21 Juni 2024

Korupsi di Negara Nir-teladan

Penulis: Nursyawal

Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi
Program Pascasarjana Unisba Bandung

Pendahuluan

Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp. 62,93 triliun pada 2021. Jumlah ini naik 10,91% dibandingkan tahun 2020 yang tercatat sebesar Rp. 56,74 triliun. Pelakunya menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi terbanyak adalah pejabat negara (ASN, Pejabat BUMN, Kepala Daerah, anggota parlemen/ lembaga negara lain), selain tentu saja pihak swasta. Kecenderungannya tengarai ICW terus menaik (Kompas.com).

Mengapa korupsi di Indonesia seperti sulit diberantas padahal sejak Tahun 2002 sudah ada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang membidani lahirnya lembaga independen anti-rasuah, KPK. Lembaga KPK diberi tugas untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi, serta melakukan program edukasi dan kesadaran publik untuk mencegah korupsi.

Menurut sebuah studi, korupsi di Indonesia berakibat pada empat hal: ketidak-efisienan, distribusi yang tidak merata, insentif yang tidak produktif pada anggaran negara, alienasi politik, sikap skeptis masyarakat, dan ketidakstabilan politik (Handoyo, 2021). Selain itu, korupsi sistematis dan terstruktur juga menciptakan tanah subur bagi kegiatan kejahatan terorganisir, radikalisme, dan terorisme, termasuk ketidakstabilan sosial-politik yang disebabkan oleh ketidakpercayaan politik.

Seorang kolumnis Jakarta Post pernah mengatakan bahwa “Anda tidak bisa membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor” sebagai respons atas masalah korupsi di Indonesia. Menurutnya, “mereka yang ingin melawan korupsi harus terlebih dahulu membersihkan diri mereka sendiri” (Gunawan, The Jakarta Post, 2006). Artinya, pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan baik jika ada teladan dari pimpinan negaranya, karena hukuman berat terhadap pelaku korupsi tidak efektif. Pertanyaannya, bukankah itu sama dengan mimpi di siang bolong, alias sama juga bohong, karena tidak pernah ada teladan nyata di dunia ini?.

 

Kisah Teladan Dalam Sejarah Islam

Alkisah, sebelum terpilih menjadi khalifah, Umar bin Khatab adalah seorang pedagang sukses. Saat  dinobatkan menjadi Amirul Mukminin, Umar mendapat gaji dari kas negara, yang jumlahnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Umar dan keluarga secara sederhana. Selang beberapa waktu, sekelompok sahabat senior seperti Ali, Utsman, dan Thalhah mendiskusikan masalah gaji khalifah itu, lalu memutuskan untuk mengusulkan kenaikan gaji Umar. Tetapi tidak seorangpun yang berani menyampaikan usulan itu kepada khalifah langsung. Untuk itu mereka menemui Hafshah, putri khalifah. Mereka meminta Hafshah untuk meminta persetujuan Umar atas usulan kenaikan gaji itu.

Hafshah kemudian pergi menemui Umar dan menyampaikan proposal tersebut. Segera setelah Umar mendengarkan usulan tersebut, ia naik pitam dan membentak, "Siapakah orang-orang yang telah mengajukan usulan jahat ini?" Hafshah diam tidak menjawab. 

Khalifah Umar berkata lagi, "Seandainya aku mengetahui mereka niscaya aku akan memukulnya hingga babak belur. Dan engkau putriku, engkau bisa melihat di rumahmu sendiri pakaian-pakaian terbaik yang biasa dipakai Rasulullah, makanan terbaik yang biasa dimakan Rasulullah, dan ranjang terbaik yang biasa beliau gunakan untuk tidur. Apakah milikku lebih buruk dari semua itu?".

"Tidak, ayah, tidak," jawab Hafshah.

"Kalau begitu katakan pada orang yang telah mengirimmu," Umar diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Bahwa Rasulullah telah menetapkan standar kehidupan seseorang dan aku tidak akan menyimpang dari standar yang beliau gariskan." (Zakaria dalam Khan, 2003).

Tentunya muncul pertanyaan, bagaimana sih standar kehidupan yang disebut-sebut oleh Umar itu? Kita dapat mengetahuinya dari beberapa kesaksian sahabat Nabi. Pada suatu hari salah seorang sahabat melihat Nabi sedang tidur di atas tikar, lalu menangislah ia, terharu dengan apa yang dilihatnya. Nabi kemudian bertanya, ’’Mengapa Engkau menangis?”. Jawab sahabat itu, ’’Engkau menyebut-nyebut Kaisar Rum dan Kirsa Parsi serta kerajaan keduanya, sedang aku melihatmu tidur beralas tikar, padahal engkau Rasul Allah untuk makhluk-Nya dan khalifah-Nya di muka bumi-Nya”. Nabi berusaha menenangkan, "Biarkanlah untuk mereka dunia, dan untuk kami akhirat,” lalu Nabi menyampaikan firman Allah, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi, kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa" (QS Al Qashash, 83). Sebuah ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat lain yang berkisah tentang harta Qarun (Zainu, 1995).

Bagaimana dengan fasilitas di rumah Nabi? "Bantal yang digunakan Rasulullah SAW. untuk alas tidur malam terbuat dari kulit yang diisi dengan ijuk.” (H.R. Ahmad dalam Zainu, 1995). “Kasur milik Rasulullah SAW. terbuat dari kulit yang diisi dengan ijuk.” (H.R. Muslim dalam Zainu, 1995).

Ketika Nabi wafat, tidak ada harta warisan yang ditinggalkannya. Dari Amru Ibnul Harits r.a, ia berkata, “Rasulullah SAW. tidak meninggalkan satu Dinar maupun satu Dirham, dan tidak pula meninggalkan seorang sahaya laki-laki maupun wanita, kecuali bagalnya yang putih dan dikendarainya, senjatanya dan sebidang tanah yang diberikannya sebagai sedekah bagi ibnu sabil." (H.R. Bukhari dalam Zainu, 1995).

Padahal Nabi memiliki kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Dari sebuah hikayat, diceritakan ketika Panji-panji Islam telah berkibar di wilayah-wilayah yang luas meliputi cakrawala Persia dan Suriah. Negeri-negeri persemakmuran Islam memiliki banyak harta. Pada suatu saat di masa kejayaan Islam itu, putri nabi satu-satunya, Fatimah datang menemui Nabi. Setelah saling menanyakan kabar dan kesehatan masing-masing, Fatimah berkata dengan nada mengeluh, "Ayah, saat ini terlalu banyak mulut yang harus disuapi di rumahku. Aku dan suamiku, tiga putra kami, empat keponakan, seorang pembantu, belum tamu-tamu yang datang silih berganti. Aku harus memasak sendirian untuk mereka semua. Aku merasa sangat letih dan kecapekan. Aku mendengar banyak tawanan wanita yang baru saja datang ke Madinah. Jika ayah bersedia memberiku salah satu dari mereka untuk membantuku, itu akan menjadi pertolongan yang sangat berharga bagiku".

Nabi menjawab dengan suara parau, "Sayangku, semua kekayaan dan tawanan perang yang engkau lihat adalah milik masyarakat muslim. Aku hanyalah bendahara, tugasku adalah mengumpulkan mereka dari berbagai wilayah dan membagi-bagikan mereka kepada orang-orang yang berhak. Dan engkau bukan termasuk yang memiliki hak, anakku, oleh karena itu aku tidak bisa memberimu sesuatu pun dari aset negara ini". Kemudian beliau melanjutkan, "Dunia ini adalah tempat untuk beramal. Lakukan tugas-tugasmu dengan baik. Jika engkau merasa lelah, ingatlah Allah dan mintalah pertolongan kepada-Nya. Dia akan memberimu ketabahan dan kekuatan" (Abu Dawud dalam Khan, 2003).

Ini adalah kisah nyata keteladanan kepemimpinan negara yang jarang diceritakan di sekeolah-sekolah di Indonesia.

Korupsi dari Perspektif Komunikasi

           Menurut Rosenau (1992) komunikator politik adalah pembuat opini pemerintah atas hal ihwal nasional yang multi-masalah. Menurutnya, yang termasuk dalam klasifikasi komunikator politik adalah: Pertama, Pejabat Eksekutif (Presiden, Menteri, dll), Kedua. Pejabat Legislatif (Senator atau anggota parlemen), dan ketiga, pejabat Yudikatif (Hakim, Jaksa dan penegak hukum lain). Komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Karl Popper (2013) mengemukakan para aktor politik, yang disebutnya “penggagas”, adalah komunikator politik dalam membangun opini publik atas isu tertentu. Komunikator politik ini menawarkan gagasan ke tengah masyarakat yang kemudian memunculkan diskursus. Bisa saja diskursus itu adalah korupsi.

           Dalam konteks korupsi di Indonesia, para komunikator politik nampak menampilkan “pesan ambigu”, di satu sisi nampak ingin memberantas dengan menyusun undang-undang dengan hukuman yang tinggi kemudian mendirikan lembaga antirasuah KPK, namun pada sisi lain, justru menjadi pelaku terbanyak dan berusaha juga melemahkan penegakan hukum korupsi melalui revisi undang-undang.

           Jika kembali melihat kisah teladan dari para sahabat serta hadis sahih, seharusnya komunikator politik memiliki integritas antikorupsi, antinepotisme, antikolusi yang radikal dan militan karena dengan demikian akan tersebar pesan yang kuat pula kepada khalayak negeri, bahwa bangsa Indonesia memang tidak toleran terhadap korupsi. Tanpa radikalisme dan militansi para komunikator politik, maka sikap antikorupsi akan terus menjadi hiasan di bibir tanpa wujud nyata. Mengutip Transparency Internasional, yang dilaporkan VOA (01/02/2023) Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) Indonesia untuk tahun pengukuran 2022 mengalami penurunan skor 4 poin dari tahun 2021 menjadi 34, dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. Bahkan lebih buruk dari tahun 1995 sebelum reformasi. Demikian menurut Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko dalam keterangan persnya. Wawan mengatakan, skor dan peringkat ini menunjukkan tidak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

           Di jaman Nabi ketika komunikator politiknya begitu radikal dan militan dalam antikorupsi, sejarah mencatat, setidaknya terjadi empat kali kasus korupsi. Yaitu pertama, kasus ghulul atau penggelapan yang dituduhkan oleh sebagian pasukan perang Uhud terhadap Nabi SAW. Kedua, kasus budak bernama Mid’am atau Kirkirah yang menggelapkan mantel. Ketiga, kasus seseorang yang menggelapkan perhiasan seharga 2 dirham seperti ada dalam hadits riwayat Abu Dawud. Keempat, kasus hadiah (gratifikasi) bagi petugas pemungut zakat di kampung Bani Sulaim, bernama Ibn al-Lutbiyyah (Rekaman Khutbah Jumat, 2017). Ini memberi pelajaran, ketika Nabi dan para sahabat Nabi masih hidup, di saat teladan tidak hanya ada di mulut, di mana para komunikator politik jelas memberi contoh, tindakan korupsi tetap ada. Bayangkan di jaman kini ketika teladan dan sikap anti KKN hanya kembang pidato kampanye pemilu, bagaimana masa depan bangsa itu?

 

 

Bacaan

Gunawan, T. Sima, 2006, The Jakarta Post May 26,

 

Handoyo, Puji dan Mufidah, 2021, The Corruption Eradication Commission's Strategy For Reducing Corruption Crime In Indonesia, Journal Of Legal Research, Vol.3 No.2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Khan, M.E., 2003, Kisah-Kisah Teladan Rasulullah, Para Sahabat Dan Orang-Orang Saleh.

 

Kumpulan Khutbah Jumat, 2017, NU Online  dari https://islam.nu.or.id/khutbah/empat-kasus-korupsi-di-zaman-rasulullah-fyUVl

 

Popper, K., et. al., 2013, The Open Society and Its Enemies.

 

Rosenau, J.N., et.al., 1992, Governance without Government: Order and Change in World Politics.

 

Zainu, M.J., 1995, Teladan Utama Itu Muhammad Rasulullah: Akhlak Nabawiah Dan Sifat-Sifat Keutamaannya.

 

VOA, 2023, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 Menurun, Terburuk Sejak Reformasi dari https://www.voaindonesia.com/a/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2022-menurun-terburuk-sejak-reformasi/6942025.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar