08 Mei 2018

KPI Pusat Representasi Pasar atau Daulah Publik ?


Penulis : Nursyawal (Kelompok Diskusi Media dan Jurnalistik, Sakola Nusa, di Stikom Bandung)
Twitter : @Mang_SawaL

Menurut keterangan lembaga pemeringkat khalayak media massa satu-satunya di Indonesia, yaitu Nielsen, jumlah Kepala Keluarga Indonesia yang mengaku memiliki pesawat televisi di rumahnya (household using tv-HUT), mencapai lebih dari 40 juta. Jika rata-rata jumlah anggota keluarga mencapai 4 orang, maka dapat diperkirakan jumlah penonton televisi di Indonesia mencapai lebih dari 160 juta jiwa. Alias lebih 3/5 penduduk Indonesia adalah penonton televisi.

Data itu bisa dibaca dari dua sisi. Dari sisi kaum yang percaya kedigdayaan media, maka pengaruh televisi terhadap masyarakat nampak begitu besar. Dari sisi kaum yang percaya kemerdekaan individu, maka khalayak sebesar itu lebih pantas untuk ditanyai keinginannya masing-masing terhadap isi media.

Namun itu adalah dua sisi teoritis. Dalam kenyataan, khalayak media hanyalah penonton lapar hiburan yang menggelitik saraf-saraf indera mereka setiap hari. Penonton yang maunya hanya menghibur diri hingga mati dalam keadaan tertawa, seperti kata Neil Postman. Bagi produsen barang dan jasa, penonton hanya diingat dalam angka-angka statistik seperti dalam pembukaan tulisan ini. Sebagai konsumen yang siap digiring ke kiri ke kanan untuk terus mengonsumsi apapun yang ditawarkan melalui iklan.

Lalu apakah penonton merdeka terhadap isi media? Hanya terbukti di media sosial. Di media penyiaran, kenyataan tidaklah demikian. Penonton nampak pasif dalam menentukan isi media yang mereka inginkan. Keluhan yang diterima KPI Pusat atas isi siaran hanyalah ribuan sms. Tidak pula nampak upaya nyata penonton untuk mempengaruhi isi media penyiaran. Akibatnya, produser acara media penyiaran hanya menggunakan “suara khalayak” dari lembaga pemeringkat khalayak satu-satunya, yaitu Nielsen, dengan sekitar 10 ribu responden untuk mewakili aspirasi 160 juta penonton.

Karena itu, dapat dipahami, jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mencoba memfasilitasi pengumpulan aspirasi penonton terhadap isi siaran dengan menyebar semacam pengumuman yang berjudul “Uji Publik Perpanjangan Ijin Penyelenggara Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Televisi Induk Jaringan” sejak pertengahan Januari 2016 lalu. Niatnya barangkali ingin memperlihatkan daulat publik atas industri penyiaran. Apalagi dalam pengumuman itu disebut juga “uji publik” dibuat dalam rangka merespon permohonan perpanjangan ijin dari 10 televisi swasta Jakarta yang selama ini mendapat “kemudahan” untuk siaran nasional. Niat mulia yang patut didukung dan dihargai. Walaupun pada kenyataannya tidaklah seperti itu.

Bagi sebagian kalangan yang memahami perundang-undangan bidang penyiaran, pengumuman itu malah mendatangkan sejumlah pertanyaan. Di antaranya :

1. Pemakaian istilah Ijin Penyelenggara Penyiaran (IPP) Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Televisi Induk Jaringan memberi “kesan adanya jenis IPP lain di luar IPP yang diatur UU32/2002 yang hanya mengenal IPP untuk LPS Jasa Penyiaran Televisi. Sekaligus, memberi "kesan" IPP itu bisa dipakai untuk bersiaran dalam sistem siaran jaringan (SSJ), padahal UU32/2002 mengatur proses permohonan IPP dan persetujuan SSJ dalam prosedur terpisah.

2. Pengumuman ini juga memberi "kesan", KPI Pusat adalah satu-satunya lembaga negara yang melayani perijinan infrastruktur penyiaran untuk Televisi yang menjadi Induk Jaringan dan mengambil alih/membatasi kewenangan KPI Daerah. Padahal tidak ditemukan dokumen peraturan KPI yang menyebut sistem pelayanan bidang infrastrktur KPI seperti itu. Atau jangan-jangan selama ini KPI bekerja dengan cara itu, tanpa peraturan baku dalam bidang infrastruktur, sejak menerima proposal hingga FRB, yakni KPI Pusat adalah representasi KPI, dan KPI Daerah hanya underbow. Secara prinsip, cara kerja seperti itu, merupakan cermin sikap sentralisasi sementara UU32/2002 malah mendorong demokratisasi penyiaran dan membuka akses terhadap masyarakat lokal untuk menyalurkan aspirasinya terhadap penyiaran. Lagipula, SSJ tidak berkaitan dengan IPP, dan cukup memperoleh persetujuan Menkominfo tanpa perlu uji publik.

3. Karena dalam pengumuman itu terdapat daftar nama 10 badan hukum pemohon ijin yang seluruhnya berada di Jakarta, maka publik akan bertanya tentang tugas dan kewenangan KPI Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Karena secara prinsip, meski sistem penyiaran mengenal siaran lokal dan siaran berjaringan, IPP diberikan kepada badan hukum pemohon IPP untuk jasa penyiaran televisi yang di dalam proposal permohonan IPP-nya mencantumkan salah satunya wilayah layanan yang ingin dilayani, dan wilayah layanan ini tidak bersifat nasional, juga regional, melainkan lokal. Jika KPI DKI Jakarta disebut hanya melayani televisi lokal, pertanyaan berikutnya, apakah ada televisi swasta di DKI Jakarta yang bukan TV Lokal?

4. Sekali lagi, patut diapresiasi upaya KPI Pusat melakukan uji publik dalam proses pelayanan perijinan televisi swasta. Mungkin ingin menegaskan posisi KPI yang merupakan wadah aspirasi masyarakat dalam penyiaran. Namun harus dijelaskan pada publik, apakah permintaan publik itu mengikat KPI Pusat pada saat menerbitkan surat rekomendasi kelayakan, terutama jika publik meminta agar permohonan ijin televisi swasta tertentu ditolak. Apalagi pada akhir tahun 2014, KPI Pusat telah menerbitkan surat rekomendasi kepada Menkominfo agar mencabut IPP sejumlah TV swasta Jakarta yang disebut dalam pengumuman KPI Pusat, saat ini sedang memohon perpanjangan IPP. Semakin perlu dijelaskan, karena surat rekomendasi kelayakan dibuat KPI dengan tidak menambahkan variabel opini publik melainkan melalui proses eksklusif yang disebut Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dan skoring di KPI (yang variabel skoringnya tidak diatur oleh peraturan KPI dan tidak pula menyebut-nyebut variabel pendapat umum terhadap pemohon).

Singkat cerita, untuk apa pengumuman uji publik itu dibuat? Apakah untuk melegitimasi seolah-olah publik telah memberi mandat penuh pada KPI Pusat untuk memperpanjang IPP mereka? Karena publik sudah cukup bersuara terhadap LPS Jasa Penyiaran Televisi Jakarta itu, bahkan melalui Survey Persepsi Penonton yang dibuat oleh KPI Pusat sendiri, serta sudah ada sanksi tertinggi yang diputuskan oleh KPI Pusat, yaitu, cabut IPP mereka dan serahkan kepada pemohon yang sanggup menyediakan isi siaran yang sesuai arah, tujuan dan azas penyiaran nasional yang diwajibkan Undang-undang Penyiaran.