13 Juni 2025

Erich Fromm: Komunikator Sains yang Keren

Nursyawal, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi UNISBA Bandung 


I. Kenalan Dulu: Erich Fromm, Si Jembatan Ilmu dan Kehidupan

Pernah denger nama Erich Fromm? Ngga pernah? Ok saya kenalin ya. Dia itu di zamannya, kayak rockstar gitu di dunia akademis. Dia hidup dari tahun 1900 sampai 1980. Fromm ini seorang pemikir keren dari Jerman, ahli psikologi, dan filsuf yang punya cara unik buat ngajak orang biasa ngertiin persoalan masyarakat yang rumit. Bayangin, dia udah jual jutaan buku jauh sebelum ada internet dan media sosial loh ! 

Anehnya, meskipun dia sepopuler itu, banyak yang lupa sama dia di buku-buku sosiologi kiwari. Padahal, dia punya gelar Ph.D di sosiologi dan terlibat banget sama kelompok pemikir terkenal yang namanya Mazhab Frankfurt. Pengaruhnya nyebar ke seluruh dunia, terutama di Amerika Latin dan Eropa.

Nah, kenapa sih kita perlu bahas Fromm sekarang? Ya, karena ide-idenya relevan banget sama masalah-masalah yang kita hadapi hari ini: kayak munculnya pemimpin yang banyak pendukung tapi sebenernya tuh otoriter (contoh di AS, ada Trumpisme, kalo di Konoha mah takut ah nyebut namanya), makin banyak orang yang ikut-ikutan tanpa mikir (di media sosial), dan gimana logika pasar (ketika semua diukur pakai uang) makin mendominasi hidup kita.

Artikel ini bakal ngajak kamu kenalan sama cara Fromm berkomunikasi, gimana dia bikin ide-ide susah jadi gampang dimengerti, apa aja tantangan yang dia hadapi, dan kenapa posisinya yang "beda dengan kebanyakan orang" justru bikin dia jenius. Tujuannya? Biar kita bisa belajar gimana ilmu pengetahuan bisa nyambung sama kehidupan sehari-hari dan bantu kita ngertiin dunia.

II. Visi Fromm: Ilmu Itu Buat Apa Sih?

Fromm percaya banget kalau ilmu sosiologi itu bukan cuma buat dipelajari di kampus, tapi harus bisa "membuat hidup orang jadi lebih baik" dengan memahami kondisi masyarakat. Ini mirip banget sama tujuan komunikasi sains: pakai ilmu buat kebaikan masyarakat dan ngatasin masalah global yang ngancam kita semua. Fromm selalu nanya, "Ilmu itu buat apa?" Pertanyaan ini penting banget, apalagi di zaman sekarang. Dia pengen ilmu bisa "mendiagnosis kondisi manusia" biar hidup kita "lebih baik dan maju."

Dia juga aktif banget di gerakan sosial dan keadilan. Baginya, sosiologi itu alat penting buat "keterlibatan rakyat" dan buat mencapai "tujuan moral dan politik." Ini beda sama pandangan ilmu yang katanya harus "bebas nilai" (wajib objektif katanya). Fromm nunjukkin kalau ilmu sosial itu juga punya peran moral. Jadi, kalau kita ngomongin masalah besar kayak perubahan iklim atau kesehatan, cuma nyodorin fakta aja mungkin nggak cukup. Kita juga perlu sentuh sisi emosional dan etisnya, kayak yang Fromm lakuin.

Fromm itu orangnya open-minded banget. Dia nggak mau terpaku sama satu bidang ilmu aja. Dia belajar sosiologi, tapi juga nyampur ide-ide dari Marxisme (tentang masyarakat dan ekonomi), Freudian (tentang pikiran bawah sadar), Weberian (tentang kekuasaan dan birokrasi), dan eksistensialisme (tentang makna hidup). Dia bahkan ngambil wawasan dari arkeologi, antropologi, sejarah, psikologi, dan ilmu saraf. Campuran ide-ide ini, kata para ahli, adalah "kekuatan besar sosiologi."

Kemampuan Fromm buat ngatasin "tantangan global yang mengancam masa depan umat manusia" datang dari sini. Dia nggak suka kalau ilmu sosial cuma fokus ke satu sisi (misalnya, cuma psikologi atau cuma struktur sosial). Dengan nyampur berbagai ide, dia bisa ngertiin fenomena kompleks kayak psikologi sosial fasisme (kenapa orang mau ikut pemimpin jahat) dengan lebih dalam. Ini nunjukkin kalau buat komunikasi sains hari ini, kita juga harus keluar dari "kotak" disiplin ilmu kita. Nyatuin berbagai perspektif ilmiah bikin ceritanya lebih utuh dan meyakinkan.

Fromm juga bilang kalau fenomena kayak Nazisme "nggak bisa dipahami cuma pakai logika rasional." Teori Freud tentang alam bawah sadar bantu kita "memahami irasionalitas manusia dalam Perang Dunia Pertama dan kebangkitan Hitler." Ini penting banget buat komunikasi sains sekarang, karena seringkali orang nggak percaya fakta ilmiah (misalnya soal vaksin TBC atau perubahan iklim) karena ada keyakinan irasional, emosi, atau bias psikologis yang kuat. Karya Fromm ngasih kita cara buat berkomunikasi sains dengan ngakuin dan ngatasin sisi non-rasional dari tingkah manusia.

III. Jago Bikin Ide Sulit Jadi Gampang: Strategi Komunikasi Fromm

Fromm punya bakat luar biasa buat ngejelasin konsep-konsep teori yang rumit jadi bahasa yang gampang dimengerti banyak orang. Gaya penulisannya itu jelas, kayak ngobrol, dan ngasih inspirasi. Jadi, ide-idenya yang mendalam bisa nyampe ke akademisi dan juga pembaca umum yang terpelajar. Buku-bukunya juga sering ringkas, kayak buku lejen di masanya The Art of Loving (Seni Mencinta) yang cuma di bawah 140 halaman, bikin makin gampang diakses. Dia jago banget mempopulerkan dan menafsirkan ulang ide-ide pemikir Eropa terkenal kayak Freud dan Marx buat pembaca Amerika. Dia ngenalin konsep-konsep kayak alienasi (perasaan terasing) dan teori sifat manusia Marx dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris lewat terjemahan yang gampang dan esai pengantar yang mendalam.

Peran penting "buku-buku besar" terlarisnya dalam nyebarin ide-idenya ke seluruh dunia itu nggak bisa diremehin. Fromm punya kemampuan unik dan bertahan lama buat ngeluarin buku-buku ilmu sosial terlaris selama hampir empat dekade, ngejangkau jutaan pembaca di berbagai bahasa jauh sebelum era digital. Keberhasilannya yang luar biasa ini bikin nggak ada sosiolog publik lain yang bisa nyamain jumlah pembacanya.

Tabel 1: Buku-Buku Terlaris Erich Fromm dan Dampak Publiknya

Judul Buku

Tahun Publikasi

Perkiraan Jumlah Salinan Terjual

Jumlah Terjemahan

Dampak Publik/Intelektual Utama

Escape from Freedom

1941

5 juta+

29

Membangun pemikiran tentang karakter otoriter dan sosiologi emosi; membuat Fromm terkenal.

Man for Himself

1947

N/A

N/A

Membentuk The Lonely Crowd karya David Riesman; menginspirasi kritik Perang Dingin terhadap konformitas.

The Sane Society

1955

3 juta+

29

Mempengaruhi gerakan politik tahun 1960-an dan Marxisme akademis.

The Art of Loving

1956

25 juta+

33

Membuatnya menjadi intelektual selebriti global; mempengaruhi Martin Luther King.

Marx's Concept of Man

1961

1 juta+

N/A

Mempopulerkan pemikiran filosofis dan sosiologis Marx ke pasar massal.

May Man Prevail?

1961

500.000

N/A

Memposisikannya sebagai kritikus radikal terkemuka kebijakan luar negeri Amerika.

The Revolution of Hope

1968

2,5 juta+

N/A

Beresonansi secara emosional dengan pembaca yang terperangkap oleh krisis sosial.

To Have or to Be

1976

8 juta+

N/A

Menginspirasi gerakan Hijau di Jerman.

Keberhasilan "buku-buku besar" Fromm nunjukkin kalau dampak sosial yang luas buat ide-ide kompleks seringkali butuh pendekatan multi-platform, pakai konten panjang dan komunikasi bentuk pendek yang beragam. Pengaruh Fromm nggak cuma dari bukunya; itu diperkuat banget sama keterlibatannya yang aktif di berbagai media, termasuk pidato publik, majalah populer, dan intervensi politik langsung. Strategi multi-arah ini bikin dia bisa ngejangkau dan memengaruhi berbagai audiens di luar lingkaran akademis tradisional, dan efektif banget buat nguatkan pesannya. Buat komunikasi sains sekarang, ini berarti kalau cuma ngandelin publikasi jurnal atau berita utama aja mungkin nggak cukup. Strategi yang komprehensif harus pakai berbagai platform kayak media sosial, buku sains populer, kuliah umum, podcast, dan ringkasan kebijakan biar jangkauannya maksimal dan bisa memengaruhi diskusi publik, mirip kayak usaha komunikasi Fromm yang luas.

Kekuatan abadi narasi dan konten panjang yang gampang diakses juga ditunjukin sama pengaruh berkelanjutan dari karya-karya utama Fromm. Buku-buku kayak Escape from Freedom dan The Art of Loving nggak cuma terjual jutaan eksemplar tapi juga diterjemahkan ke puluhan bahasa, ngejaga relevansi dan dampaknya selama beberapa dekade. Fenomena ini nunjukkin kalau narasi yang ditulis dengan baik dan gampang diakses yang ngebahas dilema fundamental manusia dan masyarakat punya umur panjang dan jangkauan global yang unik, ngelampauin tren akademis sesaat atau siklus media yang cepat berlalu. Buat komunikasi sains, ini nunjukkin nilai mendalam dari investasi dalam narasi yang menarik dan konten panjang yang gampang diakses, kayak buku sains populer atau dokumenter, yang bisa beresonansi dalam dan luas, jadi alat yang abadi buat pemahaman dan keterlibatan publik, daripada cuma fokus pada penyebaran yang cepat dan jangka pendek.

IV. Sisi Lain Ketenaran: Pelajaran Buat Komunikasi Sains

Kesuksesan Fromm dalam mempopulerkan ide-ide rumit ternyata punya dampak besar pada karier profesionalnya. Ini nunjukkin dilema umum yang sering dihadapi para intelektual publik. Buku terlarisnya, The Art of Loving, jadi sasaran utama para kritikus. Mereka nggak adil ngelabelin dia "guru swalayan" dan "penulis populer recehan," bahkan nyamain dia sama tokoh kayak Norman Vincent Peale (yang terkenal dengan "kekuatan berpikir positif"). Pandangan negatif ini ngerusak reputasi akademinya, terutama di Amerika Serikat, dan bikin dia dicap negatif sama intelektual arus utama maupun radikal.

Popularitasnya ini bikin batas-batas profesional yang lagi coba dibangun sosiolog setelah Perang Dunia II jadi goyah. Ilmu sosiologi pengen ngamanin "status ilmiahnya" dan ngebedain karya akademis elit dari apa yang dianggap cuma popularisasi. Daya tarik publik yang luas sering dipandang dengan curiga, diartikan sebagai tanda pengikisan intelektual atau kompromi terhadap disiplin akademis. Penolakan The Art of Loving sebagai "swalayan" bukan cuma kritik isinya, tapi tindakan "menjaga batas" yang disengaja di kalangan akademisi. Ini nunjukkin tantangan buat komunikasi sains: kalau kamu nyampein temuan ilmiah yang punya dampak pribadi atau perilaku langsung (misalnya, soal kesehatan atau psikologi), kamu berisiko dicap terlalu sederhana atau cuma ngasih resep, yang ngerusak kredibilitas ilmu. Begitu kata para akademisi.

Pertentangan ini, makin parah karena debat Fromm-Marcuse (di mana kritik Herbert Marcuse yang nyebut Fromm "konformis" jadi populer), akhirnya bikin Fromm dikeluarin dari daftar sosiolog publik penting dan akhirnya "dilupakan" di sosiologi profesional. Karyanya makin lama didefinisiin sebagai karya "penulis populer daripada seorang akademisi." Fenomena ini, yang juga terjadi pada Margaret Mead, nunjukkin kalau "status ilmiah cenderung menurun seiring dengan meningkatnya popularitas di kalangan audiens yang dianggap berstatus lebih rendah oleh intelektual dan akademisi." Ini berarti, jadi super terkenal justru bisa "ngerusak reputasi" di kalangan akademis. Ini pelajaran penting buat komunikator sains: meskipun keterlibatan publik makin didorong, jadi selebriti bisa bikin akademisi curiga atau nolak, jadi ada pilihan sulit antara dampak publik yang luas atau pengakuan sejawat.

Penting juga buat ngakuin kalau beberapa penurunan sosiologi publik Fromm itu karena "kelemahan dan keterbatasan inheren dari karyanya." Misalnya, dia pakai bahasa yang bias gender, kayak "sifat manusia," dan pandangan kuno tentang homoseksualitas, yang bikin generasi feminis dan sarjana modern jadi nggak suka. Selain itu, jaraknya yang makin jauh dari ilmu sosial akademis arus utama bikin beberapa buku populernya lebih banyak dipengaruhi pandangan filosofisnya daripada penelitian psikologi sosial empiris yang ketat, yang bikin daya tariknya di kalangan sosiolog profesional jadi berkurang.

V. Marginalitas Optimal: Rahasia Komunikasi Inovatif Fromm

Konsep "marginalitas optimal" itu kunci buat ngertiin perjalanan unik Fromm dan kemampuannya buat komunikasi publik yang inovatif. Ini ngejelasin posisinya yang "cukup dekat sama energi intelektual dan modal budaya Weber, Durkheim, Simmel, dan terutama Marx dan Freud buat ngasih wawasan baru yang kuat ke sosiologi," tapi di saat yang sama "cukup jauh dari hierarki status sosiologi arus utama buat nolak ortodoksi sosiologis yang ngehambat kemajuan intelektual." Posisi unik inilah yang bikin sosiologi publiknya berkembang.

Pengalaman masa kecil Fromm itu penting banget dalam ngebentuk "marginalitas optimal" ini. Pengalaman awalnya sebagai pemuda Yahudi di Jerman yang didominasi Kristen, ditambah neurosis pribadi dan dampak mendalam dari ngeliat kekejaman Perang Dunia I, bikin dia punya pandangan kritis. Ini yang bikin dia tertarik sama Freud dan Marx, tapi dengan cara yang nggak biasa, berakar dari Yudaisme profetik. Pelatihan akademis dan klinisnya makin ngukuhin jalan ini; meskipun dia dapet PhD di sosiologi di bawah Alfred Weber, dia sengaja nolak karier akademis tradisional. Pelatihan psikoanalitiknya yang mendalam sama Frieda Reichmann dan keterlibatannya sama Salman Rabinkow, seorang sosialis Yahudi, ngebentuk visi profetik dan komitmen pada humanisme radikal yang ngelampauin batas-batas profesional konvensional.

Jaringan intelektualnya juga punya peran penting dalam memfasilitasi marginalitasnya. Keterlibatannya sama Mazhab Frankfurt ngasih dia pengalaman riset empiris dan dukungan finansial, sementara gerakan neo-Freudian (termasuk tokoh kayak Karen Horney dan Harry Stack Sullivan) bikin dia bisa ngembangin kritik kuat terhadap ortodoksi Freudian. Selain itu, hubungannya sama aliran antropologi "budaya dan kepribadian," terutama lewat Margaret Mead, ngenalin dia pada visi ilmu sosial publik yang langsung ngebahas isu budaya, perang, dan nasionalisme.

Kemandirian finansial Fromm, dari praktik klinisnya dan penyelesaian besar dari Mazhab Frankfurt, ngasih dia otonomi buat ngejar agenda intelektualnya tanpa terikat sama institusi akademis atau asosiasi psikoanalitik yang dogmatis. Kebebasan ini bikin dia bisa "ngehindarin ortodoksi profesional atau intelektual apa pun" dan ngembangin suara publik yang nggak terkompromikan. Posisi unik ini nunjukkin kalau inovasi sejati dalam komunikasi publik bidang-bidang kompleks seringkali datang dari posisi yang informatif oleh ketelitian disipliner dan dibebaskan dari konvensi-konvensi yang paling membatasi. Kemampuan Fromm buat nyintesis Marx, Freud, dan Weber, terus nyebarin ide-ide kompleks ini secara luas, difasilitasi langsung sama "marginalitas optimalnya." Dia dilatih di sosiologi dan psikoanalisis tapi sengaja milih buat nggak sepenuhnya tertanam dalam struktur profesional mereka. Ini bikin dia bisa "nolak ortodoksi sosiologis yang ngehambat kemajuan intelektual." Buat komunikasi sains, ini berarti individu atau inisiatif yang ngejembatani keahlian akademis dengan kemauan buat nantang norma komunikasi konvensional (misalnya, jargon berlebihan, eksklusivitas peer-review) mungkin lebih efektif dalam ngejangkau dan ngelibatin publik yang beragam, seringkali dengan bertindak sebagai "orang dalam-luar."

Konsep "fasilitator marginalitas" itu penting buat ngertiin gimana individu bisa menavigasi dan memanfaatkan posisi marginal buat ngedapetin pengaruh publik. Keterlibatan Fromm sama lembaga psikoanalitik alternatif, jaringan neo-Freudian, dan aliran "budaya dan kepribadian" ngasih dia dukungan intelektual esensial, jalur penerbitan alternatif (penerbit komersial), dan kemandirian ekonomi. Buat komunikasi sains, ini nunjukkin kalau buat ngedorong keterlibatan publik yang inovatif mungkin perlu bikin dan dukung struktur alternatif (misalnya, pusat interdisipliner, beasiswa yang berorientasi pada publik, platform penerbitan non-tradisional) buat para ilmuwan yang pengen berkomunikasi secara luas. Dukungan semacam itu bisa bantu ngurangin risiko yang terkait sama penyimpangan dari jalur karier akademis tradisional dan sistem penghargaan, jadi bisa ngebentuk generasi baru komunikator sains yang berdampak.

VI. Kenapa Ide Fromm Masih Relevan Banget Hari Ini?

Ide-ide Fromm masih sangat relevan buat ngatasin krisis global yang kita hadapi sekarang. Analisisnya tentang otoritarianisme (pemimpin yang suka maksa), narsisme (memuja diri sendiri), konformitas (ikut-ikutan), dan alienasi (merasa terasing) ngasih kita kerangka buat ngertiin fenomena kayak Trumpisme, Brexit, dan populisme otoriter yang lagi naik daun di seluruh dunia. Ini semua butuh strategi komunikasi yang nggak cuma nyodorin penjelasan sederhana. Kritiknya terhadap "konformitas otomatisasi" (ikut-ikutan tanpa sadar) dan "karakter pemasaran" (hidup kayak produk yang dijual) ngasih kita lensa yang kuat buat ngertiin tantangan komunikasi sains di era media sosial yang didominasi algoritma dan "digital persona palsu." Fromm bilang, komunikasi sains harus aktif ngelawan tekanan konformis dan keterlibatan dangkal ini, bukan cuma ngikutin "pasar" yang rame, biar bisa ngebangun pemahaman publik yang dalam dan pemikiran kritis.

Penting banget bagi komunikator sains buat nggak cuma nyampein fakta, tapi juga ngertiin dinamika psikologis dan sosial yang ngebentuk gimana publik nerima informasi ilmiah. Ini adalah inti dari warisan Fromm. Penekanannya pada "politik narsisme" dan "karakter otoriter" ngasih kerangka penting buat ngertiin kenapa penerimaan publik terhadap informasi ilmiah (misalnya, perubahan iklim, efektivitas vaksin) seringkali dibentuk oleh daya tarik emosional, politik identitas, dan dinamika irasional, bukan cuma argumen rasional. Karyanya tentang "politik emosi massa" dan "akar psikologis rasa malu" nunjukkin kalau cuma ngasih lebih banyak data itu nggak cukup. Buat komunikasi sains, ini berarti kita perlu bergerak dari "model defisit" (cuma ngasih informasi lebih banyak) ke "analisis psikososial" 1 yang ngatasin hambatan emosional, budaya, dan identitas yang mendasari pemahaman dan penerimaan. Pendekatan ini bertujuan buat ngertiin mengapa orang percaya apa yang mereka yakini, bukan cuma apa yang mereka yakini, biar komunikasinya lebih efektif dan etis.

Karya pionir Fromm tentang sosiologi emosi ngasih lensa berharga buat komunikator sains buat ngertiin dan ngatasin daya tarik emosional gerakan ekstremis dan peran irasionalitas dalam persepsi publik terhadap isu-isu ilmiah, kayak keraguan vaksin atau penolakan perubahan iklim. Selain itu, pengaruh globalnya yang masif, dibuktiin sama jutaan pembaca dan puluhan terjemahan di Amerika Latin, Eropa Timur dan Tengah, dan Jerman, jadi model yang menarik buat upaya komunikasi sains internasional. Jangkauan global ini nunjukkin perlunya ngelampauin perspektif sempit dan aktif ngelibatin berbagai konteks budaya biar pengetahuan ilmiah dipahami dan diterapkan secara universal.

Karier Fromm jelas nunjukkin pertentangan yang terus-menerus antara kedalaman ilmiah dan aksesibilitas yang luas. Meskipun karyanya kadang punya kelemahan karena tuntutan popularisasi, di saat yang sama dia nunjukkin kekuatan besar pendekatan interdisipliner buat ngejangkau dan memengaruhi berbagai audiens.

VII. Kesimpulan

Perjalanan Erich Fromm sebagai sosiolog publik global ngasih cetak biru yang menarik buat bidang komunikasi sains. Kariernya nunjukkin dampak mendalam yang bisa ditimbulkan oleh komunikasi interdisipliner yang gampang diakses dalam ngejembatani kesenjangan antara pengetahuan kompleks dan pemahaman publik. Pengalaman Fromm juga nunjukkin jebakan inheren dari popularisasi, terutama risiko marginalisasi akademis dan stigma "swalayan," yang menekankan perlunya institusi akademis buat ngevaluasi ulang mekanisme "penjagaan batas" mereka.

Pelajaran pentingnya adalah potensi transformatif dari ngebangun "marginalitas optimal" dan ngedukung suara-suara yang beragam dalam komunitas ilmiah. Dengan ngebentuk lingkungan di mana para sarjana dilatih secara ketat dan dibebaskan dari ortodoksi disipliner yang kaku, komunikasi sains bisa ngasilin pendekatan yang lebih inovatif dan berdampak. Relevansi abadi Fromm terletak pada pendekatan humanistiknya, yang secara konsisten menekankan dimensi psikososial dari keterlibatan publik. Perspektif ini penting banget buat ngatasin tantangan kontemporer di mana penerimaan publik terhadap informasi ilmiah sangat terkait sama emosi, identitas, dan kecemasan sosial.

Pada akhirnya, warisan Fromm menyerukan komunikasi sains yang menyeimbangkan kedalaman ilmiah dengan aksesibilitas yang luas, didorong oleh tujuan etis buat ningkatin kualitas hidup manusia. Dia menganjurkan buat ngebangun "kesopanan dan subversi" dalam wacana publik 1, mastiin kalau wawasan ilmiah nggak cuma dipahami tapi juga berkontribusi pada pemikiran kritis dan peningkatan sosial. Kebangkitan minat global yang berkelanjutan terhadap karya Fromm adalah bukti sifat abadi dari keprihatinannya dan kebutuhan abadi akan para sarjana yang bisa ngejembatani kesenjangan antara pengetahuan kompleks dan pemahaman publik, dengan kuat menetapkannya sebagai model dasar buat komunikasi sains yang efektif.

Sumber bacaan : Erich Fromm and Global Public Sociology, Neil McLaughlin, 2021

12 Juni 2025

Colour My World

As time goes on

I realize
Just what you mean
To me

And now
Now that you're near

Promise your love
That I've waited to share
And dreams
Of our moments together

Colour my world with hope of loving you

(James Carter Pankow, Chicago: 1970)