13 Juni 2025

Erich Fromm: Komunikator Sains yang Keren

Nursyawal, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi UNISBA Bandung 


I. Kenalan Dulu: Erich Fromm, Si Jembatan Ilmu dan Kehidupan

Pernah denger nama Erich Fromm? Ngga pernah? Ok saya kenalin ya. Dia itu di zamannya, kayak rockstar gitu di dunia akademis. Dia hidup dari tahun 1900 sampai 1980. Fromm ini seorang pemikir keren dari Jerman, ahli psikologi, dan filsuf yang punya cara unik buat ngajak orang biasa ngertiin persoalan masyarakat yang rumit. Bayangin, dia udah jual jutaan buku jauh sebelum ada internet dan media sosial loh ! 

Anehnya, meskipun dia sepopuler itu, banyak yang lupa sama dia di buku-buku sosiologi kiwari. Padahal, dia punya gelar Ph.D di sosiologi dan terlibat banget sama kelompok pemikir terkenal yang namanya Mazhab Frankfurt. Pengaruhnya nyebar ke seluruh dunia, terutama di Amerika Latin dan Eropa.

Nah, kenapa sih kita perlu bahas Fromm sekarang? Ya, karena ide-idenya relevan banget sama masalah-masalah yang kita hadapi hari ini: kayak munculnya pemimpin yang banyak pendukung tapi sebenernya tuh otoriter (contoh di AS, ada Trumpisme, kalo di Konoha mah takut ah nyebut namanya), makin banyak orang yang ikut-ikutan tanpa mikir (di media sosial), dan gimana logika pasar (ketika semua diukur pakai uang) makin mendominasi hidup kita.

Artikel ini bakal ngajak kamu kenalan sama cara Fromm berkomunikasi, gimana dia bikin ide-ide susah jadi gampang dimengerti, apa aja tantangan yang dia hadapi, dan kenapa posisinya yang "beda dengan kebanyakan orang" justru bikin dia jenius. Tujuannya? Biar kita bisa belajar gimana ilmu pengetahuan bisa nyambung sama kehidupan sehari-hari dan bantu kita ngertiin dunia.

II. Visi Fromm: Ilmu Itu Buat Apa Sih?

Fromm percaya banget kalau ilmu sosiologi itu bukan cuma buat dipelajari di kampus, tapi harus bisa "membuat hidup orang jadi lebih baik" dengan memahami kondisi masyarakat. Ini mirip banget sama tujuan komunikasi sains: pakai ilmu buat kebaikan masyarakat dan ngatasin masalah global yang ngancam kita semua. Fromm selalu nanya, "Ilmu itu buat apa?" Pertanyaan ini penting banget, apalagi di zaman sekarang. Dia pengen ilmu bisa "mendiagnosis kondisi manusia" biar hidup kita "lebih baik dan maju."

Dia juga aktif banget di gerakan sosial dan keadilan. Baginya, sosiologi itu alat penting buat "keterlibatan rakyat" dan buat mencapai "tujuan moral dan politik." Ini beda sama pandangan ilmu yang katanya harus "bebas nilai" (wajib objektif katanya). Fromm nunjukkin kalau ilmu sosial itu juga punya peran moral. Jadi, kalau kita ngomongin masalah besar kayak perubahan iklim atau kesehatan, cuma nyodorin fakta aja mungkin nggak cukup. Kita juga perlu sentuh sisi emosional dan etisnya, kayak yang Fromm lakuin.

Fromm itu orangnya open-minded banget. Dia nggak mau terpaku sama satu bidang ilmu aja. Dia belajar sosiologi, tapi juga nyampur ide-ide dari Marxisme (tentang masyarakat dan ekonomi), Freudian (tentang pikiran bawah sadar), Weberian (tentang kekuasaan dan birokrasi), dan eksistensialisme (tentang makna hidup). Dia bahkan ngambil wawasan dari arkeologi, antropologi, sejarah, psikologi, dan ilmu saraf. Campuran ide-ide ini, kata para ahli, adalah "kekuatan besar sosiologi."

Kemampuan Fromm buat ngatasin "tantangan global yang mengancam masa depan umat manusia" datang dari sini. Dia nggak suka kalau ilmu sosial cuma fokus ke satu sisi (misalnya, cuma psikologi atau cuma struktur sosial). Dengan nyampur berbagai ide, dia bisa ngertiin fenomena kompleks kayak psikologi sosial fasisme (kenapa orang mau ikut pemimpin jahat) dengan lebih dalam. Ini nunjukkin kalau buat komunikasi sains hari ini, kita juga harus keluar dari "kotak" disiplin ilmu kita. Nyatuin berbagai perspektif ilmiah bikin ceritanya lebih utuh dan meyakinkan.

Fromm juga bilang kalau fenomena kayak Nazisme "nggak bisa dipahami cuma pakai logika rasional." Teori Freud tentang alam bawah sadar bantu kita "memahami irasionalitas manusia dalam Perang Dunia Pertama dan kebangkitan Hitler." Ini penting banget buat komunikasi sains sekarang, karena seringkali orang nggak percaya fakta ilmiah (misalnya soal vaksin TBC atau perubahan iklim) karena ada keyakinan irasional, emosi, atau bias psikologis yang kuat. Karya Fromm ngasih kita cara buat berkomunikasi sains dengan ngakuin dan ngatasin sisi non-rasional dari tingkah manusia.

III. Jago Bikin Ide Sulit Jadi Gampang: Strategi Komunikasi Fromm

Fromm punya bakat luar biasa buat ngejelasin konsep-konsep teori yang rumit jadi bahasa yang gampang dimengerti banyak orang. Gaya penulisannya itu jelas, kayak ngobrol, dan ngasih inspirasi. Jadi, ide-idenya yang mendalam bisa nyampe ke akademisi dan juga pembaca umum yang terpelajar. Buku-bukunya juga sering ringkas, kayak buku lejen di masanya The Art of Loving (Seni Mencinta) yang cuma di bawah 140 halaman, bikin makin gampang diakses. Dia jago banget mempopulerkan dan menafsirkan ulang ide-ide pemikir Eropa terkenal kayak Freud dan Marx buat pembaca Amerika. Dia ngenalin konsep-konsep kayak alienasi (perasaan terasing) dan teori sifat manusia Marx dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris lewat terjemahan yang gampang dan esai pengantar yang mendalam.

Peran penting "buku-buku besar" terlarisnya dalam nyebarin ide-idenya ke seluruh dunia itu nggak bisa diremehin. Fromm punya kemampuan unik dan bertahan lama buat ngeluarin buku-buku ilmu sosial terlaris selama hampir empat dekade, ngejangkau jutaan pembaca di berbagai bahasa jauh sebelum era digital. Keberhasilannya yang luar biasa ini bikin nggak ada sosiolog publik lain yang bisa nyamain jumlah pembacanya.

Tabel 1: Buku-Buku Terlaris Erich Fromm dan Dampak Publiknya

Judul Buku

Tahun Publikasi

Perkiraan Jumlah Salinan Terjual

Jumlah Terjemahan

Dampak Publik/Intelektual Utama

Escape from Freedom

1941

5 juta+

29

Membangun pemikiran tentang karakter otoriter dan sosiologi emosi; membuat Fromm terkenal.

Man for Himself

1947

N/A

N/A

Membentuk The Lonely Crowd karya David Riesman; menginspirasi kritik Perang Dingin terhadap konformitas.

The Sane Society

1955

3 juta+

29

Mempengaruhi gerakan politik tahun 1960-an dan Marxisme akademis.

The Art of Loving

1956

25 juta+

33

Membuatnya menjadi intelektual selebriti global; mempengaruhi Martin Luther King.

Marx's Concept of Man

1961

1 juta+

N/A

Mempopulerkan pemikiran filosofis dan sosiologis Marx ke pasar massal.

May Man Prevail?

1961

500.000

N/A

Memposisikannya sebagai kritikus radikal terkemuka kebijakan luar negeri Amerika.

The Revolution of Hope

1968

2,5 juta+

N/A

Beresonansi secara emosional dengan pembaca yang terperangkap oleh krisis sosial.

To Have or to Be

1976

8 juta+

N/A

Menginspirasi gerakan Hijau di Jerman.

Keberhasilan "buku-buku besar" Fromm nunjukkin kalau dampak sosial yang luas buat ide-ide kompleks seringkali butuh pendekatan multi-platform, pakai konten panjang dan komunikasi bentuk pendek yang beragam. Pengaruh Fromm nggak cuma dari bukunya; itu diperkuat banget sama keterlibatannya yang aktif di berbagai media, termasuk pidato publik, majalah populer, dan intervensi politik langsung. Strategi multi-arah ini bikin dia bisa ngejangkau dan memengaruhi berbagai audiens di luar lingkaran akademis tradisional, dan efektif banget buat nguatkan pesannya. Buat komunikasi sains sekarang, ini berarti kalau cuma ngandelin publikasi jurnal atau berita utama aja mungkin nggak cukup. Strategi yang komprehensif harus pakai berbagai platform kayak media sosial, buku sains populer, kuliah umum, podcast, dan ringkasan kebijakan biar jangkauannya maksimal dan bisa memengaruhi diskusi publik, mirip kayak usaha komunikasi Fromm yang luas.

Kekuatan abadi narasi dan konten panjang yang gampang diakses juga ditunjukin sama pengaruh berkelanjutan dari karya-karya utama Fromm. Buku-buku kayak Escape from Freedom dan The Art of Loving nggak cuma terjual jutaan eksemplar tapi juga diterjemahkan ke puluhan bahasa, ngejaga relevansi dan dampaknya selama beberapa dekade. Fenomena ini nunjukkin kalau narasi yang ditulis dengan baik dan gampang diakses yang ngebahas dilema fundamental manusia dan masyarakat punya umur panjang dan jangkauan global yang unik, ngelampauin tren akademis sesaat atau siklus media yang cepat berlalu. Buat komunikasi sains, ini nunjukkin nilai mendalam dari investasi dalam narasi yang menarik dan konten panjang yang gampang diakses, kayak buku sains populer atau dokumenter, yang bisa beresonansi dalam dan luas, jadi alat yang abadi buat pemahaman dan keterlibatan publik, daripada cuma fokus pada penyebaran yang cepat dan jangka pendek.

IV. Sisi Lain Ketenaran: Pelajaran Buat Komunikasi Sains

Kesuksesan Fromm dalam mempopulerkan ide-ide rumit ternyata punya dampak besar pada karier profesionalnya. Ini nunjukkin dilema umum yang sering dihadapi para intelektual publik. Buku terlarisnya, The Art of Loving, jadi sasaran utama para kritikus. Mereka nggak adil ngelabelin dia "guru swalayan" dan "penulis populer recehan," bahkan nyamain dia sama tokoh kayak Norman Vincent Peale (yang terkenal dengan "kekuatan berpikir positif"). Pandangan negatif ini ngerusak reputasi akademinya, terutama di Amerika Serikat, dan bikin dia dicap negatif sama intelektual arus utama maupun radikal.

Popularitasnya ini bikin batas-batas profesional yang lagi coba dibangun sosiolog setelah Perang Dunia II jadi goyah. Ilmu sosiologi pengen ngamanin "status ilmiahnya" dan ngebedain karya akademis elit dari apa yang dianggap cuma popularisasi. Daya tarik publik yang luas sering dipandang dengan curiga, diartikan sebagai tanda pengikisan intelektual atau kompromi terhadap disiplin akademis. Penolakan The Art of Loving sebagai "swalayan" bukan cuma kritik isinya, tapi tindakan "menjaga batas" yang disengaja di kalangan akademisi. Ini nunjukkin tantangan buat komunikasi sains: kalau kamu nyampein temuan ilmiah yang punya dampak pribadi atau perilaku langsung (misalnya, soal kesehatan atau psikologi), kamu berisiko dicap terlalu sederhana atau cuma ngasih resep, yang ngerusak kredibilitas ilmu. Begitu kata para akademisi.

Pertentangan ini, makin parah karena debat Fromm-Marcuse (di mana kritik Herbert Marcuse yang nyebut Fromm "konformis" jadi populer), akhirnya bikin Fromm dikeluarin dari daftar sosiolog publik penting dan akhirnya "dilupakan" di sosiologi profesional. Karyanya makin lama didefinisiin sebagai karya "penulis populer daripada seorang akademisi." Fenomena ini, yang juga terjadi pada Margaret Mead, nunjukkin kalau "status ilmiah cenderung menurun seiring dengan meningkatnya popularitas di kalangan audiens yang dianggap berstatus lebih rendah oleh intelektual dan akademisi." Ini berarti, jadi super terkenal justru bisa "ngerusak reputasi" di kalangan akademis. Ini pelajaran penting buat komunikator sains: meskipun keterlibatan publik makin didorong, jadi selebriti bisa bikin akademisi curiga atau nolak, jadi ada pilihan sulit antara dampak publik yang luas atau pengakuan sejawat.

Penting juga buat ngakuin kalau beberapa penurunan sosiologi publik Fromm itu karena "kelemahan dan keterbatasan inheren dari karyanya." Misalnya, dia pakai bahasa yang bias gender, kayak "sifat manusia," dan pandangan kuno tentang homoseksualitas, yang bikin generasi feminis dan sarjana modern jadi nggak suka. Selain itu, jaraknya yang makin jauh dari ilmu sosial akademis arus utama bikin beberapa buku populernya lebih banyak dipengaruhi pandangan filosofisnya daripada penelitian psikologi sosial empiris yang ketat, yang bikin daya tariknya di kalangan sosiolog profesional jadi berkurang.

V. Marginalitas Optimal: Rahasia Komunikasi Inovatif Fromm

Konsep "marginalitas optimal" itu kunci buat ngertiin perjalanan unik Fromm dan kemampuannya buat komunikasi publik yang inovatif. Ini ngejelasin posisinya yang "cukup dekat sama energi intelektual dan modal budaya Weber, Durkheim, Simmel, dan terutama Marx dan Freud buat ngasih wawasan baru yang kuat ke sosiologi," tapi di saat yang sama "cukup jauh dari hierarki status sosiologi arus utama buat nolak ortodoksi sosiologis yang ngehambat kemajuan intelektual." Posisi unik inilah yang bikin sosiologi publiknya berkembang.

Pengalaman masa kecil Fromm itu penting banget dalam ngebentuk "marginalitas optimal" ini. Pengalaman awalnya sebagai pemuda Yahudi di Jerman yang didominasi Kristen, ditambah neurosis pribadi dan dampak mendalam dari ngeliat kekejaman Perang Dunia I, bikin dia punya pandangan kritis. Ini yang bikin dia tertarik sama Freud dan Marx, tapi dengan cara yang nggak biasa, berakar dari Yudaisme profetik. Pelatihan akademis dan klinisnya makin ngukuhin jalan ini; meskipun dia dapet PhD di sosiologi di bawah Alfred Weber, dia sengaja nolak karier akademis tradisional. Pelatihan psikoanalitiknya yang mendalam sama Frieda Reichmann dan keterlibatannya sama Salman Rabinkow, seorang sosialis Yahudi, ngebentuk visi profetik dan komitmen pada humanisme radikal yang ngelampauin batas-batas profesional konvensional.

Jaringan intelektualnya juga punya peran penting dalam memfasilitasi marginalitasnya. Keterlibatannya sama Mazhab Frankfurt ngasih dia pengalaman riset empiris dan dukungan finansial, sementara gerakan neo-Freudian (termasuk tokoh kayak Karen Horney dan Harry Stack Sullivan) bikin dia bisa ngembangin kritik kuat terhadap ortodoksi Freudian. Selain itu, hubungannya sama aliran antropologi "budaya dan kepribadian," terutama lewat Margaret Mead, ngenalin dia pada visi ilmu sosial publik yang langsung ngebahas isu budaya, perang, dan nasionalisme.

Kemandirian finansial Fromm, dari praktik klinisnya dan penyelesaian besar dari Mazhab Frankfurt, ngasih dia otonomi buat ngejar agenda intelektualnya tanpa terikat sama institusi akademis atau asosiasi psikoanalitik yang dogmatis. Kebebasan ini bikin dia bisa "ngehindarin ortodoksi profesional atau intelektual apa pun" dan ngembangin suara publik yang nggak terkompromikan. Posisi unik ini nunjukkin kalau inovasi sejati dalam komunikasi publik bidang-bidang kompleks seringkali datang dari posisi yang informatif oleh ketelitian disipliner dan dibebaskan dari konvensi-konvensi yang paling membatasi. Kemampuan Fromm buat nyintesis Marx, Freud, dan Weber, terus nyebarin ide-ide kompleks ini secara luas, difasilitasi langsung sama "marginalitas optimalnya." Dia dilatih di sosiologi dan psikoanalisis tapi sengaja milih buat nggak sepenuhnya tertanam dalam struktur profesional mereka. Ini bikin dia bisa "nolak ortodoksi sosiologis yang ngehambat kemajuan intelektual." Buat komunikasi sains, ini berarti individu atau inisiatif yang ngejembatani keahlian akademis dengan kemauan buat nantang norma komunikasi konvensional (misalnya, jargon berlebihan, eksklusivitas peer-review) mungkin lebih efektif dalam ngejangkau dan ngelibatin publik yang beragam, seringkali dengan bertindak sebagai "orang dalam-luar."

Konsep "fasilitator marginalitas" itu penting buat ngertiin gimana individu bisa menavigasi dan memanfaatkan posisi marginal buat ngedapetin pengaruh publik. Keterlibatan Fromm sama lembaga psikoanalitik alternatif, jaringan neo-Freudian, dan aliran "budaya dan kepribadian" ngasih dia dukungan intelektual esensial, jalur penerbitan alternatif (penerbit komersial), dan kemandirian ekonomi. Buat komunikasi sains, ini nunjukkin kalau buat ngedorong keterlibatan publik yang inovatif mungkin perlu bikin dan dukung struktur alternatif (misalnya, pusat interdisipliner, beasiswa yang berorientasi pada publik, platform penerbitan non-tradisional) buat para ilmuwan yang pengen berkomunikasi secara luas. Dukungan semacam itu bisa bantu ngurangin risiko yang terkait sama penyimpangan dari jalur karier akademis tradisional dan sistem penghargaan, jadi bisa ngebentuk generasi baru komunikator sains yang berdampak.

VI. Kenapa Ide Fromm Masih Relevan Banget Hari Ini?

Ide-ide Fromm masih sangat relevan buat ngatasin krisis global yang kita hadapi sekarang. Analisisnya tentang otoritarianisme (pemimpin yang suka maksa), narsisme (memuja diri sendiri), konformitas (ikut-ikutan), dan alienasi (merasa terasing) ngasih kita kerangka buat ngertiin fenomena kayak Trumpisme, Brexit, dan populisme otoriter yang lagi naik daun di seluruh dunia. Ini semua butuh strategi komunikasi yang nggak cuma nyodorin penjelasan sederhana. Kritiknya terhadap "konformitas otomatisasi" (ikut-ikutan tanpa sadar) dan "karakter pemasaran" (hidup kayak produk yang dijual) ngasih kita lensa yang kuat buat ngertiin tantangan komunikasi sains di era media sosial yang didominasi algoritma dan "digital persona palsu." Fromm bilang, komunikasi sains harus aktif ngelawan tekanan konformis dan keterlibatan dangkal ini, bukan cuma ngikutin "pasar" yang rame, biar bisa ngebangun pemahaman publik yang dalam dan pemikiran kritis.

