27 Juni 2025

Komunikasi Krisis Pemerintah : Studi Kasus Tambang Nikel di Kawasan Raja Ampat Papua

Penulis: Nursyawal (kandidat Doktor Ilmu Komunikasi UNISBA Bandung) 

Tema ini telah dipaparkan dalam kuliah umum pada kelas mata kuliah media dan komunikasi krisis di Program studi magister ilmu komunikasi Universitas Pancasila, 26 Juni 2025.

Latar Belakang: Luka di Surga Laut

            Pulau Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya, bukan sekadar gugusan karang dan pasir putih. Ia adalah bagian dari segitiga terumbu karang dunia, rumah bagi pari manta, paus sperma, dan ribuan spesies laut lainnya. Gugusan pulau di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dikenal sebagai bagian dari pusat keanekaragaman hayati laut dunia.  Namun, keindahan ini terancam sejak aktivitas tambang nikel oleh PT Gag Nikel kembali berjalan, pulau ini memicu kontroversi nasional dan menarik perhatian dunia.

            Awalnya Bulan Maret 2025, masyarakat adat menolak operasional tambanag Nikel di kawasan Raja Ampat. Aliansi masyarakat adat menyebut eksploitasi ini mengancam bukan hanya alam, tetapi martabat budaya Papua. Kemudian awal Bulan Juni, aktifis Greenpeace Indonesia menarik perhatian publik dengan aksi demo di tengah sebuah konferensi di sebuah hotel di Jakarta. Greenpeace menyebut lebih dari 500 hektare hutan telah rusak, dan sedimentasi dari tambang mengancam ekosistem laut. Di sisi lain, sebagian warga Pulau Gag justru menolak penutupan tambang karena bergantung pada perusahaan untuk penghidupan. Pemerintah kemudian mencabut empat dari lima izin tambang di Raja Ampat, namun tetap mempertahankan izin PT Gag Nikel.

            Kontroversi ini memperlihatkan kompleksnya hubungan antara pembangunan, lingkungan, dan komunikasi publik serta benturan abadi antara ekologi dan ekonomi yang menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Kembali kita menyaksikan benturan antara ekologi dan ekonomi yang mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Di sini peran komunikasi krisis pemerintah diuji untuk memulihkan kepercayaan masyarakat sebab “kepercayaan adalah fondasi di mana legitimasi lembaga publik dibangun dan sangat penting untuk menjaga kohesi sosial.” (Hidayat et al., 2022, hlm. 209).

Komunikasi Krisis Pemerintah: Klarifikasi dan Ketidakpercayaan

             Menurut Perse, komunikasi krisis mencakup “peningkatan ketergantungan masyarakat pada media dalam situasi penuh ketidakpastian,” terutama untuk memperoleh kejelasan, stabilitas, dan makna (2001, hlm. 150). Dalam konteks ini, komunikasi bukan hanya informasi, tetapi juga rekonstruksi kepercayaan sosial. Untuk memahami bagaimana wacana pemerintah dalam kasus tambang nikel dibentuk dan diterima publik, artikel ini menggunakan metode analisis wacana kritis dari Teun A. van Dijk. Pendekatan ini membedah bahasa sebagai alat kekuasaan yang memengaruhi persepsi melalui tiga tingkat struktur wacana: struktur teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Analisis dimulai dengan membaca elemen makro (tema utama), superstruktur (pola penyajian narasi), dan mikrostruktur (pilihan kata, gaya bahasa, metafora). Selanjutnya, kognisi sosial menyoroti bagaimana aktor, dalam hal ini pemerintah, membangun makna dalam pikiran kolektif masyarakat. Terakhir, konteks sosial menganalisis posisi institusi dalam struktur kekuasaan dan bagaimana mereka mendominasi alur informasi.

              Teknik analisis dilakukan melalui pengumpulan korpus data berupa kutipan pernyataan, publikasi media, dan pidato publik, lalu ditelusuri cara narasi dibentuk: apakah bersifat penyangkalan (denial), justifikasi legal, atau delegitimasi kritik. Analisis ini memungkinkan pembaca melihat ketimpangan antara narasi elite dan realitas lapangan, serta menilai bagaimana kontrol atas informasi digunakan untuk membentuk opini publik. Dengan begitu, wacana bukan sekadar soal kata-kata, tetapi cara institusi memosisikan dirinya dalam konflik dan krisis, apakah sebagai pelayan publik atau sebagai penjaga citra.

Berikut tabel kompilasi data dalam polemik tambang nikel Raja Ampat ini:

24 Maret 2025, 

New Guinea Kurir

Yohan Sauyai, tokoh adat, menyerahkan petisi penolakan dari 12 kampung Suku Betew dan Maya karena tambang merusak wilayah adat dan laut sakral.

21 Mei 2025, 

Prima Rakyat

Filep Wamafma (Ketua Komite III DPD RI) menyatakan sektor tambang mengancam ekosistem dan bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat adat yang mendukung pariwisata berkelanjutan.

3 Juni 2025, 

Kompas.com

Greenpeace Indonesia dan aktivis lokal menggelar protes di "Indonesia Critical Minerals Conference" dengan pesan "Save Raja Ampat from Nickel Mining"

4 Juni 2025,

Media Pemalang

Dua aktivis Greenpeace dan masyarakat Papua ditahan saat aksi damai di Jakarta. Greenpeace melaporkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran.

8 Juni 2025,

Kompas.com

Iqbal Damanik (Juru Kampanye Hutan Greenpeace) menyatakan eksploitasi nikel menyebabkan sedimentasi pesisir dan kerusakan ekosistem laut Raja Ampat.

10 Juni 2025,

Media Indonesia

Bahlil Lahadalia menyatakan keputusan pencabutan izin tambang "bukan karena viral," menolak tekanan publik. Ia juga menegaskan PT Gag Nikel diizinkan beroperasi karena telah sesuai AMDAL

12 Juni 2025,

Kompas.com

Pemerintah melabeli klaim kerusakan lingkungan sebagai "hoaks" dan menyebut terumbu karang "tetap lestari"

13 Juni 2025,

MSN News

Komnas HAM dan Auriga Nusantara menyatakan aktivitas tambang di enam pulau sebagai pelanggaran HAM dan pemicu konflik sosial

16 Juni 2025,

Media Indonesia

Yan C. Warinussy (Sekjen DAP) menolak penyelesaian adat dan menyebut kasus ini sebagai eco-crime yang harus diselesaikan secara pidana.

18 Juni 2025,

MSN News

Yan C. Warinussy kembali menyatakan pernyataan Menteri Bahlil keliru dan membahayakan keadilan hukum masyarakat adat.

18 Juni 2025,

iNews.id

Auriga Nusantara, Greenpeace, Unesa, dan masyarakat Manuran melaporkan hilangnya 494 hektare hutan dan pencemaran laut, dengan warga melaporkan air laut berubah cokelat akibat sedimentasi tambang.

19 Juni 2025,

Tempo

Jefri Dimalauw (tokoh pemuda Kampung Salio) melaporkan konflik antara dua kampung Suku Kawe terkait hak pengelolaan Pulau Wayag dan tambang.

20 Juni 2025,

RM.id

Filep Wamafma dan Yan C. Warinussy mendesak pemerintah dan aparat hukum menindak tambang secara pidana, menyebut masyarakat adat korban kebijakan yang keliru.

23 Juni 2025,

Mongabay.co.id

Auriga Nusantara, akademisi kelautan, dan masyarakat sipil menuntut penghentian tambang di pulau kecil, menyoroti UU No. 1/2014 yang melarang tambang di pulau kecil dan dampak ekologis lintas wilayah

24 Juni 2025,

Kompas.com

KPK berkoordinasi dengan Greenpeace untuk meninjau ulang izin tambang dan mencegah potensi korupsi sektor sumber daya alam

24 Juni 2025,

MSN News

Kementerian LHK mengklaim PT Gag Nikel berstatus "hijau dan biru," menunjukkan ramah lingkungan

24 Juni 2025,

Liputan6

Brigjen Pol Nunung dari Polri menyatakan, "Namanya tambang pasti ada kerusakan. Tambang mana yang nggak rusak?"

            Manusia adalah makhluk yang kompleks karena kesanggupannya mengolah bahasa, sehingga simbol yang nampak dapat memiliki makna berganda. Apa yang terbaca, terdengar, terlihat, bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Dalam ilmu komunikasi pernyataan-pernyataan manusia yang tersurat dapat dianalisis maksud yang tersirat dibaliknya menggunakan kerangka analisis wacana kritis, di antaranya model analisis van Dijk. Begitu pula pernyataan-pernyataan yang mewakili pemerintah dan dapat ditemukan di sejumlah media online terkait kontroversi tambang nikel di kawasan Raja Ampat dapat dianalisis makna tersiratnya. Kerangka analisis ini dapat melihat bagaimana kekuasaan menggunakan bahasa tidak hanya untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membentuk realitas. Dengan membedah struktur narasi dan mencari kata kunci dari sejumlah pernyataan yang ada, kemudian melihat ideologi dibalik pernyataan itu (kognisi sosial), serta menemukan apa tujuan pelontaran pernyataan itu (konteks sosial).

            Dengan model analisis van Dijk itu kita dapat menemukan lima pernyataan kunci pemerintah dan strategi komunikasi di baliknya.

Tabel Analisis Wacana Kritis Model van Dijk

No

Pernyataan

Struktur Teks

Kognisi Sosial

Konteks Sosial

1

“Sesuai Amdal” (10 Juni)

Justifikasi legal formal

Pemerintah menegaskan prosedur di atas etika lingkungan

Ketegangan antara hukum dan moral ekologis

2

“Bukan karena viral” (10 Juni)

Defensif terhadap opini publik

Menolak bahwa masyarakat punya pengaruh legitimasi

Masyarakat sipil menguat di ruang digital

3

“Pencemaran itu hoaks” (12 Juni)

Makro: penyangkalan krisis; Mikro: labelisasi

Mengarahkan publik agar hanya mempercayai versi pemerintah

Tekanan kuat dari LSM dan publik digital

4

“Terumbu tetap lestari” (12 Juni)

Absolutisme lingkungan

Menafikan temuan visual dan kritik independen

Diskrepansi antara data lapangan dan narasi resmi

5

“Hijau dan biru” (24 Juni)

Simbolisasi administratif

Menciptakan legitimasi melalui indikator birokratis

Penilaian KLHK dipertanyakan independensinya

 

1. "Sesuai AMDAL" - Teknokratisasi Politik Lingkungan

Menteri ESDM berulang kali menegaskan bahwa PT Gag Nikel beroperasi "sesuai AMDAL." Ini adalah contoh klasik teknokratisasi, di mana persoalan politik dan ekologis direduksi menjadi urusan teknis administratif. Strategi ini efektif karena menciptakan ilusi objektivitas: seolah-olah keputusan diambil berdasarkan sains, bukan kepentingan politik-ekonomi. Padahal, AMDAL bukanlah dokumen netral, ia adalah produk negoisasi antara perusahaan, konsultan, dan birokrat yang tidak selalu mengutamakan kepentingan ekologis. Selain itu, pemerintah juga tidak membuka dokumen AMDAL itu untuk evaluasi publik. Transparansi, prinsip fundamental demokrasi, diabaikan.

2. "Bukan Karena Viral" - Depolitisasi Partisipasi Publik

Pernyataan bahwa evaluasi pemerintah yang kemudian mencabut sejumlah izin tambang "bukan karena isunya viral" mengungkap mentalitas anti-demokrasi. Pemerintah melihat mobilisasi warga dunia maya (netizen) sebagai "gangguan" ketimbang bentuk partisipasi politik yang sah. Ini adalah strategi depolitisasi, mengabaikan dimensi politik dari isu publik dengan menyebutnya sebagai "sensasi media" atau "viral." Padahal, kampanye digital adalah salah satu cara masyarakat sipil mengorganisir diri dalam demokrasi di era media sosial saat ini. Toh pemerintah pun menggunakan saluran yang sama untuk propagandanya di jaman sekarang. Dengan mendiskreditkan "viralitas," pemerintah sedang menolak legitimasi bentuk-bentuk baru partisipasi politik.

3. "Pencemaran Itu Hoaks" - Politik Post-Truth

Labelisasi klaim kerusakan lingkungan sebagai "hoaks" seperti yanag disampaikan beberapa kali oleh pejabat pemerintah adalah strategi berbahaya yang menunjukkan adopsi politik post-truth. Ketika bukti empiris (foto satelit, laporan nelayan, dokumentasi LSM) didiskreditkan sebagai "informasi palsu," yang terjadi adalah relativisme epistemologis, tidak ada lagi kebenaran objektif, yang ada hanya versi pemerintah versus versi oposisi. Strategi ini mengikis dasar-dasar diskursus demokratis yang mensyaratkan adanya fakta bersama sebagai titik tolak debat publik. Ketika fakta dipolitisasi, yang menang bukan argumen terkuat, melainkan kekuatan yang paling dominan.

4. "Terumbu Tetap Lestari" - Kontradiksi Performatif

Klaim bahwa terumbu karang "tetap lestari" sambil mengizinkan aktivitas yang jelas-jelas merusak adalah contoh kontradiksi performatif, ketika pernyataan bertentangan dengan tindakan yang memungkinkan pernyataan itu ada. Ini menunjukkan pemerintah lebih memprioritaskan konsistensi dongeng ketimbang konsistensi faktual. Yang penting bukan realitas lapangan, melainkan realitas diskursif yang bisa diatur-atur jalan ceritanya oleh penguasa.

5. "Status Hijau-Biru" - Greenwashing Institusional

Klaim Kementerian LHK bahwa PT Gag Nikel berstatus "hijau dan biru" adalah greenwashing tingkat institusional. Dengan menggunakan simbolisme warna yang diasosiasikan dengan kelestarian, pemerintah mencoba menciptakan legitimasi ekologis bagi aktivitas yang secara fundamental anti-ekologi.

Greenwashing adalah strategi komunikasi korporat yang kini diadopsi negara untuk melegitimasi kebijakan yang merusak lingkungan dengan retorika pelestarian lingkungan.

Misalignment: Ketika Janji dan Realita Tak Sejalan

            Komunikasi krisis menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat saat terjadi ketegangan. Namun dalam kasus ini, berdasarkan hasil analisis wacana kritis, pendekatan yang diambil pemerintah cenderung bersifat defensif dan top-down. Menurut Fearn-Banks (2016), komunikasi krisis yang efektif harus bersifat transparan, empatik, dan berbasis data. Ketika pemerintah gagal menunjukkan data independen atau membuka ruang dialog, maka komunikasi berubah menjadi alat pembenaran, bukan pemulihan. Pemerintah melalui Kementerian ESDM menyatakan aktivitas tambang PT Gag Nikel “tidak menimbulkan pencemaran” dan menyebut sebagian kritik sebagai “hoaks”. Pernyataan ini memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

          Salah satu akar krisis kepercayaan adalah misalignment, ketidaksesuaian antara narasi pemerintah dan realitas di lapangan. Pemerintah menjanjikan pembangunan berkelanjutan dan transisi energi hijau, namun justru mengizinkan eksploitasi di kawasan ekosistem sensitif. Dalam Manajemen Krisis Komunikasi, Irwanti (2023, hlm. 87), menjelaskan “ketika organisasi menyampaikan pesan yang tidak konsisten dengan tindakan, maka krisis reputasi tak terhindarkan”. Sementara Aziz & Wicaksono (2020) menekankan bahwa komunikasi krisis bukan sekadar klarifikasi, tetapi dialog berkelanjutan yang membangun kepercayaan. Kembali menurut Irwanti (2023, hlm. 81), “ketika tindakan institusi tak sesuai dengan komunikasi eksternal, maka krisis reputasi berubah menjadi krisis moral”.

 Dalam kasus tambang nikel, misalignment ini terlihat jelas pada data ini:

Pemerintah menyebut tambang “tidak mencemari”

dokumentasi Greenpeace menunjukkan limpasan tanah dan kerusakan hutan.

Pemerintah mengklaim mendukung konservasi

namun tetap mengizinkan tambang di pulau kecil yang dilindungi oleh UU No. 1 Tahun 2014.

Narasi “bukan karena viral”

sisi lain nampak kuatnya gerakan digital.

 Frasa “hijau biru” air laut

vs foto sedimentasi laut dan keruhnya kepercayaan publik

            Komunikasi krisis yang ideal seharusnya mampu meredakan kecurigaan publik dan membangun kembali kepercayaan. Namun dalam kasus ini, yang terlihat justru pendekatan defensif dan konfrontatif.

Membangun Ulang Kepercayaan, Bukan Sekadar Menambal Citra

            Kasus tambang nikel di Pulau Gag bukan hanya soal logam dan ekonomi. Ia adalah cermin dari bagaimana pemerintah berkomunikasi dalam krisis yang menyentuh ekologi, budaya, dan kepercayaan publik. Komunikasi krisis yang efektif bukan tentang membungkam kritik, tetapi tentang mendengar, menjelaskan, dan bertindak konsisten, tentang bagaimana krisis tidak cukup dihadapi dengan klarifikasi teknokratis. Melainkan komunikasi partisipatif yang transparan dan berbasis empati publik.

 

Daftar Pustaka

Aziz, M. S., & Wicaksono, M. A. (2020). Komunikasi Krisis. Banda Aceh: Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh [https://diskominfo.acehprov.go.id/media/2022.12/buku_komunikasi_krisis_dummy1.pdf]

Fearn-Banks, K. (2016). Crisis Communications: A Casebook Approach (5th ed.). New York: Routledge.

Irwanti, M. (2023). Manajemen Krisis Komunikasi: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Widina Media Utama. (http://repository.usahid.ac.id/3316/2/Buku%20CETAK%20MANAJEMEN%20KRISIS%20KOMUNIKASI.pdf)

Tempo. (2025, Juni 13). Kontroversi Izin Tambang Nikel di Raja Ampat. (https://www.tempo.co/politik/kontroversi-izin-tambang-nikel-di-raja-ampat-1685748)

Kompas. (2025, Juni 9). Polemik Penambangan Nikel di Raja Ampat: Suara Warga dan Fakta Sejarahnya. (https://www.kompas.com/kalimantan-timur/read/2025/06/09/133200188/polemik-penambangan-nikel-di-raja-ampat-suara-warga-dan-fakta)

Perse, E. M. (2001). Media Effects and Society. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. 

Kompas.com. (2025, Juni 12). Kontra-Narasi Tambang Raja Ampat dan Krisis Kepercayaan Publik. (https://nasional.kompas.com/read/2025/06/12/07150011) 

Liputan6. (2025, Juni 24). Polri: Tambang Mana yang Tak Merusak Lingkungan. (https://www.liputan6.com/news/read/6060466) 

Media Indonesia. (2025, Juni 10). Pemerintah Beberkan Alasan Tindak Tambang Raja Ampat. (https://mediaindonesia.com/ekonomi/781002) 

MSN News. (2025, Juni 10 & 24). Pernyataan Pemerintah Soal Izin Tambang Nikel Raja Ampat. (https://www.msn.com/id-id)

Hidayat, R., Yusuf, N. R., & Tamrin, S. H. (2022). Tingkat kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19. Jurnal Neo Societal, 7(4), 208–220. https://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoSocietal/article/viewFile/28071/pdf

13 Juni 2025

Erich Fromm: Komunikator Sains yang Keren

Nursyawal, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi UNISBA Bandung 

I. Kenalan Dulu: Erich Fromm, Si Jembatan Ilmu dan Kehidupan

Pernah denger nama Erich Fromm? Ngga pernah? Ok saya kenalin ya. Dia itu di zamannya, kayak rockstar gitu di dunia akademis. Dia hidup dari tahun 1900 sampai 1980. Fromm ini seorang pemikir keren dari Jerman, ahli psikologi, dan filsuf yang punya cara unik buat ngajak orang biasa ngertiin persoalan masyarakat yang rumit. Bayangin, dia udah jual jutaan buku jauh sebelum ada internet dan media sosial loh ! 

Anehnya, meskipun dia sepopuler itu, banyak yang lupa sama dia di buku-buku sosiologi kiwari. Padahal, dia punya gelar Ph.D di sosiologi dan terlibat banget sama kelompok pemikir terkenal yang namanya Mazhab Frankfurt. Pengaruhnya nyebar ke seluruh dunia, terutama di Amerika Latin dan Eropa.

Nah, kenapa sih kita perlu bahas Fromm sekarang? Ya, karena ide-idenya relevan banget sama masalah-masalah yang kita hadapi hari ini: kayak munculnya pemimpin yang banyak pendukung tapi sebenernya tuh otoriter (contoh di AS, ada Trumpisme, kalo di Konoha mah takut ah nyebut namanya), makin banyak orang yang ikut-ikutan tanpa mikir (di media sosial), dan gimana logika pasar (ketika semua diukur pakai uang) makin mendominasi hidup kita.

Artikel ini bakal ngajak kamu kenalan sama cara Fromm berkomunikasi, gimana dia bikin ide-ide susah jadi gampang dimengerti, apa aja tantangan yang dia hadapi, dan kenapa posisinya yang "beda dengan kebanyakan orang" justru bikin dia jenius. Tujuannya? Biar kita bisa belajar gimana ilmu pengetahuan bisa nyambung sama kehidupan sehari-hari dan bantu kita ngertiin dunia.

