Penulis :
Nursyawal (Kelompok Diskusi Media dan Jurnalistik, Sakola Nusa, di Stikom
Bandung)
Twitter : @Mang_SawaL
Menurut keterangan lembaga pemeringkat khalayak media massa
satu-satunya di Indonesia, yaitu Nielsen, jumlah Kepala Keluarga Indonesia yang
mengaku memiliki pesawat televisi di rumahnya (household using tv-HUT),
mencapai lebih dari 40 juta. Jika rata-rata jumlah anggota keluarga mencapai 4
orang, maka dapat diperkirakan jumlah penonton televisi di Indonesia mencapai
lebih dari 160 juta jiwa. Alias lebih 3/5 penduduk Indonesia adalah penonton
televisi.
Data itu bisa
dibaca dari dua sisi. Dari sisi kaum yang percaya kedigdayaan media, maka
pengaruh televisi terhadap masyarakat nampak begitu besar. Dari sisi kaum yang
percaya kemerdekaan individu, maka khalayak sebesar itu lebih pantas untuk
ditanyai keinginannya masing-masing terhadap isi media.
Namun itu adalah
dua sisi teoritis. Dalam kenyataan, khalayak media hanyalah penonton lapar
hiburan yang menggelitik saraf-saraf indera mereka setiap hari. Penonton yang
maunya hanya menghibur diri hingga mati dalam keadaan tertawa, seperti kata
Neil Postman. Bagi produsen barang dan jasa, penonton hanya diingat dalam
angka-angka statistik seperti dalam pembukaan tulisan ini. Sebagai konsumen
yang siap digiring ke kiri ke kanan untuk terus mengonsumsi apapun yang
ditawarkan melalui iklan.
Lalu apakah
penonton merdeka terhadap isi media? Hanya terbukti di media sosial. Di media
penyiaran, kenyataan tidaklah demikian. Penonton nampak pasif dalam menentukan
isi media yang mereka inginkan. Keluhan yang diterima KPI Pusat atas isi siaran
hanyalah ribuan sms. Tidak pula nampak upaya nyata penonton untuk mempengaruhi
isi media penyiaran. Akibatnya, produser acara media penyiaran hanya menggunakan
“suara khalayak” dari lembaga pemeringkat khalayak satu-satunya, yaitu Nielsen,
dengan sekitar 10 ribu responden untuk mewakili aspirasi 160 juta penonton.
Karena itu, dapat
dipahami, jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mencoba memfasilitasi pengumpulan
aspirasi penonton terhadap isi siaran dengan menyebar semacam pengumuman yang
berjudul “Uji Publik Perpanjangan Ijin Penyelenggara Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta
Televisi Induk Jaringan” sejak
pertengahan Januari 2016 lalu. Niatnya barangkali ingin memperlihatkan daulat publik
atas industri penyiaran. Apalagi dalam pengumuman itu disebut juga “uji publik”
dibuat dalam rangka merespon permohonan perpanjangan ijin dari 10 televisi
swasta Jakarta yang selama ini mendapat “kemudahan” untuk siaran nasional. Niat
mulia yang patut didukung dan dihargai. Walaupun pada kenyataannya tidaklah
seperti itu.
Bagi sebagian
kalangan yang memahami perundang-undangan bidang penyiaran, pengumuman itu malah
mendatangkan sejumlah pertanyaan. Di antaranya :
1. Pemakaian istilah
“Ijin Penyelenggara Penyiaran (IPP) Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Televisi Induk Jaringan” memberi “kesan” adanya jenis IPP lain di luar IPP
yang diatur UU32/2002 yang hanya mengenal IPP untuk LPS Jasa Penyiaran
Televisi. Sekaligus, memberi "kesan" IPP itu bisa dipakai untuk
bersiaran dalam sistem siaran jaringan (SSJ), padahal UU32/2002 mengatur proses permohonan IPP dan
persetujuan SSJ dalam prosedur terpisah.
2. Pengumuman ini juga memberi "kesan", KPI Pusat
adalah satu-satunya lembaga
negara yang melayani perijinan infrastruktur penyiaran untuk Televisi yang
menjadi Induk Jaringan dan mengambil alih/membatasi kewenangan KPI Daerah.
Padahal tidak ditemukan dokumen peraturan KPI yang menyebut sistem pelayanan
bidang infrastrktur KPI seperti
itu. Atau jangan-jangan selama ini KPI bekerja dengan cara itu, tanpa peraturan
baku dalam bidang infrastruktur, sejak menerima proposal hingga FRB, yakni KPI
Pusat adalah representasi KPI, dan KPI Daerah hanya underbow. Secara prinsip, cara kerja seperti itu, merupakan cermin
sikap sentralisasi sementara UU32/2002 malah mendorong demokratisasi penyiaran
dan membuka akses terhadap masyarakat lokal untuk menyalurkan aspirasinya terhadap
penyiaran. Lagipula, SSJ tidak
berkaitan dengan IPP, dan cukup memperoleh persetujuan Menkominfo tanpa perlu
uji publik.
3. Karena dalam pengumuman itu terdapat daftar nama 10 badan
hukum pemohon ijin yang seluruhnya berada di Jakarta, maka publik akan bertanya tentang tugas dan kewenangan KPI Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Karena secara prinsip, meski sistem penyiaran mengenal siaran lokal dan siaran berjaringan, IPP
diberikan kepada badan hukum pemohon IPP untuk jasa penyiaran televisi yang di
dalam proposal permohonan IPP-nya
mencantumkan salah satunya wilayah layanan yang ingin dilayani, dan wilayah
layanan ini tidak bersifat nasional, juga regional, melainkan lokal. Jika KPI DKI Jakarta disebut hanya
melayani televisi lokal, pertanyaan
berikutnya, apakah ada televisi swasta di DKI Jakarta yang bukan TV
Lokal?
4. Sekali lagi, patut
diapresiasi upaya KPI Pusat melakukan uji publik dalam proses pelayanan
perijinan televisi swasta. Mungkin
ingin menegaskan posisi KPI yang merupakan wadah aspirasi masyarakat dalam
penyiaran. Namun harus dijelaskan pada publik, apakah permintaan publik
itu mengikat KPI Pusat pada saat menerbitkan surat rekomendasi kelayakan,
terutama jika publik meminta agar permohonan ijin televisi swasta tertentu
ditolak. Apalagi pada akhir tahun
2014, KPI Pusat telah menerbitkan surat rekomendasi kepada Menkominfo agar
mencabut IPP sejumlah TV swasta Jakarta yang disebut dalam pengumuman KPI
Pusat, saat ini sedang memohon perpanjangan IPP. Semakin perlu
dijelaskan, karena surat rekomendasi kelayakan dibuat KPI dengan tidak
menambahkan variabel opini publik melainkan melalui proses eksklusif yang disebut Evaluasi Dengar Pendapat (EDP)
dan skoring di KPI (yang variabel skoringnya tidak diatur oleh peraturan KPI
dan tidak pula menyebut-nyebut variabel pendapat umum terhadap pemohon).
Singkat cerita,
untuk apa pengumuman uji publik itu dibuat? Apakah untuk melegitimasi seolah-olah
publik telah memberi mandat penuh pada KPI Pusat untuk memperpanjang IPP mereka?
Karena publik sudah cukup bersuara terhadap LPS Jasa Penyiaran Televisi Jakarta
itu, bahkan melalui Survey Persepsi Penonton yang dibuat oleh KPI Pusat
sendiri, serta sudah ada sanksi tertinggi yang diputuskan oleh KPI Pusat, yaitu,
cabut IPP mereka dan serahkan kepada pemohon yang sanggup menyediakan isi
siaran yang sesuai arah, tujuan dan azas penyiaran nasional yang diwajibkan
Undang-undang Penyiaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar