11 Desember 2023

Ini Cara Mencegah Panen Hoax

Entah mengapa, jelang kontestasi politik, seperti pemilu, ramai orang membicangkan perkara hoax / hoaks / informasi palsu / fake news / kabar bohong. Apakah musim pemilu sama dengan panen hoax ? Bukannya panen gagasan baru untuk mencapai kesejahteraan bangsa ? Jika demikian, bagaimana kita menyikapi hal tersebut ? Bagaimana kita mencegah penyebaran hoax ?

Saya mempunyai rujukan setelah cari dari sana-sini, terutama karena harus menyelesaikana tugas kuliah program Doktoral di UNISBA Bandung. Yaitu "Haditsul Ifki", kisah fitnah tentang istri Nabi Muhammad, Aisyah RA Berselingkuh. Nampak seperti infotainment ya?

Haditsul Ifki adalah sebuah peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah dengan pelakunya kaum munafik pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul, yang dikenal sebagai pemimpin kaum munafik di Madinah. Mereka menuduh Aisyah berzina dengan Shafwan bin Muattal, salah satu sahabat Nabi, ketika mereka tertinggal dari rombongan dalam perjalanan pulang dari perang Bani Musthaliq dan kemudian pulang bersama.

Baca juga: Kaum Munafik di Jaman Nabi

Nabi Muhammad SAW mengetahui tuduhan ini ketika berita fitnah tersebut sudah tersebar di kalangan masyarakat Madinah. Beliau mendengar kabar ini dari orang-orang dan merasa sangat sedih. Nabi Muhammad SAW tidak langsung percaya dan memilih untuk mencari kebenaran serta menjaga jarak dengan Aisyah selama sebulan lebih. Beliau berdiskusi dengan sahabat-sahabat terdekat dan meminta pendapat orang-orang yang dekat dengan Aisyah. Beberapa sahabat Nabi berpendapat agar Rasulullah tetap mempertahankan Aisyah dan tidak mendengarkan perkataan-perkataan kaum munafik. Nabi juga menunggu petunjuk dari Allah sebelum bersikap.

Kemudian Allah menurunkan wahyu yang membersihkan nama Aisyah dari tuduhan tersebut. Wahyu ini kemudian dibacakan oleh Nabi Muhammad SAW di hadapan masyarakat, sehingga semua orang mengetahui bahwa Aisyah tidak bersalah. Wahyu tersebut tertuang dalam Surat An-Nuur ayat 11 hingga 20.

Bacalah : Surat An-Nuur Lengkap

Surat An-Nuur secara umum, menjelaskan tentang hukum dan konsekuensi dari penyebaran fitnah dan berita bohong, serta pentingnya mencari bukti sebelum mempercayai suatu tuduhan, juga kewajiban menghadirkan empat orang saksi ketika mengeluarkan tuduhan untuk menekankan pentingnya keadilan dan kebenaran. Jika penuduh tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang adil dan dapat dipercaya, maka tuduhan tersebut dianggap tidak sah dan penuduhnya dapat dikenai hukuman.

Pelajaran dari Kasus Fitnah Ini

Peristiwa ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana cara mengatasi hoax atau kabar bohong. Dalam menghadapi informasi yang belum jelas kebenarannya, tidak segera menyebarkan melainkan mencari kebenaran terlebih dahulu. Selain itu, ada hukuman bagi penyebar hoax untuk mencegah penyebaran fitnah lebih lanjut.

Kasus ini menjadi bagian dari hukum Islam yang melarang penyebaran berita atau informasi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Selain Surat An-Nur, juga ada hadis Nabi dari Muslim: Rasulullah SAW mengatakan, “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim no.7). Dalam konteks Indonesia terdapat Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) No. 24 tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial, yang memutuskan hukum haram dalam penyebaran hoaks serta informasi bohong meskipun bertujuan baik.

Arsip : Fatwa MUI no.24/2017

Jadi, hukumnya, umat Islam WAJIB untuk selalu berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan berita, dan WAJIB memastikan kebenaran informasi  sebelum menyebarkannya. Jika tidak sanggup memeriksa kebenaran sebuah informasi, maka BERDOSA jika tetap menyebarkannya.

Nah bagaimana caranya supaya tidak ketiban dosa dan azab? Cara memeriksa kredibilitas informasi, merujuk pada kasus Aisyah ini :

1. Nabi bertanya pada pihak-pihak di sekitar Aisyah, ini dapat dikategorikan sebagai upaya memeriksa data,

2. Nabi bertanya kepada para sahabat terdekat, ini dapat dikategorikan memeriksa melalui pendapat ahli,

3. Nabi menjaga jarak dengan Aisyah, ini dapat dikategorikan sebagai upaya menjaga objektifitas.

Rujukan itu bisa membantu awam, seperti kita-kita ini, cara memeriksa kredibilitas informasi yaitu :

1. Tidak langsung percaya, jaga jarak emosional agar dapat memeriksa dengan pikiran yang jernih. Nabi tidak mungkin bohong, ia pemimpin umat dan Aisyah adalah istrinya, ia bisa saja langsung membantah atau sebaliknya langsung menghukum Aisyah, namun Nabi tidak melakukan itu, ia tidak segera berpendapat dan menjaga jarak. Dengan demikian fakta serta kronologi dapat terkumpul.

2. Kemudian periksa saluran atau media yang kita gunakan untuk menerima berita apakah saluran atau media itu bisa diperiksa kredibilitasnya, apakah penyebar berita atau pihak yang menyebarkan informasi itu dikenali sebagai saluran atau media yang selalu melakukan pemeriksaan isi informasi sebelum menyebar informasinya, apakah dapat dikenali siapa pengelolanya, alamatnya jelas, apakah memiliki akreditas sebagai saluran atau media informasi.

3. Periksa isi informasinya, apakah berisi kebenaran universal, kebenaran objektif, atau kebenaran subjektif.

a. kebenaran subjektif: apakah isi informasi itu dilihat atau dialami sendiri oleh pembuat informasi.

b. kebenaran objektif: apakah isi informasi merupakan sebuah penjelasan dengan argumen/bukti/ukuran-ukuran yang dapat digunakan semua orang, sehingga semua orang dapat mengujinya kembali dengan hasil yang sama, seperti : air mendidih jika mencapai suhu air 100 derajat, atau seorang anak dinyatakan demam jika suhu badannya terukur 40 derajat. Kecepatan motor mencapai 40 km perjam sesuai petunjuk di dashboard, atau beras disebut 100kg dengan menimbangnya di alat timbangan beras.

c. kebenaran universal: Apakah isi informasi merupakan sebuah kebenaran universal yang sudah diakui semua orang, seperti : api itu panas dan dapat membakar benda-benda. Es itu dingin dan dapat membekukan. Malam adalah ketika matahari tenggelam.

Jika isi informasi berisi kebenaran subjektif, silakan lakukan prosedur nomor 2.

Jika isi informasi berisi kebenaran objektif, silakan lakukan pemeriksaan akurasi data (tanggal, lokasi, nama-nama, dan lain-lain), kemudian periksa wacana yang diusung dengan memeriksa inti dari masalah yang dibicarakan, bagaimana sikap/pendapat penyebar informasi terhadap masalah itu, bagaimana solusi yang ditawarkan, bagaimana gaya penuturan pembuat informasi (apakah sekedar bagi informasi atau mengajak, atau bertanya-tanya), bagaimana emosi pesannya (menyampaikan ancaman-ancaman bahaya, atau menyampaikan penjelasan-penjelasan/bukti/data, atau menyampaikan ekspresi perasaan saja). 

Agak merepotkan ya? Ya begitulah, karena menyebarkan berita bohong/fitnah ada hukumannya. Tidak hanya di dunia, tapi juga di Akhirat. Ngeri kan?

Cara Lain Memeriksa Informasi

Ada juga sih cara sederhana, yang ditawarkan Stony Brook University Inggris, yaitu IMVAIN:

Sumber : Stony Brooks

1. periksa I (independensi) dari penyebar informasi, apakah isi informasi ada kaitan dengan kepentingan pribadi penyebar informasi.

2. periksa M (multiple) sumber beritanya beragam tidak hanya banyak tapi juga apakah memuat perbedaan pendapat atau sikap dari sumber yang banyak itu, tidak hanya banyak tapi pendapatnya sama semua.

3. periksa V (verified) penyebar informasinya membeberkan caranya memeriksa informasi, misalnya menunjukkan bahwa informasi itu sudah diperiksa kepada pelaku, saksi, atau ahli, atau diperiksa sendiri ke lokasi.

4. periksa A (authoritative) narasumber/ahli/saksi adalah orang-orang yang berwenang dalam persoalan itu, misalnya dalam kasus hukum, maka yang dikutip adalah ahli hukum, polisi yang bertugas, korban, dst.

5. periksa I (informed) narasumber/ahli/saksi adalah orang-orang yang memiliki informasi dan data yang banyak dan aktual serta dari sumber informasi dan data yang sahih. bukan dukun yang memperoleh informasi dari wangsit/mimpi.

6. periksa N (named) semua pihak yang dikutip, identitasnya disebut dengan jelas, misalnya ahli prof. X dari Universitas Y, atau saksi Bapak V dari RT002 RW003 Kel.N Kec.P Kota K. dengan pengeculian jika saksi itu terancam keselamatannya jika tersiar identitasnya.

Tonton Video Kuliah Memeriksa Isi Media

Usai menjalankan segala prosedur tadi, artinya kita sudah memeriksa informasinya, dan jika kita dapat mempercayainya, apakah itu berarti bisa langsung menyebarkan informasi itu?  Eit, tunggu dulu, sabar, sebelum menyebarkan kembali kepada orang lain, masih ada langkah lanjutan, yaitu ajukan pertanyaan berikut :

1. Apakah informasi ini tidak sulit dipahami oleh semua kalangan?

2. Apakah informasi ini akan berpengaruh pada keselamatan orang banyak?

3. Apakah informasi ini dapat memperkuat ikatan keluarga, warga, bangsa dan negara?

4. Apakah informasi ini menarik bagi orang lain?

5. Apakah Anda siap mempertanggungjawabkan informasi yang disebarkan itu?

Jika pertanyaan-pertanyaan itu tidak sangggup dijawab, maka batalkan niat untuk menyebarkan informasi itu meski sudah anda periksa kredibilitas dan kebenaran informasinya.

Penutup

Andai saja semua langkah di atas dilaksanakan oleh kita, yakinlah, kabar bohong, informasi palsu, hoaks, akana berkurang drastis. Karena memproduksi informasi dan memeriksa informasi sebenarnya bukanlah pekerjaan mudah. Tanggungjawabnya berat. Maka THINK before SHARING. SARING sebelum SHARING.

Oya faktanya, menurut riset Mastel 2019, masyarakat tidak melakukan langkah-langkah pemeriksaan informasi sebelum menyebarkannya kembali, karena menerima informasi dari orang yang dipercaya (keluarga/teman/ustadz) sebagai "tidak mungkin bohong". Iya kan? masa iya orang tua, paman, teman sekolah dulu, bahkan ustadz, nyebar hoaks sih? Lagian isinya bagus dan saya percaya kok.. cukuplah ga usah diperiksa-periksa segala.. Begitu kira-kira alasan netijen kebanyakan di Indonesia.

CMIIW. 

Wallahualam.