II. Visi Fromm: Ilmu Itu Buat Apa Sih?

Fromm percaya banget kalau ilmu sosiologi itu bukan cuma buat dipelajari di kampus, tapi harus bisa "membuat hidup orang jadi lebih baik" dengan memahami kondisi masyarakat. Ini mirip banget sama tujuan komunikasi sains: pakai ilmu buat kebaikan masyarakat dan ngatasin masalah global yang ngancam kita semua. Fromm selalu nanya, "Ilmu itu buat apa?" Pertanyaan ini penting banget, apalagi di zaman sekarang. Dia pengen ilmu bisa "mendiagnosis kondisi manusia" biar hidup kita "lebih baik dan maju."

Dia juga aktif banget di gerakan sosial dan keadilan. Baginya, sosiologi itu alat penting buat "keterlibatan rakyat" dan buat mencapai "tujuan moral dan politik." Ini beda sama pandangan ilmu yang katanya harus "bebas nilai" (wajib objektif katanya). Fromm nunjukkin kalau ilmu sosial itu juga punya peran moral. Jadi, kalau kita ngomongin masalah besar kayak perubahan iklim atau kesehatan, cuma nyodorin fakta aja mungkin nggak cukup. Kita juga perlu sentuh sisi emosional dan etisnya, kayak yang Fromm lakuin.

Fromm itu orangnya open-minded banget. Dia nggak mau terpaku sama satu bidang ilmu aja. Dia belajar sosiologi, tapi juga nyampur ide-ide dari Marxisme (tentang masyarakat dan ekonomi), Freudian (tentang pikiran bawah sadar), Weberian (tentang kekuasaan dan birokrasi), dan eksistensialisme (tentang makna hidup). Dia bahkan ngambil wawasan dari arkeologi, antropologi, sejarah, psikologi, dan ilmu saraf. Campuran ide-ide ini, kata para ahli, adalah "kekuatan besar sosiologi."

Kemampuan Fromm buat ngatasin "tantangan global yang mengancam masa depan umat manusia" datang dari sini. Dia nggak suka kalau ilmu sosial cuma fokus ke satu sisi (misalnya, cuma psikologi atau cuma struktur sosial). Dengan nyampur berbagai ide, dia bisa ngertiin fenomena kompleks kayak psikologi sosial fasisme (kenapa orang mau ikut pemimpin jahat) dengan lebih dalam. Ini nunjukkin kalau buat komunikasi sains hari ini, kita juga harus keluar dari "kotak" disiplin ilmu kita. Nyatuin berbagai perspektif ilmiah bikin ceritanya lebih utuh dan meyakinkan.

Fromm juga bilang kalau fenomena kayak Nazisme "nggak bisa dipahami cuma pakai logika rasional." Teori Freud tentang alam bawah sadar bantu kita "memahami irasionalitas manusia dalam Perang Dunia Pertama dan kebangkitan Hitler." Ini penting banget buat komunikasi sains sekarang, karena seringkali orang nggak percaya fakta ilmiah (misalnya soal vaksin TBC atau perubahan iklim) karena ada keyakinan irasional, emosi, atau bias psikologis yang kuat. Karya Fromm ngasih kita cara buat berkomunikasi sains dengan ngakuin dan ngatasin sisi non-rasional dari tingkah manusia.

III. Jago Bikin Ide Sulit Jadi Gampang: Strategi Komunikasi Fromm

Fromm punya bakat luar biasa buat ngejelasin konsep-konsep teori yang rumit jadi bahasa yang gampang dimengerti banyak orang. Gaya penulisannya itu jelas, kayak ngobrol, dan ngasih inspirasi. Jadi, ide-idenya yang mendalam bisa nyampe ke akademisi dan juga pembaca umum yang terpelajar. Buku-bukunya juga sering ringkas, kayak buku lejen di masanya The Art of Loving (Seni Mencinta) yang cuma di bawah 140 halaman, bikin makin gampang diakses. Dia jago banget mempopulerkan dan menafsirkan ulang ide-ide pemikir Eropa terkenal kayak Freud dan Marx buat pembaca Amerika. Dia ngenalin konsep-konsep kayak alienasi (perasaan terasing) dan teori sifat manusia Marx dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris lewat terjemahan yang gampang dan esai pengantar yang mendalam.

Peran penting "buku-buku besar" terlarisnya dalam nyebarin ide-idenya ke seluruh dunia itu nggak bisa diremehin. Fromm punya kemampuan unik dan bertahan lama buat ngeluarin buku-buku ilmu sosial terlaris selama hampir empat dekade, ngejangkau jutaan pembaca di berbagai bahasa jauh sebelum era digital. Keberhasilannya yang luar biasa ini bikin nggak ada sosiolog publik lain yang bisa nyamain jumlah pembacanya.

Tabel 1: Buku-Buku Terlaris Erich Fromm dan Dampak Publiknya

Judul Buku

Tahun Publikasi

Perkiraan Jumlah Salinan Terjual

Jumlah Terjemahan

Dampak Publik/Intelektual Utama

Escape from Freedom

1941

5 juta+

29

Membangun pemikiran tentang karakter otoriter dan sosiologi emosi; membuat Fromm terkenal.

Man for Himself

1947

N/A

N/A

Membentuk The Lonely Crowd karya David Riesman; menginspirasi kritik Perang Dingin terhadap konformitas.

The Sane Society

1955

3 juta+

29

Mempengaruhi gerakan politik tahun 1960-an dan Marxisme akademis.

The Art of Loving

1956

25 juta+

33

Membuatnya menjadi intelektual selebriti global; mempengaruhi Martin Luther King.

Marx's Concept of Man

1961

1 juta+

N/A

Mempopulerkan pemikiran filosofis dan sosiologis Marx ke pasar massal.

May Man Prevail?

1961

500.000

N/A

Memposisikannya sebagai kritikus radikal terkemuka kebijakan luar negeri Amerika.

The Revolution of Hope

1968

2,5 juta+

N/A

Beresonansi secara emosional dengan pembaca yang terperangkap oleh krisis sosial.

To Have or to Be

1976

8 juta+

N/A

Menginspirasi gerakan Hijau di Jerman.

Keberhasilan "buku-buku besar" Fromm nunjukkin kalau dampak sosial yang luas buat ide-ide kompleks seringkali butuh pendekatan multi-platform, pakai konten panjang dan komunikasi bentuk pendek yang beragam. Pengaruh Fromm nggak cuma dari bukunya; itu diperkuat banget sama keterlibatannya yang aktif di berbagai media, termasuk pidato publik, majalah populer, dan intervensi politik langsung. Strategi multi-arah ini bikin dia bisa ngejangkau dan memengaruhi berbagai audiens di luar lingkaran akademis tradisional, dan efektif banget buat nguatkan pesannya. Buat komunikasi sains sekarang, ini berarti kalau cuma ngandelin publikasi jurnal atau berita utama aja mungkin nggak cukup. Strategi yang komprehensif harus pakai berbagai platform kayak media sosial, buku sains populer, kuliah umum, podcast, dan ringkasan kebijakan biar jangkauannya maksimal dan bisa memengaruhi diskusi publik, mirip kayak usaha komunikasi Fromm yang luas.

Kekuatan abadi narasi dan konten panjang yang gampang diakses juga ditunjukin sama pengaruh berkelanjutan dari karya-karya utama Fromm. Buku-buku kayak Escape from Freedom dan The Art of Loving nggak cuma terjual jutaan eksemplar tapi juga diterjemahkan ke puluhan bahasa, ngejaga relevansi dan dampaknya selama beberapa dekade. Fenomena ini nunjukkin kalau narasi yang ditulis dengan baik dan gampang diakses yang ngebahas dilema fundamental manusia dan masyarakat punya umur panjang dan jangkauan global yang unik, ngelampauin tren akademis sesaat atau siklus media yang cepat berlalu. Buat komunikasi sains, ini nunjukkin nilai mendalam dari investasi dalam narasi yang menarik dan konten panjang yang gampang diakses, kayak buku sains populer atau dokumenter, yang bisa beresonansi dalam dan luas, jadi alat yang abadi buat pemahaman dan keterlibatan publik, daripada cuma fokus pada penyebaran yang cepat dan jangka pendek.

IV. Sisi Lain Ketenaran: Pelajaran Buat Komunikasi Sains

Kesuksesan Fromm dalam mempopulerkan ide-ide rumit ternyata punya dampak besar pada karier profesionalnya. Ini nunjukkin dilema umum yang sering dihadapi para intelektual publik. Buku terlarisnya, The Art of Loving, jadi sasaran utama para kritikus. Mereka nggak adil ngelabelin dia "guru swalayan" dan "penulis populer recehan," bahkan nyamain dia sama tokoh kayak Norman Vincent Peale (yang terkenal dengan "kekuatan berpikir positif"). Pandangan negatif ini ngerusak reputasi akademinya, terutama di Amerika Serikat, dan bikin dia dicap negatif sama intelektual arus utama maupun radikal.

Popularitasnya ini bikin batas-batas profesional yang lagi coba dibangun sosiolog setelah Perang Dunia II jadi goyah. Ilmu sosiologi pengen ngamanin "status ilmiahnya" dan ngebedain karya akademis elit dari apa yang dianggap cuma popularisasi. Daya tarik publik yang luas sering dipandang dengan curiga, diartikan sebagai tanda pengikisan intelektual atau kompromi terhadap disiplin akademis. Penolakan The Art of Loving sebagai "swalayan" bukan cuma kritik isinya, tapi tindakan "menjaga batas" yang disengaja di kalangan akademisi. Ini nunjukkin tantangan buat komunikasi sains: kalau kamu nyampein temuan ilmiah yang punya dampak pribadi atau perilaku langsung (misalnya, soal kesehatan atau psikologi), kamu berisiko dicap terlalu sederhana atau cuma ngasih resep, yang ngerusak kredibilitas ilmu. Begitu kata para akademisi.

Pertentangan ini, makin parah karena debat Fromm vs Marcuse (di mana kritik Herbert Marcuse yang nyebut Fromm "konformis" jadi populer), akhirnya bikin Fromm dikeluarin dari daftar sosiolog publik penting dan akhirnya "dilupakan" di sosiologi profesional. Karyanya makin lama didefinisiin sebagai karya "penulis populer daripada seorang akademisi." Fenomena ini, yang juga terjadi pada Margaret Mead, nunjukkin kalau "status ilmiah cenderung menurun seiring dengan meningkatnya popularitas di kalangan audiens yang dianggap berstatus lebih rendah oleh intelektual dan akademisi." Ini berarti, jadi super terkenal justru bisa "ngerusak reputasi" di kalangan akademis. Ini pelajaran penting buat komunikator sains: meskipun keterlibatan publik makin didorong, jadi selebriti bisa bikin akademisi curiga atau nolak, jadi ada pilihan sulit antara dampak publik yang luas atau pengakuan sejawat.

Penting juga buat ngakuin kalau beberapa penurunan sosiologi publik Fromm itu karena "kelemahan dan keterbatasan inheren dari karyanya." Misalnya, dia pakai bahasa yang bias gender, kayak "sifat manusia," dan pandangan kuno tentang homoseksualitas, yang bikin generasi feminis dan sarjana modern jadi nggak suka. Selain itu, jaraknya yang makin jauh dari ilmu sosial akademis arus utama bikin beberapa buku populernya lebih banyak dipengaruhi pandangan filosofisnya daripada penelitian psikologi sosial empiris yang ketat, yang bikin daya tariknya di kalangan sosiolog profesional jadi berkurang.

V. Marginalitas Optimal: Rahasia Komunikasi Inovatif Fromm

Konsep "marginalitas optimal" itu kunci buat ngertiin perjalanan unik Fromm dan kemampuannya buat komunikasi publik yang inovatif. Ini ngejelasin posisinya yang "cukup dekat sama energi intelektual dan modal budaya Weber, Durkheim, Simmel, dan terutama Marx dan Freud buat ngasih wawasan baru yang kuat ke sosiologi," tapi di saat yang sama "cukup jauh dari hierarki status sosiologi arus utama buat nolak ortodoksi sosiologis yang ngehambat kemajuan intelektual." Posisi unik inilah yang bikin sosiologi publiknya berkembang.

Pengalaman masa kecil Fromm itu penting banget dalam ngebentuk "marginalitas optimal" ini. Pengalaman awalnya sebagai pemuda Yahudi di Jerman yang didominasi Kristen, ditambah neurosis pribadi dan dampak mendalam dari ngeliat kekejaman Perang Dunia I, bikin dia punya pandangan kritis. Ini yang bikin dia tertarik sama Freud dan Marx, tapi dengan cara yang nggak biasa, berakar dari Yudaisme profetik. Pelatihan akademis dan klinisnya makin ngukuhin jalan ini; meskipun dia dapet PhD di sosiologi di bawah Alfred Weber, dia sengaja nolak karier akademis tradisional. Pelatihan psikoanalitiknya yang mendalam sama Frieda Reichmann dan keterlibatannya sama Salman Rabinkow, seorang sosialis Yahudi, ngebentuk visi profetik dan komitmen pada humanisme radikal yang ngelampauin batas-batas profesional konvensional.

Jaringan intelektualnya juga punya peran penting dalam memfasilitasi marginalitasnya. Keterlibatannya sama Mazhab Frankfurt ngasih dia pengalaman riset empiris dan dukungan finansial, sementara gerakan neo-Freudian (termasuk tokoh kayak Karen Horney dan Harry Stack Sullivan) bikin dia bisa ngembangin kritik kuat terhadap ortodoksi Freudian. Selain itu, hubungannya sama aliran antropologi "budaya dan kepribadian," terutama lewat Margaret Mead, ngenalin dia pada visi ilmu sosial publik yang langsung ngebahas isu budaya, perang, dan nasionalisme.

Kemandirian finansial Fromm, dari praktik klinisnya dan penyelesaian besar dari Mazhab Frankfurt, ngasih dia otonomi buat ngejar agenda intelektualnya tanpa terikat sama institusi akademis atau asosiasi psikoanalitik yang dogmatis. Kebebasan ini bikin dia bisa "ngehindarin ortodoksi profesional atau intelektual apa pun" dan ngembangin suara publik yang nggak terkompromikan. Posisi unik ini nunjukkin kalau inovasi sejati dalam komunikasi publik bidang-bidang kompleks seringkali datang dari posisi yang informatif oleh ketelitian disipliner dan dibebaskan dari konvensi-konvensi yang paling membatasi. Kemampuan Fromm buat nyintesis Marx, Freud, dan Weber, terus nyebarin ide-ide kompleks ini secara luas, difasilitasi langsung sama "marginalitas optimalnya." Dia dilatih di sosiologi dan psikoanalisis tapi sengaja milih buat nggak sepenuhnya tertanam dalam struktur profesional mereka. Ini bikin dia bisa "nolak ortodoksi sosiologis yang ngehambat kemajuan intelektual." Buat komunikasi sains, ini berarti individu atau inisiatif yang ngejembatani keahlian akademis dengan kemauan buat nantang norma komunikasi konvensional (misalnya, jargon berlebihan, eksklusivitas peer-review) mungkin lebih efektif dalam ngejangkau dan ngelibatin publik yang beragam, seringkali dengan bertindak sebagai "orang dalam-luar."

Konsep "fasilitator marginalitas" itu penting buat ngertiin gimana individu bisa menavigasi dan memanfaatkan posisi marginal buat ngedapetin pengaruh publik. Keterlibatan Fromm sama lembaga psikoanalitik alternatif, jaringan neo-Freudian, dan aliran "budaya dan kepribadian" ngasih dia dukungan intelektual esensial, jalur penerbitan alternatif (penerbit komersial), dan kemandirian ekonomi. Buat komunikasi sains, ini nunjukkin kalau buat ngedorong keterlibatan publik yang inovatif mungkin perlu bikin dan dukung struktur alternatif (misalnya, pusat interdisipliner, beasiswa yang berorientasi pada publik, platform penerbitan non-tradisional) buat para ilmuwan yang pengen berkomunikasi secara luas. Dukungan semacam itu bisa bantu ngurangin risiko yang terkait sama penyimpangan dari jalur karier akademis tradisional dan sistem penghargaan, jadi bisa ngebentuk generasi baru komunikator sains yang berdampak.

VI. Kenapa Ide Fromm Masih Relevan Banget Hari Ini?

Ide-ide Fromm masih sangat relevan buat ngatasin krisis global yang kita hadapi sekarang. Analisisnya tentang otoritarianisme (pemimpin yang suka maksa), narsisme (memuja diri sendiri), konformitas (ikut-ikutan), dan alienasi (merasa terasing) ngasih kita kerangka buat ngertiin fenomena kayak Trumpisme, Brexit, dan populisme otoriter yang lagi naik daun di seluruh dunia. Ini semua butuh strategi komunikasi yang nggak cuma nyodorin penjelasan sederhana. Kritiknya terhadap "konformitas otomatisasi" (ikut-ikutan tanpa sadar) dan "karakter pemasaran" (hidup kayak produk yang dijual) ngasih kita lensa yang kuat buat ngertiin tantangan komunikasi sains di era media sosial yang didominasi algoritma dan "digital persona palsu." Fromm bilang, komunikasi sains harus aktif ngelawan tekanan konformis dan keterlibatan dangkal ini, bukan cuma ngikutin "pasar" yang rame, biar bisa ngebangun pemahaman publik yang dalam dan pemikiran kritis.

Penting banget bagi komunikator sains buat nggak cuma nyampein fakta, tapi juga ngertiin dinamika psikologis dan sosial yang ngebentuk gimana publik nerima informasi ilmiah. Ini adalah inti dari warisan Fromm. Penekanannya pada "politik narsisme" dan "karakter otoriter" ngasih kerangka penting buat ngertiin kenapa penerimaan publik terhadap informasi ilmiah (misalnya, perubahan iklim, efektivitas vaksin) seringkali dibentuk oleh daya tarik emosional, politik identitas, dan dinamika irasional, bukan cuma argumen rasional. Karyanya tentang "politik emosi massa" dan "akar psikologis rasa malu" nunjukkin kalau cuma ngasih lebih banyak data itu nggak cukup. Buat komunikasi sains, ini berarti kita perlu bergerak dari "model defisit" (cuma ngasih informasi lebih banyak) ke "analisis psikososial" 1 yang ngatasin hambatan emosional, budaya, dan identitas yang mendasari pemahaman dan penerimaan. Pendekatan ini bertujuan buat ngertiin mengapa orang percaya apa yang mereka yakini, bukan cuma apa yang mereka yakini, biar komunikasinya lebih efektif dan etis.

Karya pionir Fromm tentang sosiologi emosi ngasih lensa berharga buat komunikator sains buat ngertiin dan ngatasin daya tarik emosional gerakan ekstremis dan peran irasionalitas dalam persepsi publik terhadap isu-isu ilmiah, kayak keraguan vaksin atau penolakan perubahan iklim. Selain itu, pengaruh globalnya yang masif, dibuktiin sama jutaan pembaca dan puluhan terjemahan di Amerika Latin, Eropa Timur dan Tengah, dan Jerman, jadi model yang menarik buat upaya komunikasi sains internasional. Jangkauan global ini nunjukkin perlunya ngelampauin perspektif sempit dan aktif ngelibatin berbagai konteks budaya biar pengetahuan ilmiah dipahami dan diterapkan secara universal.

Karier Fromm jelas nunjukkin pertentangan yang terus-menerus antara kedalaman ilmiah dan aksesibilitas yang luas. Meskipun karyanya kadang punya kelemahan karena tuntutan popularisasi, di saat yang sama dia nunjukkin kekuatan besar pendekatan interdisipliner buat ngejangkau dan memengaruhi berbagai audiens.

VII. Kesimpulan

Perjalanan Erich Fromm sebagai sosiolog publik global ngasih cetak biru yang menarik buat bidang komunikasi sains. Kariernya nunjukkin dampak mendalam yang bisa ditimbulkan oleh komunikasi interdisipliner yang gampang diakses dalam ngejembatani kesenjangan antara pengetahuan kompleks dan pemahaman publik. Pengalaman Fromm juga nunjukkin jebakan inheren dari popularisasi, terutama risiko marginalisasi akademis dan stigma "swalayan," yang menekankan perlunya institusi akademis buat ngevaluasi ulang mekanisme "penjagaan batas" mereka.

Pelajaran pentingnya adalah potensi transformatif dari ngebangun "marginalitas optimal" dan ngedukung suara-suara yang beragam dalam komunitas ilmiah. Dengan ngebentuk lingkungan di mana para sarjana dilatih secara ketat dan dibebaskan dari ortodoksi disipliner yang kaku, komunikasi sains bisa ngasilin pendekatan yang lebih inovatif dan berdampak. Relevansi abadi Fromm terletak pada pendekatan humanistiknya, yang secara konsisten menekankan dimensi psikososial dari keterlibatan publik. Perspektif ini penting banget buat ngatasin tantangan kontemporer di mana penerimaan publik terhadap informasi ilmiah sangat terkait sama emosi, identitas, dan kecemasan sosial.

Pada akhirnya, warisan Fromm menyerukan komunikasi sains yang menyeimbangkan kedalaman ilmiah dengan aksesibilitas yang luas, didorong oleh tujuan etis buat ningkatin kualitas hidup manusia. Dia menganjurkan buat ngebangun "kesopanan dan subversi" dalam wacana publik, mastiin kalau wawasan ilmiah nggak cuma dipahami tapi juga berkontribusi pada pemikiran kritis dan peningkatan sosial. Kebangkitan minat global yang berkelanjutan terhadap karya Fromm adalah bukti sifat abadi dari keprihatinannya dan kebutuhan abadi akan para sarjana yang bisa ngejembatani kesenjangan antara pengetahuan kompleks dan pemahaman publik, dengan kuat menetapkannya sebagai model dasar buat komunikasi sains yang efektif.

Sumber bacaan : Erich Fromm and Global Public Sociology, Neil McLaughlin, 2021