23 Juli 2022

Setiap Orang Dewasa Ikut Bertanggungjawab Melindungi Anak

 

Press Release

Forum Diskusi Dosen Komunikasi Sakola Nusa - Stikom Bandung

(Bandung, 22-07-2022)

Dari hasil pemindaian linimassa media sosial, sebagian warga pengguna internet (netizen) menunjukkan sikap yang salah dalam menyikapi kasus wafatnya seorang anak di Tasikmalaya berusia 11 Tahun pada hari Minggu 17 Juli 2022 lalu, setelah mengalami perundungan (bully). Menurut keterangan pihak rumah sakit, almarhum didiagnosis suspek depresi yang menyebabkan neuropati serta komplikasi typhoid yang menyerang otak. Kasus ini sempat menjadi perbincangan ramai di platform Twitter selama beberapa jam di pagi hari pada Hari Jumat 22 Juli 2022 dengan kata kunci “anak SD”.

Menurut Dosen Komunikasi Stikom Bandung, Nursyawal, hasil pemindaian linimasa itu memperlihatkan kecenderungan umum netizen yang mengecam perundungan, bahkan sejumlah pejabat tinggi pun ikut berkomentar sama. Selain itu juga nampak sikap kebanyakan netizen memandang satu-satunya yang bersalah adalah pelaku perundungan dan meminta pihak penegak hukum memberikan hukuman yang setinggi-tingginya tanpa ampun serta meminta penegak hukum mengabaikan kenyataan bahwa pelaku adalah anak-anak.

Nursyawal memaklumi, sebagai orang tua, siapa yang tidak shock, ketika mendapatkan kabar bahwa almarhum sebelumnya dirundung sedemikian rupa dan dipermalukan melalui penyebaran video rekaman perundungan ke media sosial. Akibatnya almarhum selama seminggu mengurung diri di rumah, tidak mau makan dan minum, sebelum akhirnya hilang kesadaran dan dilarikan ke rumah sakit lalu wafat. Disebutkan pula, selama sekolah, almarhum kerap dirundung teman-teman sebaya karena mengalami keterlambatan dalam belajar serta fisik yang lemah.

“Dari fakta-fakta yang ada, sebetulnya pihak yang harusnya dimintai pertanggungjawaban adalah orang dewasa di sekitar anak-anak tersebut. Berdasarkan teori, anak-anak berperilaku melalui proses melihat dan meniru dari lingkungan sekitarnya. Kecenderungan perilaku anak-anak dipengaruhi lingkungan di sekitarnya. Termasuk oleh media. Sehingga sikap yang seharusnya diperlihatkan oleh netizen adalah meminta pertanggungjawaban dari orang dewasa dan bukan menghakimi anak-anak yang masih dalam masa belajar membangun kepribadiannya”, demikian papar Nursyawal.

Menghakimi anak sebagai satu-satunya pihak yang bertanggunjawab, akan mengaburkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak. Sebab kasus di Tasikmalaya itu, bukan kasus pertama. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama tahun 2021 teradapat 2.982 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 1.138 di antaranya adalah kasus kekerasan fisik dan 1.204 terkait kejahatan seksual atas anak. Melihat data ini, nampak jelas, betapa memprihatinkannya kualitas tanggungjawab orang dewasa di Indonesia dalam melindungi anak. Akar masalah dari tingginya kasus kekerasan terhadap anak adalah masyarakat yang belum menempatkan perlindungan anak sebagai hal penting.

Pengelola media pun ikut bertanggungjawab. Ada banyak kasus yang memperlihatkan isi media juga mendorong kekerasan terhadap anak atau memelihara sikap atau budaya yang tidak melindungi anak. Padahal berdasarkan hukum, pengelola media juga wajib melindungi anak dalam proses produksi maupun isi medianya.

Untuk itu, tema peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2022 ini, “anak terlindungi, negara maju”, relevan adanya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar