30 Juni 2020

Komunikasi Publik Negara Harus Berubah, Kala Wabah Melanda

Nursyawal, S.Sos., M.I.Kom.

Dosen Jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung

Pendahuluan
Warga negara Indonesia selama 4 tahun terakhir, makin menjadi pemurung, tidak bahagia. Itu kata lembaga survey multinasional Gallup yang menerbitkan World Happiness Report tahun 2018 lalu. Gara-garanya, tingginya kecemburuan sosial, tingginya ketegangan sosial, dan tidak adanya kepastian masa depan. Jika dibaca lebih rinci dalam penjelasan hasil surveynya, sumber gejala negatif tersebut di antaranya adalah hoax. Mungkin jika ada survey baru, wabah covid19 bisa juga menjadi faktor tambahan.

Banyak riset menunjukkan, masyarakat yang gembira adalah masyarakat yang terdiri dari individu yang optimis. Masyarakat optimis cenderung hidup sehat dan produktif serta berumur lebih panjang. Sementara masyarakat yang pesimis cenderung mudah terserang penyakit dan berumur pendek. Sebuah publikasi tahun 2016 di Jurnal BMC Public Health, tentang hasil riset selama 11 tahun di Rumah Sakit Paijat-Hame, Finnlandia, terhadap 2.267 manusia usia paruh baya dan usia lanjut, menunjukkan adanya hubungan tidak langsung antara sikap pesimisme dengan serangan jantung. Orang-orang pesimis cenderung mudah mengalami serangan jantung. Studi Universitas Harvard yang terpublikasi pada American Journal of Epidemiology, Issue 1, Januari 2017, mengungkap, ada kecenderungan hubungan sebab akibat antara pesimisme dengan jumlah informasi negatif yang diterima.

Jika disederhanakan, paparan informasi negatif berpengaruh pada pesimisme, pesimisme berpengaruh pada serangan jantung. Ijinkan saya dengan gegabah menyederhanakan lebih lanjut, hoax mengakibatkan serangan jantung, bukan hanya merokok. Nah.

Hoax
Tahun 2018 lalu, Komisi Eropa mempublikasikan hasil elaborasi dari sejumlah jurnalis di seluruh dunia untuk memetakan modus operandi hoax. Menurut laporan Komisi Eropa itu, hoax adalah informasi yang tidak ada dasarnya alias informasi fiktif. Karangan. Tidak ada peristiwanya, tidak ada buktinya, tidak ada saksinya, tidak ada datanya. Semua karangan. Seperti Novel atau Cerpen. Jika merujuk pada kategori ini maka gurauan atau satire untuk tujuan komedi juga adalah hoax.

Informasi fiktif bukanlah gejala baru, sejak awal peradaban manusia, banyak manusia senang mengarang informasi. Bahkan ada yang nekad jadi Nabi palsu. Karena informasi, apalagi jika itu berkaitan dengan masa depan, termasuk kehidupan sesudah mati, adalah sumber kekuasaan. Namun, manusia sudah agak cerdas menghadapi kepalsuan. Cepat ketahuan. Jadi kita bisa bernapas lega.

Karenanya Komisi Eropa menyebut ada yang lebih berbahaya dari cerita bohong dan akhirnya menjadi fokus laporannya, yaitu, berita asli tapi palsu atau disinformasi. Yaitu beragam fabrikasi (rekayasa) informasi menggunakan peristiwa nyata, atau data-data yang ada, namun dengan sengaja diletakkan dalam konteks yang berbeda, atau datanya dicampuraduk dengan peristiwa yang berbeda, atau bahkan menggunakan teknologi untuk menciptakan diskursus (perdebatan) di tengah masyarakat yang memunculkan ketidakpastian, keraguan bahkan pertengkaran keluarga dan perpecahan sosial. Ini jenis hoax yang berbeda.

Kita langsung tercengang melihat video sejumlah orang dengan seragam dari sebuah lembaga negara, membakar kue kering juga bubuk kopi, dan kita langsung menempelkan merek dagang di video itu dalam ingatan lalu memutuskan tidak akan membelinya karena berbahaya. Padahal selama ini banyak bahan pangan yang dengan mudah dibakar atau terbakar, bahkan ketika mengolahnya, juga dibakar di depan mata kita dan kita tidak keberatan melahapnya sampai habis. Di situlah bahayanya informasi sesat. Ia nampak meyakinkan sehingga menjadi benar, pikiran kita tidak lagi kritis, tersihir.

Dalam buku pelatihan Jurnalisme, “Berita Palsu dan Disinformasi” terbitan UNESCO (2019) diungkap, sebuah studi mutakhir yang dilakukan oleh tim riset Massachusetts Institute of Technology tahun 2018 menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan yang benar, berita palsu terbukti lebih awet umurnya, lebih jauh dan luas jangkauannya, lebih cepat perjalanannya mencapai publik, serta lebih mendalam efeknya terhadap masyarakat luas. Tim peneliti MIT yang terdiri para insinyur tersebut melacak jejak digital dan membandingkan karakter digital dan persebaran kedua jenis berita tersebut, yang benar maupun yang palsu dalam studi tersebut.

Kembali ke laporan Komisi Eropa, di sana juga dikemukakan keprihatinan pada berita yang tidak akurat dalam penulisan fakta-data, penggunaan judul berita sensasional yang bertujuan mengundang click, atau berita dengan frame/bingkai tertentu (bisa bertujuan pro-publik, bisa pro-elite). Tapi berita semacam itu tidak berdampak besar dan luas tinimbang berita asli tapi palsu. Meski sejarah tidak boleh salah tulis, tetapi lebih penting, sejarah harus berisi peristiwa yang benar-benar terjadi dengan fakta dan data yang dicatat akurat.

Melawan hoax = melawan pesimisme
Berita asli tapi palsu menjadi amat berbahaya karena itu menggerus kepercayaan masyarakat terhadap segala informasi dari berbagai sumbernya dan menyebabkan disonansi kognitif yang akhirnya membuat pesimis. Warga tidak hanya berhak atas informasi dan berhak untuk tahu saja, tetapi berhak atas kebenaran dan kesahihan informasi.
Komisi Eropa, belajar dari pemilu AS dan referendum Inggris dalam isu Brexit, mengusulkan agar ada upaya terstruktur, sistematis dan masif dalam melawan hoax melalui 5 strategi :
1. Keterbukaan informasi
2. Literasi warga
3. Libatkan jurnalis yang disiplin dalam verifikasi
4. Pelihara ekosistem media yang sehat
5. Pemantauan disinformasi

Membuka akses informasi seluas-luasnya, efektif melawan informasi palsu atau informasi sesat. Menyediakan sarana yang mudah (user friendly) dalam mengakses informasi dapat menangkal peredaran informasi sesat. Tentunya, hal itu harus dibarengi peningkatan literasi (melek) informasi dan media pada warga. Keterampilan untuk mencari informasi dan mengonsumsi informasi perlu dimiliki warga, termasuk keterampilan untuk memilih dan mencerna isi media. Karena warga yang tidak melek (illiterate) meski disediakan akses dan kemudahan, tidak akan berperan. Pun berperan, cenderung tidak produktif. Alih-alih malah jadi produsen hoax atau pendengung hoax.

Selanjutnya negara melalui kewenangannya dapat ikut memelihara ekosistem media agar tidak terjadi monopoli kepemilikan media serta oligopoli pasar media. Ada lembaga negara yang dapat dilibatkan seperti KPI dan Dewan Pers atau KPPU, selain jajaran kementerian terkait. Media harus diperkuat untuk dapat menjalankan komitmen untuk selalu menyebarkan informasi terverifikasi dan ikut serta dalam barisan fact-checker dunia. Model penyediaan anggaran untuk melatih jurnalis atau penempatan iklan layanan masyarkat yang besar dapat ditiru. Negara juga bisa memilih mitra dalam penyebaran informasi yang dikelola PPID dengan tidak melayani jurnalis yang tidak berkomitmen dengan kode etik jurnalistik dan bekerja di perusahaan media yang tidak mau menjalankan UU No.40/1999 tentang Pers. Sekaligus melatih PPID dalam diseminasi informasi publik.

Terakhir, negara memiliki kuasa untuk mengawasi peredaran disinformasi dengan memperkuat dasar hukum yang tetap melindungi hak-hak privasi warga negara serta kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat di muka umum dan kebebasan pers ketika ada tindakan hukum atas peredaran disinformasi. Teknologi dan metode pemantauan disinformasi melalui jaringan internet sudah amat berkembang sehingga peredaran sebenarnya dalam waktu singkat dapat ditindak. Seperti tertuang dalam amar putusan PTUN Jakarta awal Bulan Juni 2020 lalu, dalam kasus pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat, negara tidak boleh menutup akses tapi memiliki tugas mengawasi konten internet untuk alasan tertentu.

Peran Juru Bicara Negara
Saat ini, aparatus negara RI ikut berperan dalam melawan hoax pada seluruh strategi yang ditawarkan Komisi Eropa. Melalui serangkaian peraturan perundang-undangan, seperti, UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PP 61/2010 tentang Pelaksanaan UU No.14/2008, Permenkominfo No.17/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika, PMA No.2/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi di Mahkamah Agung, PerKI No.1/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, PerKI No.1/2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik, dst.

Dalam praktiknya, ada banyak alat bantu untuk mengetahui di mana posisi juru bicara negara dalam konteks komunikasi publik negara. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan adalah Model Grunig dan Hunt, yang memberikan 4 (empat) model peran dalam pengelolaan komunikasi publik negara dengan warganya (Grunig dan Hunt, 1984). Yaitu:
1. Press agent/publicity
2. Public information
3. Two-way asymmetrical
4. Two-way symmetrical

Model no.1 menunjukkan aktivitas juru bicara negara baru sebatas sebagai petugas dokumentasi dan publikasi, sibuk menemani pimpinan dan mencatat pernyataan dan kegiatannya, lalu membuat press release.

Model no.2 menunjukkan aktivitas juru bicara negara yang mulai banyak menyebarkan informasi satu arah sesuai kalender kegiatan organisasinya sendiri

Model no.3 menunjukkan aktivitas juru bicara negara yang sudah menyiapkan informasi secara terbuka dengan akses yang mudah namun tidak dapat menjawab pertanyaan lanjutan karena berbagai alasan. Akibatnya, untuk menghindari datangnya pertanyaan lanjutan, informasi yang dibuka kepada publik adalah informasi permukaan yang amat terbatas bahkan ambigu. Pendekatan komunikasinya sudah persuasif.

Model no.4 menunjukkan aktifitas juru bicara negara yang menyiapkan informasi yang lengkap dengan berbagai tingkatan kedalaman dan infrastruktur yang memudahkan untuk mengaksesnya serta siap berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk menjawab pertanyaan lanjutan. Pendekatan komunikasinya sudah interaktif, mutualistik, dan berjangka panjang.

Di mana posisi para juru bicara negara di berbagai level organisasi pemerintahan dalam banyak persoalan bangsa ini, bisa dilihat dengan model tersebut. Apakah aparatur negara sudah berperan dalam membangun optimisme ? Silakan bercermin.

Penutup
Peradaban masyarakat dunia terus berkembang. Setelah melewati peradaban berburu, bertani, industri dan informasi, masyarakat dunia kini memasuki peradaban ke-5, sering disebut society 5.0, yang berpusat pada kenyamanan hidup individu. Berbasis AI (artificial intelligence) dan big data, teknologi berkembang sedemikian rupa sehingga antara satu teknologi dengan teknologi lain sanggup tersambung dengan tingkat akurasi tinggi. Microwave terhubung dengan Kulkas serta Toko daring, robot pembersih lantai dengan server di rumah, dashboard mobil dengan handphone dan aplikasi peta di jaringan internet, gelang tangan pintar yang akan memberi peringatan dini ancaman kesehatan pemakainya dan lalu menghubungi aplikasi chat dengan dokter, robot juga kini mulai menggantikan manusia dalam membuat jenis berita tertentu, dst.

Peradaban masyarakat ke-5 ini menantang kita yang masih menyimpan data di buku tulis serta memakai handphone hanya untuk SMS. Atau memakai cangkul untuk mengolah sawah. Peradaban ke-5 menawarkan efisiensi dan akselerasi, serta kepraktisan gaya hidup masyarakat. Di situlah para aparatus negara bermain dan jika tidak mau ikutan, kemungkinan dipinggirkan dari lapangan.

Menguasai teknologi serta berbagai aplikasi untuk menjangkau publik sudah harus menjadi keterampilan juru bicara negara (praktisi government PR), selain memelihara hubungan tradisional dengan media dan awak medianya. Pemberdayaan masyarakat juga harus menjadi kegiatan rutin kementerian dan lembaga negara untuk meningkatkan keberhasilan dan keberlanjutan proker. Pemberdayaan masyarakat lebih murah dari segi biaya daripada menyusun legislasi baru karena dengan pemberdayaan, elemen masyarakat dapat menjadi mata dan telinga aparatus negara di lapangan, terutama dalam situasi krisis (Lee, 2012). Untuk itu, pelatihan untuk meningkatkan kapasitas juru bicara negara dalam berkomunikasi dengan masyarakat amatlah penting. Konsolidasi pesan dalam penyebaran informasi juga akan menangkal hoax, karena ketidakpastian memberi ruang bagi pihak-pihak yang ingin berbuat kacau.

Penulis sendiri bukan peramal yang sanggup menggambarkan bagaimana hidup 100 tahun ke depan. Besok saja tidak tahu pasti. Meski Microsoft sudah banyak membuat ramalan-ramalan sejak dekade lalu, termasuk ramalan tentang wabah penyakit dengan menggunakan big data. Buku paririmbon kata orang tua jaman dulu. Prosesnya, dari sekian banyak informasi sejarah yang tercatat secara akurat, mesin pintar membangun model dan pola, lalu meramal kemungkinan-kemungkinan. Begitulah cara kerja ramalan jaman sekarang. Namun yang penulis tahu, masa depan tidak akan sama dengan masa lalu dan masa kini. Komunikasi negara dengan warganya akan berubah, begitu pula aparatusnya. Tidak sekedar pencipta perintah, melainkan pencipta optimisme. Pencipta kebahagiaan. Bukan penebar ketakutan. Bukankah kebahagiaan dapat meningkatkan daya tahan tubuh melawan virus?




Referensi
EU Commision, 2018, A multi-dimensional approach to disinformation; Report of the independent High-level Group on fake news and online disinformation, EU Commision

Gallup, 2018, World Happiness Report

Kim, Eric S., et. al., 2017, Optimism and Cause-Specific Mortality: A Prospective Cohort Study, American Journal of Epidemiology, Volume 185, Issue 1, 1 January 2017, Pages 21–29, https://doi.org/10.1093/aje/kww182

Lee, Mordecai, et. al., 2012, The Practice of Government Public Relations, CRC Press

Pänkäläinen, M., et al. 2016, Pessimism and risk of death from coronary heart disease among middle-aged and older Finns: an eleven-year follow-up study, BMC Public Health 16, 1124, doi:10.1186/s12889-016-3764-8

Wendratama, 2019, Jurnalisme, “Berita Palsu”, & Disinformasi, UNESCO