Penulis: Nursyawal
Program Pascasarjana Unisba Bandung
Pendahuluan
Berdasarkan
laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat kasus korupsi
mencapai Rp. 62,93 triliun pada 2021. Jumlah ini naik
10,91% dibandingkan tahun 2020 yang tercatat sebesar Rp. 56,74 triliun.
Pelakunya menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi terbanyak adalah pejabat
negara (ASN, Pejabat BUMN, Kepala Daerah, anggota parlemen/ lembaga negara
lain), selain tentu saja pihak swasta. Kecenderungannya tengarai ICW terus
menaik (Kompas.com).
Mengapa korupsi di
Indonesia seperti sulit diberantas padahal sejak Tahun 2002 sudah ada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang membidani lahirnya lembaga independen anti-rasuah, KPK. Lembaga
KPK diberi tugas untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi, serta
melakukan program edukasi dan kesadaran publik untuk mencegah korupsi.
Menurut sebuah studi,
korupsi di Indonesia berakibat pada empat hal: ketidak-efisienan, distribusi
yang tidak merata, insentif yang tidak produktif pada anggaran negara, alienasi
politik, sikap skeptis masyarakat, dan ketidakstabilan politik (Handoyo, 2021).
Selain itu, korupsi sistematis dan terstruktur juga menciptakan tanah subur
bagi kegiatan kejahatan terorganisir, radikalisme, dan terorisme, termasuk
ketidakstabilan sosial-politik yang disebabkan oleh ketidakpercayaan politik.
Seorang kolumnis
Jakarta Post pernah mengatakan bahwa “Anda tidak bisa membersihkan lantai yang
kotor dengan sapu yang kotor” sebagai respons atas masalah korupsi di
Indonesia. Menurutnya, “mereka yang ingin melawan korupsi harus terlebih dahulu
membersihkan diri mereka sendiri” (Gunawan, The Jakarta Post, 2006). Artinya,
pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan baik jika ada teladan dari
pimpinan negaranya, karena hukuman berat terhadap pelaku korupsi tidak efektif.
Pertanyaannya, bukankah itu sama dengan mimpi di siang bolong, alias sama juga
bohong, karena tidak pernah ada teladan nyata di dunia ini?.
Kisah Teladan Dalam Sejarah Islam
Alkisah, sebelum terpilih menjadi khalifah, Umar bin Khatab adalah seorang pedagang sukses. Saat dinobatkan
menjadi Amirul Mukminin, Umar mendapat gaji dari kas negara,
yang jumlahnya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup Umar dan keluarga
secara sederhana. Selang
beberapa waktu, sekelompok sahabat senior seperti Ali, Utsman, dan Thalhah mendiskusikan masalah gaji khalifah itu, lalu memutuskan untuk mengusulkan kenaikan gaji Umar.
Tetapi tidak seorangpun yang berani menyampaikan usulan itu
kepada khalifah langsung. Untuk itu mereka menemui Hafshah, putri khalifah.
Mereka meminta Hafshah untuk meminta persetujuan Umar atas usulan kenaikan gaji itu.
Hafshah kemudian pergi menemui Umar dan menyampaikan proposal tersebut. Segera setelah Umar mendengarkan usulan tersebut, ia naik pitam dan membentak, "Siapakah orang-orang yang telah mengajukan usulan jahat ini?" Hafshah diam tidak menjawab.
Khalifah Umar berkata lagi, "Seandainya aku mengetahui mereka niscaya aku akan memukulnya hingga babak belur. Dan engkau putriku, engkau bisa melihat di rumahmu sendiri pakaian-pakaian terbaik yang biasa dipakai Rasulullah, makanan terbaik yang biasa dimakan Rasulullah, dan ranjang terbaik yang biasa beliau gunakan untuk tidur. Apakah milikku lebih buruk dari semua itu?".
"Tidak, ayah, tidak," jawab Hafshah.
"Kalau begitu katakan pada orang yang telah
mengirimmu," Umar diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan,
"Bahwa Rasulullah telah menetapkan standar kehidupan
seseorang dan aku tidak akan menyimpang dari standar yang beliau
gariskan." (Zakaria
dalam Khan, 2003).
Tentunya muncul
pertanyaan, bagaimana sih standar kehidupan yang disebut-sebut oleh Umar itu?
Kita dapat mengetahuinya dari beberapa kesaksian sahabat Nabi. Pada suatu hari salah seorang sahabat melihat Nabi
sedang tidur di atas tikar, lalu menangislah
ia, terharu dengan apa yang dilihatnya.
Nabi kemudian bertanya,
’’Mengapa
Engkau
menangis?”. Jawab sahabat
itu, ’’Engkau menyebut-nyebut Kaisar Rum dan Kirsa Parsi serta kerajaan
keduanya, sedang aku melihatmu tidur beralas tikar, padahal engkau Rasul
Allah untuk makhluk-Nya
dan khalifah-Nya di muka bumi-Nya”. Nabi berusaha menenangkan,
"Biarkanlah untuk mereka dunia, dan untuk kami akhirat,” lalu Nabi menyampaikan firman Allah, "Negeri
akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di muka bumi, kesudahan yang baik itu adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa" (QS Al Qashash, 83). Sebuah ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat lain yang
berkisah tentang harta Qarun (Zainu, 1995).
Bagaimana dengan
fasilitas di rumah Nabi? "Bantal
yang digunakan Rasulullah SAW. untuk alas tidur malam terbuat
dari kulit yang diisi dengan ijuk.” (H.R. Ahmad dalam Zainu, 1995). “Kasur milik Rasulullah SAW. terbuat dari
kulit yang diisi dengan ijuk.” (H.R. Muslim
dalam Zainu, 1995).
Ketika Nabi wafat,
tidak ada harta warisan yang ditinggalkannya. Dari Amru Ibnul Harits r.a, ia berkata,
“Rasulullah SAW. tidak meninggalkan satu Dinar maupun satu Dirham, dan
tidak pula meninggalkan seorang sahaya laki-laki maupun wanita, kecuali
bagalnya yang putih dan dikendarainya, senjatanya dan sebidang tanah yang diberikannya sebagai sedekah bagi ibnu
sabil." (H.R. Bukhari
dalam Zainu, 1995).
Padahal Nabi memiliki
kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Dari sebuah hikayat,
diceritakan ketika Panji-panji
Islam telah berkibar di
wilayah-wilayah yang luas meliputi cakrawala Persia dan Suriah.
Negeri-negeri persemakmuran Islam memiliki banyak harta.
Pada suatu saat di masa kejayaan Islam itu, putri nabi satu-satunya, Fatimah datang menemui Nabi. Setelah saling
menanyakan kabar dan kesehatan masing-masing, Fatimah
berkata dengan nada mengeluh, "Ayah, saat
ini terlalu banyak mulut yang harus
disuapi di rumahku. Aku dan suamiku, tiga putra kami, empat keponakan,
seorang pembantu, belum tamu-tamu yang datang silih berganti. Aku
harus memasak sendirian untuk mereka semua. Aku merasa sangat letih dan kecapekan. Aku mendengar
banyak tawanan wanita yang baru saja datang ke Madinah. Jika ayah bersedia memberiku salah satu dari
mereka untuk membantuku, itu akan menjadi pertolongan yang sangat
berharga bagiku".
Nabi menjawab dengan
suara parau, "Sayangku,
semua kekayaan dan tawanan perang yang engkau lihat adalah milik masyarakat muslim. Aku hanyalah bendahara, tugasku adalah mengumpulkan mereka dari berbagai wilayah
dan membagi-bagikan mereka kepada
orang-orang yang berhak. Dan engkau bukan termasuk yang memiliki hak, anakku, oleh karena itu aku tidak
bisa memberimu sesuatu pun dari aset negara ini".
Kemudian beliau melanjutkan, "Dunia
ini adalah tempat untuk beramal. Lakukan tugas-tugasmu dengan baik.
Jika engkau merasa lelah, ingatlah Allah dan mintalah pertolongan kepada-Nya.
Dia akan memberimu ketabahan dan kekuatan" (Abu Dawud dalam Khan, 2003).
Ini adalah kisah
nyata keteladanan kepemimpinan negara yang jarang diceritakan di
sekeolah-sekolah di Indonesia.
Korupsi dari Perspektif Komunikasi
Menurut
Rosenau (1992) komunikator politik adalah pembuat opini pemerintah atas hal
ihwal nasional yang multi-masalah. Menurutnya, yang termasuk dalam klasifikasi
komunikator politik adalah: Pertama, Pejabat Eksekutif (Presiden, Menteri,
dll), Kedua. Pejabat Legislatif (Senator atau anggota parlemen), dan ketiga,
pejabat Yudikatif (Hakim, Jaksa dan penegak hukum lain). Komunikator politik
memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Karl
Popper (2013) mengemukakan para aktor politik, yang disebutnya “penggagas”,
adalah komunikator politik dalam membangun opini publik atas isu tertentu. Komunikator
politik ini menawarkan gagasan ke tengah masyarakat yang kemudian memunculkan diskursus.
Bisa saja diskursus itu adalah korupsi.
Dalam konteks korupsi di Indonesia, para komunikator politik nampak menampilkan “pesan ambigu”, di satu sisi nampak ingin memberantas dengan menyusun undang-undang dengan hukuman yang tinggi kemudian mendirikan lembaga antirasuah KPK, namun pada sisi lain, justru menjadi pelaku terbanyak dan berusaha juga melemahkan penegakan hukum korupsi melalui revisi undang-undang.
Jika
kembali melihat kisah teladan dari para sahabat serta hadis sahih, seharusnya komunikator
politik memiliki integritas antikorupsi, antinepotisme, antikolusi yang radikal
dan militan karena dengan demikian akan tersebar pesan yang kuat pula kepada
khalayak negeri, bahwa bangsa Indonesia memang tidak toleran terhadap korupsi.
Tanpa radikalisme dan militansi para komunikator politik, maka sikap
antikorupsi akan terus menjadi hiasan di bibir tanpa wujud nyata. Mengutip Transparency
Internasional, yang dilaporkan VOA (01/02/2023) Corruption Perception Index
(Indeks Persepsi Korupsi/IPK) Indonesia untuk tahun pengukuran 2022 mengalami
penurunan skor 4 poin dari tahun 2021 menjadi 34, dan berada di peringkat 110
dari 180 negara yang disurvei. Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang
era reformasi. Bahkan lebih buruk dari tahun 1995 sebelum reformasi. Demikian
menurut Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan
Suyatmiko dalam keterangan persnya. Wawan mengatakan, skor dan peringkat ini
menunjukkan tidak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Di jaman
Nabi ketika komunikator politiknya begitu radikal dan militan dalam
antikorupsi, sejarah mencatat, setidaknya terjadi empat kali kasus korupsi. Yaitu
pertama, kasus ghulul atau penggelapan yang dituduhkan oleh sebagian pasukan
perang Uhud terhadap Nabi SAW. Kedua, kasus budak bernama Mid’am atau Kirkirah
yang menggelapkan mantel. Ketiga, kasus seseorang yang menggelapkan perhiasan
seharga 2 dirham seperti ada dalam hadits riwayat Abu Dawud. Keempat, kasus
hadiah (gratifikasi) bagi petugas pemungut zakat di kampung Bani Sulaim,
bernama Ibn al-Lutbiyyah (Rekaman Khutbah Jumat, 2017). Ini memberi pelajaran,
ketika Nabi dan para sahabat Nabi masih hidup, di saat teladan tidak hanya ada
di mulut, di mana para komunikator politik jelas memberi contoh, tindakan
korupsi tetap ada. Bayangkan di jaman kini ketika teladan dan sikap anti KKN
hanya kembang pidato kampanye pemilu, bagaimana masa depan bangsa itu?
Bacaan
Gunawan, T. Sima, 2006, The Jakarta Post May 26,
Handoyo, Puji dan Mufidah, 2021, The Corruption Eradication Commission's
Strategy For Reducing Corruption Crime In Indonesia, Journal Of Legal Research,
Vol.3 No.2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
Khan, M.E., 2003, Kisah-Kisah Teladan Rasulullah,
Para Sahabat Dan Orang-Orang Saleh.
Kumpulan Khutbah Jumat, 2017, NU Online dari https://islam.nu.or.id/khutbah/empat-kasus-korupsi-di-zaman-rasulullah-fyUVl
Popper, K., et. al., 2013, The Open Society
and Its Enemies.
Rosenau, J.N., et.al., 1992, Governance
without Government: Order and Change in World Politics.
Zainu, M.J., 1995, Teladan Utama Itu Muhammad
Rasulullah: Akhlak Nabawiah Dan Sifat-Sifat Keutamaannya.
VOA, 2023, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022
Menurun, Terburuk Sejak Reformasi dari https://www.voaindonesia.com/a/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2022-menurun-terburuk-sejak-reformasi/6942025.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar