19 November 2018

Keterbukaan Informasi Tingkatkan Partisipasi Warga

Foto Pelatihan Jurnalisme Data di Bandung
Artikel opini ini dibuat untuk opendata.org dalam kerangka Open Contracting Expo di Bandung, 22 November 2018

Belum lama ini, Indonesia dihebohkan oleh laporan utama majalah Tempo yang dibuat oleh Indonesia Leaks mengenai dugaan penghilangan barang bukti oleh oknum aparat penegak hukum. Laporan ini dikerjakan oleh lebih dari 5 orang jurnalis selama beberapa minggu dan menganalisis ratusan lembar dokumen serta ratusan menit rekaman video. Laporan ini disebut sebagai laporan investigasi berbasis data besar (big data driven journalism). Sebuah praktik jurnalistik yang masih baru di Indonesia.

Dalam kajian Ilmu Jurnalistik, terdapat banyak praktik peliputan baru yang menjadi wacana jurnalistik. Salah satunya adalah Jurnalistik Data, yaitu praktik peliputan berita berbasis data dalam jumlah besar, baik dari segi rentang waktu maupun rentang substansi. Walaupun istilah jurnalisme data masih dalam perdebatan, karena prinsipnya, kerja jurnalistik wajib hukumnya berdasarkan data, namun praktik jurnalistik data biasanya tampil berbeda dengan liputan lain. Pada wacana ini, dalam liputannya  selalu tersedia, atau melulu, tabel atau infografik sebagai hasil analisis data berupa angka-angka yang kemudian dinarasikan atau divisualisasi dalam bentuk gambar atau animasi. Berbeda dengan model liputan lain, jurnalisme data berbasis bukti dokumen (bisa kumpulan angka, audio, gambar, teks) yang sulit dibantah, sementara liputan lain lebih banyak bertumpu pada pengakuan atau pernyataan narasumber yang bisa jadi saling berbantahan.

Sejumlah pelatihan tentang teknik liputan berbasis data besar makin sering dilakukan, setidaknya oleh organisasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ini dilakukan agar jurnalis anggota AJI terus bertambah keterampilannya. Termasuk pelatihan yang berlangsung belum lama ini di Kota Bandung beberapa waktu lalu. Sejumlah jurnalis dari sejumlah kota di Propinsi Jawa Barat, berkumpul untuk belajar mencari data, mengolah, memverifikasi dan melaporkannya dalam bentuk wacana jurnalistik data. Kegiatan belajar ini difasilitasi oleh Open Data Labs Jakarta bersama AJI Kota Bandung, serta menghadirkan narasumber, sekaligus objek pembelajaran, dari BIRMS (Bandung Integrated Resources Management System) Kota Bandung.

Apa itu BIRMS
Peningkatan keterampilan jurnalis tentunya akan meningkatkan pula kompetensinya dalam mengemban tugas sebagai jembatan komunikasi antara negara dengan warganya serta fungsi pengawas kekuasaan. Namun berbeda dengan pelatihan lain, pelatihan ini sekaligus berupaya meningkatkan kualitas isi komunikasi publik negara melalui penyediaan akses dan kumpulan data terbuka yang lebih banyak. Karena dalam pelatihan ini secara khusus peserta pelatihan diminta untuk mencari data dari satu sumber yang sama, yaitu website BIRMS. Sebuah portal informasi yang mengumpulkan data-data pengadaan barang/jasa melalui lelang atau penunjukan langsung, volume APBD, serta rencana pembangunan.

Pada peresmian BIRMS 5 tahun lalu (2013), pemerintah kota menyebut, portal ini nantinya akan mengelola sumber daya pemerintahan yang terintegrasi dalam aktifitas birokrasi dari hulu hingga hilir dengan memanfaatkan IT dalam rangka menunjang tata kelola pemerintahan yang baik, efisien, efektif, transparan, akuntabel dan tertib administrasi. Melalui portal ini  pengelola kota bisa melihat dan mengontrol kinerja keuangan dengan lebih baik melalui integrasi data keuangan. Selain itu akan terjadi peningkatan produktivitas, penurunan inefisiensi dan peningkatan kualitas pekerjaan karena ada standarisasi prosedur operasi. Selanjutnya akan terwujud standarisasi data dan informasi, melalui keseragaman pelaporan dari beberapa unit kerja, serta peningkatan service level, peningkatan kontrol keuangan, dam penurunan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi.

Ada sejumlah content atau aplikasi yang bisa dimanfaatkan para pengakses BIRMS melalui www.birms.bandung.go.id. Namun pada saat para jurnalis peserta pelatihan Open Data Labs, mencoba mengakses sejumlah aplikasi, ternyata datanya tidak baru (tidak aktual), tidak rinci, bahkan tidak terbuka. Kebutuhan data seorang jurnalis bisa jadi berbeda dengan kebutuhan warga biasa. Karenanya, untuk memenuhi perbedaan kebutuhan tersebut, BIRMS sebaiknya menyediakan minimal 2 jenis tampilan data. Yang pertama untuk kelompok ahli (expert) dan kedua untuk kelompok awam (common citizen). Jurnalis masuk ke dalam kelompok pertama yang lapar akan data, sehingga sumber data yang tidak dapat membuatnya kenyang, tidak akan dikunjungi. Sementara warga sebagai pihak awam membutuhkan data yang telah diolah menjadi informasi yang sederhana, mudah dicerna serta atraktif. Jika ingin mengikuti jaman, maka informasi itu juga hendaknya interaktif. Dua bentuk tampilan itu belum ditemukan dalam BIRMS Kota Bandung.

Keterbukaan Data
Selain kendala akses, situs BIRMS saat diakses pada Bulan Oktober 2018 lalu, juga belum ramah bagi pengguna smartphone karena lebar layar yang fixed. Tipe file dari data pada jendela tertentu di BIRMS yang dapat diunduh pun tidak dapat dengan mudah dibaca oleh aplikasi yang terpasang di smartphone karena file tersebut hanya bisa dibuka menggunakan aplikasi Excel dari Microsoft Office. Sementara bagi kalangan peneliti atau jurnalis, tipe file atau jenis data bukanlah masalah, namun keterhandalan datalah yang menjadi perhatian. Tidak semua data ternyata diunggah dengan format pelaporan (data sheet) yang sama sehingga ketika data diunduh dan diolah (scrapping), data menjadi tidak bermakna karena tidak terbaca kecuali dikonfirmasi kepada operator pengunggah. Artinya, bagi jurnalis, data yang ada tidak ada nilainya, karena tetap saja harus mengajukan permohonan informasi publik kepada pemilik data. Secara prinsip, kondisi ini masih belum dapat disebut “telah terbuka”, apalagi jika disebut “telah akuntabel”. Karena akuntabilitas datang selain dari reliabilitas dan validitas data yang tersedia, juga adanya kemudahan dalam pemaknaan terhadap data sehingga apa yang disampaikan dapat dipahami dan dimengerti publik.

Dalam kaidah komunikasi, data harus dapat menjadi informasi yang membangun pengetahuan sehingga penerima pesan dapat membangun makna yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Jika kaidah itu tidak terpenuhi, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu miskomunikasi, disfungsi komunikasi, atau nirkomunikasi. Miskomunikasi yaitu terbangunnya pemahaman yang tidak utuh setelah aliran pesan bergerak. Dampaknya adalah perilaku yang salah akibat pengetahuan yang tidak utuh pada penerima pesan. Contohnya, pembuat video viral tentang bubuk kopi yang terbakar. Pembuat video memiliki pengetahuan tentang bubuk kopi yang jika disebar ke udara lalu dipantik api akan terbakar, tapi yang bersangkutan tidak paham bahwa itu adalah reaksi alamiah yang akan terjadi pada setiap bubuk kering, seperti tepung. Akibat pengetahuan yang tidak utuh, si pembuat video menjadi penyebar pengetahuan yang salah pula. Disfungsi komunikasi adalah terjadinya pemahaman yang sebaliknya dari apa yang diharapkan setelah aliran pesan bergerak. Seperti pada kasus viralnya video bubuk kopi yang dibakar, masyarakat yang menerima video dan memiliki pengetahuan yang tidak utuh, akan menyebarkan video tadi dengan pemahaman yang salah pula. Akibatnya, muncullah pendapat umum yang menyebut "kopi berbahaya". Pengetahuan kolektif yang salah itu disebut disfungsi komunikasi, karena komunikasi seharusnya berfungsi sebagai pengawas lingkungan (suveillance of the environment), penyambung generasi (correlation between generation), penyebar nilai dan budaya (transmission of culture). Ketika masyarakat menjadi penyebar hoax, maka terjadilah disfungsi komunikasi. Terakhir, nirkomunikasi terjadi ketika pesan sudah bergerak namun tidak ada dampak apapun. Tindakan komunikasi publik menjadi usaha yang sia-sia. Padahal dalam konteks negara, komunikasi publik adalah kegiatan yang dibiayai oleh anggaran negara dan seharusnya tidak boleh ada tindakan yang tidak ada hasilnya.

Data dan Partisipasi Warga
Dalam kajian perencanaan pembangunan, dikenal model "8 anak tangga partisipasi warga" dari Sherry R. Arstein. Model ini menggambarkan bagaimana pola penyebaran informasi membangun peran aktif masyarakat. Tangga pertama adalah ketika informasi tidak dibagi dan hanya milik elit, maka masyarakat akan sulit berperan dan cenderung menjadi beban pembangunan. Tangga terakhir adalah ketika informasi disebar dan masyarakat memperoleh rentang kendali tertentu dalam perencanaan pembangunan, maka masyarakat cenderung berperan aktif dalam perencanaan, pengendalian dan pengawasan pembangunan.

Dengan perspektif itu, pemerintah sewajarnya juga mulai mengubah model komunikasi publiknya, mengikutsertakan jurnalis sebagai salah satu kanalnya, dan menyempurnakan saluran komunikasi publik yang dikelolanya sendiri, seperti portal BIRMS, dan lain-lain. Dalam negara demokrasi, data adalah instrumen penting agar warga dapat berperan produktif dalam setiap jenjang pembangunan.