18 Mei 2024

Mengapa Para Influencer Tidak Lantang Menolak RUU Penyiaran ?

Opini Nursyawal (kandidat doktor komunikasi, ahli pers dewan pers, pengajar jurnalistik dan penyiaran, jurnalis lepas bersertifikat wartawan utama).

Saya kembali mendapat pertanyaan dari rekan-rekan media, mengenai ancaman mendasar apa dari adanya revisi undng-undang penyiaran yang sedang ramai dibincangkan akhir-akhir ini. Ini adalah jawaban saya.

Pertama, tata cara pembuatan undang-undang yang diam-diam. padahal 25 November 2021, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil karena dibentuk melalui cara-cara yang tidak baku. Dua tahun kemudian pemerintah membentuk Undang-undang baru tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, nomor 13 tahun 2022. Dalam undang-undang itu, disebut partisipasi masyarakat yang bermakna sebagai upaya memperbaiki tata cara yang buruk pada pembentukan uu cipta kerja. 

Jadi menurut undang-undang itu, masyarakat memiliki Hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) yaitu hak untuk menyampaikan pendapat dan masukan mereka terkait dengan rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Kemudian masyarakat memiliki Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) artinya masukan dari masyarakat harus dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Terakhir, masyarakat memiliki Hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) tidak dighosting gitu. Tidak dibiarkan tanpa jawaban dan penjelasan. Semua hak itu wajib dipenuhi.

Nah, dalam konteks revisi undang-undang penyiaran itu, sampai saat ini, tidak ada pemenuhan terhadap hak-hak itu. Pembuat undang-undang nampaknya mencoba melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri.

Kedua, substansi revisi undang-undang itu. Sejak uu cipta kerja, sistem penyiaran Indonesia telah diubah total dari sistem yang secara filosofis berfungsi sebagai lembaga budaya dan ideologis, menjadi sekedar lembaga ekonomi penghasil laba. Pasal-pasal prinsip demokrasi penyiaran berdasar pilar keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan media, hilang. Kuasa publik dalam dunia penyiaran juga hilang dengan pemangkasan kewenangan lembaga negara independen bernama komisi penyiaran Indonesia, dan kembali ke rejim kuasa modal. 

kemudian hal-hal itu dipertegas oleh revisi uu penyiaran. tidak ada lagi pembatasan pemusatan kepemilikan dan tidak ada lagi afirmasi terhadap hak masyarakat lokal dalam penyiaran. tidak ada dukungan yang kokoh terhadap lembaga penyiaran lokal, komunitas, publik (termasuk publik lokal). Ideologinya, pasar. melalui revisi uu penyiaran ini pula, KPI yang seharusnya menjadi wadah kedaulatan rakyat atas penggunaan frekuensi oleh entitas bisnis, bahkan ditempatkan lebih rendah lagi, meski mendapat kerjaan tambahan untuk mengawasi para pembuat konten di media digital. tugas yang saya ragukan dapat ditunaikan karena selama ini untuk mengawasi pembuat konten sinetron di segelintir televisi swasta saja kewalahan. Jauh lebih penting lagi, KPI sebagai anak kandung reformasi, yang niat awalnya untuk mengembalikan manfaat pemakaian frekuensi sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat, dikebiri dan dipasung, menjadi peliharaan kaum dominus. Media dikembalikan menjadi alat hegemoni.

Ketiga, diduga ada agenda tersembunyi dalam sejumlah pasal dengan kemasan "melindungi anak bangsa dari dampak negatif media digital". Yaitu mempersiapkan undang-undang ini untuk membungkam sikap kritis, karena pembuat konten di media sosial juga dapat menjadi subjek hukum undang-undang ini. Ada pasal tentang pencemaran nama baik serta fitnah, seperti pasal yang kontroversial dalam UU ITE. Karena dalam banyak kasus, yang kerap menggugat pencemaran nama baik adalah penguasa politik atau ekonomi, tidak ada dalam catatan, yang menggugat adalah tukang becak atau pedagang pasar atau emak-emak di desa. Seolah yang memiliki nama baik hanyalah para penguasa dan bukan rakyat kebanyakan. ada banyak pasal yang menyasar ekspresi budaya dan politik yang selama ini muncul di media sosial.

Ada pula larangan konten jurnalistik investigatif serta adanya klausula yang menyebut penyelesaian sengketa jurnalistik diselesaikan melalui KPI, yang marwahnya menurut revisi uu penyiaran ini sudah pada level "anak buah parlemen". nah ini yang menyebabkan ledakan opini publik, karena pengelola media dan pekerja pers kompak menyuarakan penolakan. Bersama pasal-pasal lain, komunitas pers mengancam jika revisi uu penyiaran memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers, serta kebebasan berekspresi, maka "senayan akan berhadapan dengan kami". Suara lantang media yang saya duga menimbulkan rasa cemburu kelompok minoritas yang selama ini rentan menjadi korban diskriminasi dan tak punya pelantang suara.

Jadi secara umum, revisi uu penyiaran ini menjadi ancaman bagi semua warga negara karena pembuat hukum sedang mencoba melakukan pelanggaran hukum untuk mempersiapkan dasar hukum yang dapat membungkam suara kritis warga negara serta pengawasan media terhadap penyelenggaraan negara. maka itu, saya heran juga, para pembuat konten media sosial  kok tidak kompak bersuara lantang? Apakah ini petunjuk, para influencer media sosial sebenarnya adalah peliharaan dominus yang terkena stockholm syndrom?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar