wartawan, harus memberi manfaat bagi publik maka menjadi relevan jika cost of burden-nya berasal dari lembaga yang selama ini mengambil manfaat dari publik dan mau mendonor. Jika Tintin meminta sumbangan pada Rastapapoulos sang pengusaha untuk memperbaiki genting rumah-nya mumpung sekarang musim Halodo, atau membeli cadeau karena Snowy sang anjing kesayangan Jaarig hari ini, itu adalah urusan pribadi, tidak ada hubungannya dengan kewartawanannya.

Sayangnya, ada teori yang mengatakan, etical constraint sang pribadi akan berhubungan dengan profesional quality-nya. Mungkin teorinya yang salah, atau saya yang terlalu bego untuk mengingatnya. Tapi saya suka Tintin. Dia tidak pernah sekalipun nampak minta sedekah.

Jika saja Herge hidup hingga 100 tahun lebih, mungkin ia masih sempat menambah satu lagi koleksi serial komik Tintin ciptaannya, dengan kisah yang sad ending, ketika akhirnya Tintin harus mati terbunuh. Mungkin. Atau masih akan ada 100 kisah lagi menyusul. Tapi waktu rupanya hanya mengijinkan Herge menyelesaikan beberapa lembar saja, halaman pertama edisi terakhir yang diberi judul oleh penerbitnya Lotus Biru, sebelum wafat.

(Nursyawal, Ketua AJI Bandung 2002-2006, dari milis AJI-ajisaja@yahoogroups.com)

09 September 2015

Nyampah Budaya Orang Kota ?

Lebaran sudah berlalu. Evaluasi arus mudik dan balik sudah selesai. Pujian dilontarkan kepada pengelola jalan raya. Namun adakah evaluasi terhadap polah para pemudik? Apakah
tingkah bangsa ini sudah sesuai dengan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang beradab?

Dalam sebuah percakapan telepon di Radio PRFM Bandung, pagi hari Sabtu 25 Juli 2015 lalu, seorang pendengar yang merupakan pemudik lebaran, mengeluhkan sampah yang
berserakan di sepanjang jalan jalur mudik dan balik menuju Bandung dari arah Timur melalui jalur selatan Pulau Jawa. Sebelumnya, sebuah akun facebook milik seorang mantan Kuwu
Jatisura, Jatiwangi Majalengka di jalur utara, Ginggi Syar Hasyim memuat pernyataan pada 23 Juli, “melihat jalan tol penuh sampah, tempat hiburan penuh sampah, rest area dan tempat2 pemberhentian penuh sampah.. kami disini menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran kalian para pemudik.. balesannya beginih.. kalian ini memang kelas menengah yang ngehe, kampungan dan super udik..”. Untuk diketahui, Jatisura adalah wilayah yang dilalui jalan tol Cipali dan tentu pemakaian istilah kampung dan udik bukan untuk merendahkan kampung dan udik.

Pada hari yang sama, 23 Juli, akun facebook seorang pemuda asal Jember Kaia Rambu mengunggah 3 buah foto berisi longsoran sampah plastik bungkus mie instan merek MS di jalur mudik Gunung Gumitir yang menghubungkan Jember dengan Banyuwangi. Jalur ini nampaknya lebih banyak dipilih tahun ini karena jalur Gunung Raung sedang dalam status Waspada. Foto yang memalukan ini telah disebarkan oleh sebanyak 4.342 akun facebook lain.
 

(Sumber Foto : Facebook Kaia Rambu).


Esoknya, pada 24 Juli akun Facebook milik Tommy Brahmaputra mengunggah sebuah rekaman video yang memperlihatkan sebuah mobil bernomor polisi Jakarta yang sepanjang perjalanan menuju lokasi wisata di Bali, terus membuang sampah ke jalan. Video itu diberi judul “Trash Tourists in action”. Menurut Tommy, video unggahannya itu bermaksud menggugah kesadaran orang-orang yang masih memiliki kebiasaan membuang sampah keluar mobil. Tommy kemudian mengutip prinsip etika perilaku yaitu “dalam kebebasan terdapat tanggungjawab. Di dalam hak melekat kewajiban”.

Tidak ketinggalan, kepada Harian Pikiran Rakyat, Direktur PD Kebersihan Kota Bandung yang baru dilantik sebelum lebaran, Deni Nurdyana mengeluh, selama libur lebaran yang lalu, jumlah sampah di Kota Bandung malah meningkat drastis dari 1.500 ton menjadi 1.700 ton perhari. Khusus di kawasan Alun-alun, volume sampah mencapai sekitar 3 ton setiap hari ! Ya, setiap hari! Sampah tersebut di antaranya berupa plastik, koran, dan bungkus makanan yang dibuang di sembarang tempat. Bagi pengikut (follower) Fanpage Netizen PRFM kritik terhadap perilaku nyampah warga Kota Bandung sejak lama kerap terbaca namun seolah kritik itu tidak mengubah apapun.

Supaya tidak terlalu nyinyir, tentunya, dalam setiap neraca, selalu ada sisi positif dan sisi negatif untuk melihat realitas secara keseluruhan.

Lebaran Tahun 2015 ini, mengeluarkan modal (outflow) sekitar 125 Triliun Rupiah, begitu lapor Bank Indonesia kepada publik pada 18 Juli lalu. Jutaan orang nampaknya sudah pasti kebagian rejeki lebaran. Untuk mengantar pemudik sampai ke kampung halaman, Pertamina menyediakan rata-rata setiap hari 100 ribu kiloliter Premium, 42 ribu kiloliter Solar, dan 3000 kiloliter Pertamax, serta 10 ribu kiloliter Avtur dan sedikit promosi produk baru Pertalite, ungkap VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro 22 Juli lalu.

Pembangunan jalan tol Cipali, yang menyedot anggaran 10 Triliun Rupiah, pun dipercepat demi memperlancar pergerakan pemudik dari Barat ke Timur dan sebaliknya. Demikian papar Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Hediyanto Husaini, 12 Juni 2015 lalu. Belum terhitung transaksi belanja di toko/pasar atau warung atau rumah makan sepanjang jalur mudik.

Catatan kecil itu saja menunjukkan betapa besar manfaat kebiasaan lebaran bagi roda ekonomi, belum dihitung manfaat terpeliharanya silaturahim dan adanya proses penyegaran jiwa bagi para pemudiknya, seperti disitir dalam ceramah Idul Fitri dari Dr. Jalaluddin Rakhmat yang viral di media sosial.

Kebiasaan Nyampah
Pada kenyataannya, manfaat besar itu dibuat kurang afdal dan dikotori oleh perilaku yang justru tidak selaras dengan alasan berlebaran yaitu mensyukuri kemenangan manusia atas hawa nafsunya.

Di dalam hati, kita ikut bertanya, mengapa perilaku membuang sampah sembarangan tidak juga berubah di saat makin banyak kaum pemudik yang telah lama tinggal di perkotaan? Di saat tingkat pendidikan bangsa ini meningkat? Mengapa perilaku membuang sampah sembarang itu tidak juga dinilai sebagai perilaku buruk dan memalukan? Sementara dalam agama diajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Apakah persoalan ini sama dengan gejala korupsi yang secara normatif haram, namun perilakunya tidak dinilai sebagai perbuatan buruk dan memalukan, karena terbukti para tahanan korupsi tidak sungkan memperlihatkan wajahnya di depan kamera media massa, dan keluarganya pun tidak merasa malu, malah dengan semangat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di antara massa pendukung yang meneriakkan yel-yel bahkan menyebut-nyebut pula nama Tuhan?

Selain karena alasan itu, juga untuk menghargai diri sendiri, penulis menyebut kebiasaan nyampah bukan kebudayaan, karena kebudayaan adalah sebuah sistem rumit yang terdiri dari tatanan norma dan krama serta identitas kemanusiaan yang merupakan hasil proses kreatif dan konstruktif dari ingatan-ingatan kolektif. Begitu kira-kira rumusan singkat dari pikiran seorang filsuf kebudayaan asal Jerman, Ernst Cassirer. Seperti juga sudah dibuktikan oleh banyak psikolog tingkahlaku di awal abad 19-an, melalui eksperimen mereka dengan ragam binatang terutama simpanse, untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apa bedanya manusia dengan binatang. Hewan hanya sanggup mengingat kebiasaan sementara manusia dapat membangun kebudayaan melalui intelejensia simbolik, demikian kesimpulan dalam laporan A.W. Yerkes dalam buku The Great Apes (1929). Sehingga kebiasaan lebih rendah derajatnya dibanding kebudayaan.

Tentunya untuk menjawab banyaknya pertanyaan “mengapa” di atas, seperti disarankan seorang filsuf Yunani kuna, Sokrates, kita harus mengenali diri sendiri. Meski menurut seorang filsuf Prancis di era renaissance, Michel Montaigne, persoalan paling besar di seluruh dunia adalah mengenali diri sendiri. Namun Sokrates tentu tidak akan diingat sebagai seorang filsuf jika tidak mempersulit kita dengan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan baru. Yaitu mengapa kita musti mengajukan pertanyaan itu? Mengapa kita musti mempermasalahkan kebiasaan nyampah? Bagi Sokrates, manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari dirinya, yang setiap saat menguji dan mengkaji dengan cermat kondisi eksitensialnya. Sikap kritis inilah yang menjadikan manusia “manusia” dan sebagai subjek moral sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Murid Sokrates, Plato, yang kemudian mencoba menerjemahkan ajaran gurunya tentang cara mengenali diri. Menurutnya, mengenali diri manusia dapat dilakukan dengan memahami kesadaran manusia dan bergaul dengannya serta menjalani kebiasaan-kebiasaannya. Karena itulah penulis merangkum sejumlah omelan, keluhan, laporan masyarakat dalam berbagai platform medium komunikasi. Untuk memperlihatkan adanya kebiasaan-kebiasaan yang dapat dikaji dan dinilai secara moral.

Nyampah Itu Tidak Bermoral
Seperti tertera dalam pernyataan-pernyataan di atas, kebiasaan-kebiasaan manusia haruslah dapat membedakan perilaku manusia dengan binatang dan setiap perbuatan manusia adalah subjek moral yang harus terus menerus dinilai.

Pertama yang harus disepakati adalah istilah “nyampah”. Adalah kosa kata slank yang biasa digunakan generasi sekarang untuk menunjuk kebiasaan mengotori suatu ruang/tempat dengan sadar atau tidak sadar. Dalam bahasa Sunda kebiasaan ini disebut dengan “ngaruntah”. Sementara kegiatan mengotori suatu tempat namun bukan kebiasaan disebut “ngabala”.

Nyampah hanya memiliki makna tunggal yakni mengotori, tidak ada makna lain. Tidak konotatif. Sehingga “nyampah” jelas bernilai negatif, karena perilaku tersebut dinilai merugikan orang lain dan karenanya menjadi amoral atau tidak bermoral. Kata antonym dari “nyampah” adalah bersih. Karena nyampah bukan bermakna “memproduksi sampah”, melainkan “perlakuan yang salah terhadap sampah”. Karena itu, lawan kata dari nyampah harus bermakna perlakuan yang benar terhadap sampah. Selama ini yang disadari masyarakat hanyalah kata “bersih” serta jargo-jargon hidup bersih tanpa operasionalisasi. 

Zero Waste
Pada Tahun 1970-an, seseorang bernama Paul Palmer di AS, menemukan istilah “zero waste” sebagai prinsip, tujuan dan filosofi perilaku yang benar terhadap sampah dengan bentuk perilaku mengurangi volume sampah yang dibuang (reduce), menggunakan benda yang sama untuk beberapa kali pakai (reuse), mengolah sampah menjadi benda baru layak pakai atau bernilai ekonomi kembali (recycle). 3R menjadi etika baru dalam memperlakukan sampah.

Meski sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an, konsep perilaku ini masih harus disosialisasikan dengan ragam pendekatan, mulai pendekatan psikologi sosial, budaya dan komunikasi. Karena hidup bersih nampaknya belum dapat diterjemahkan oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Baru pada diri sendiri, seperti pakaian, tubuh, atau tempat tinggal. Sementara di tempat-tempat umum, perilaku hidup bersih belum dapat diwujudkan. Kemungkinan besar karena tidak tahu operasionalisasinya.

Prinsip-prinsip perilaku zero waste di antaranya, sampah tidak boleh dibuang. Jika terpaksa dibuang, pilih dulu mana yang masih bisa dipakai berulangkali dan pilah mana yang bisa diolah sendiri menjadi benda lain yang bermanfaat. Misalnya menjadi bahan-bahan pembuatan benda lain, entah pot tanaman, vas bunga, hiasan rumah, atau kompos. Jika tidak bisa diolah sendiri, pilahlah mana sampah yang masih mungkin dijual kepada pengepul sampah, seperti plastik, karet, besi, kaca, kertas. Jika terpaksa masih ada sampah yang tidak bisa dikelola sendiri, dijual kepada pengumpul barang bekas atau pemulung, buanglah di tempat sampah. Namun itu adalah selemah-lemahnya iman. Dalam kehidupan sosial, prinsip zero waste, misalnya, adalah tidak membuang sampah kecuali setelah melakukan tindakan-tindakan di atas, dst. Beruntung, di Bandung sudah ada perkumpulan-perkumpulan zero waste dan tokoh-tokoh masyarakat yang mempraktekkan zero waste dalam kehidupan sosialnya. Tinggal mengkampanyekan hal itu secara serius. Peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kota.

Memperindah tampilan adalah penting, tetapi lebih penting lagi kesadaran tentang hidup bersih. Sehingga setiap orang kota pulang ke kampungnya, perilaku yang benar terhadap sampah itu akan menjadi contoh bagi orang lain. Sehingga makna lebaran sebagai perayaan kemenangan manusia atas hawa nafsunya benar-benar terwujud dalam perilaku sehari-hari. (mang sawal)

10 Mei 2015

20 Ciri Karakter Bangsa Indonesia

Mengutip Paper Sri-Edi Swasono

Berjudul: Tahta untuk Rakyat; Krisis Kepemimpinan; Rezim Merampok Negara, tentang Karakter Unggul Bangsa Indonesia:

(1). Cinta Tanah-Air.
(2). Cinta Bangsa dan Negara (nasionalistik patriotik).
(3). Bangga sebagai Bangsa Indonesia.
(4). Mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global.
(5). Percaya-diri (tidak minder sebagaimana inlander di zaman kolonial).
(6). Berharga-diri (bermartabat tetapi tidak congkak)
(7). Berpedoman UUD 1945.
(8). Digdaya (tidak lembek, tidak gampang menyerah, teguh-pendirian).
(9), Mandraguna (perkasa, tidak selfish, berguna bagi keluarga, Rakyat, Bangsa dan Negara).
(10). Pemberani (teguh demi kebenaran dan keyakinan, kendel).
(11). Tidak mudah takut (tidak jirih) tegas dan berani mengambil keputusan, tidak peragu.
(12). Adil.
(13). Jujur.
(14). Mampu bekerjasama kooperatif dan komunikatif.
(15). Toleran (menghargai perbedaan).
(16). Menjunjung kebersamaan dan semangat kekeluargaan (menjunjung mutualism dan brother-hood).
(17). Ramah (tidak monstrous) tetapi bukan menghamba (servile).
(18). Hidup damai dalam prinsip co-existance/hidup berdampingan secara damai.
(19). Teguh untuk menjadi "Tuan di Negeri Sendiri" (menolak menjadi bangsa kuli).
(20). Pancasilais (menjaga persatuan nasional, religious, menolak menjadi homo-economicus rakus, mengemban diri sebagai homo-socius, homo-humanus dan homo magnificus/homo-Khalifatullah).

Klipping Lama


15 Maret 2015

IDENTITAS

Ya! Apakah Identitas?
Apakah Negara?
Apakah Suku Bangsa?
Apakah Aku?
Apakah itu mozaik dalam bingkai yang sama?
Apakah itu kutub-kutub magnetik yang saling menolak?
Apakah itu gladiator yang harus bertahan hidup?
Apakah identitas?
Apakah manusia bukan? Lalu?

Okt, 2014