Penting banget bagi komunikator sains buat nggak cuma nyampein fakta, tapi juga ngertiin dinamika psikologis dan sosial yang ngebentuk gimana publik nerima informasi ilmiah. Ini adalah inti dari warisan Fromm. Penekanannya pada "politik narsisme" dan "karakter otoriter" ngasih kerangka penting buat ngertiin kenapa penerimaan publik terhadap informasi ilmiah (misalnya, perubahan iklim, efektivitas vaksin) seringkali dibentuk oleh daya tarik emosional, politik identitas, dan dinamika irasional, bukan cuma argumen rasional. Karyanya tentang "politik emosi massa" dan "akar psikologis rasa malu" nunjukkin kalau cuma ngasih lebih banyak data itu nggak cukup. Buat komunikasi sains, ini berarti kita perlu bergerak dari "model defisit" (cuma ngasih informasi lebih banyak) ke "analisis psikososial" 1 yang ngatasin hambatan emosional, budaya, dan identitas yang mendasari pemahaman dan penerimaan. Pendekatan ini bertujuan buat ngertiin mengapa orang percaya apa yang mereka yakini, bukan cuma apa yang mereka yakini, biar komunikasinya lebih efektif dan etis.

Karya pionir Fromm tentang sosiologi emosi ngasih lensa berharga buat komunikator sains buat ngertiin dan ngatasin daya tarik emosional gerakan ekstremis dan peran irasionalitas dalam persepsi publik terhadap isu-isu ilmiah, kayak keraguan vaksin atau penolakan perubahan iklim. Selain itu, pengaruh globalnya yang masif, dibuktiin sama jutaan pembaca dan puluhan terjemahan di Amerika Latin, Eropa Timur dan Tengah, dan Jerman, jadi model yang menarik buat upaya komunikasi sains internasional. Jangkauan global ini nunjukkin perlunya ngelampauin perspektif sempit dan aktif ngelibatin berbagai konteks budaya biar pengetahuan ilmiah dipahami dan diterapkan secara universal.

Karier Fromm jelas nunjukkin pertentangan yang terus-menerus antara kedalaman ilmiah dan aksesibilitas yang luas. Meskipun karyanya kadang punya kelemahan karena tuntutan popularisasi, di saat yang sama dia nunjukkin kekuatan besar pendekatan interdisipliner buat ngejangkau dan memengaruhi berbagai audiens.

VII. Kesimpulan

Perjalanan Erich Fromm sebagai sosiolog publik global ngasih cetak biru yang menarik buat bidang komunikasi sains. Kariernya nunjukkin dampak mendalam yang bisa ditimbulkan oleh komunikasi interdisipliner yang gampang diakses dalam ngejembatani kesenjangan antara pengetahuan kompleks dan pemahaman publik. Pengalaman Fromm juga nunjukkin jebakan inheren dari popularisasi, terutama risiko marginalisasi akademis dan stigma "swalayan," yang menekankan perlunya institusi akademis buat ngevaluasi ulang mekanisme "penjagaan batas" mereka.

Pelajaran pentingnya adalah potensi transformatif dari ngebangun "marginalitas optimal" dan ngedukung suara-suara yang beragam dalam komunitas ilmiah. Dengan ngebentuk lingkungan di mana para sarjana dilatih secara ketat dan dibebaskan dari ortodoksi disipliner yang kaku, komunikasi sains bisa ngasilin pendekatan yang lebih inovatif dan berdampak. Relevansi abadi Fromm terletak pada pendekatan humanistiknya, yang secara konsisten menekankan dimensi psikososial dari keterlibatan publik. Perspektif ini penting banget buat ngatasin tantangan kontemporer di mana penerimaan publik terhadap informasi ilmiah sangat terkait sama emosi, identitas, dan kecemasan sosial.

Pada akhirnya, warisan Fromm menyerukan komunikasi sains yang menyeimbangkan kedalaman ilmiah dengan aksesibilitas yang luas, didorong oleh tujuan etis buat ningkatin kualitas hidup manusia. Dia menganjurkan buat ngebangun "kesopanan dan subversi" dalam wacana publik 1, mastiin kalau wawasan ilmiah nggak cuma dipahami tapi juga berkontribusi pada pemikiran kritis dan peningkatan sosial. Kebangkitan minat global yang berkelanjutan terhadap karya Fromm adalah bukti sifat abadi dari keprihatinannya dan kebutuhan abadi akan para sarjana yang bisa ngejembatani kesenjangan antara pengetahuan kompleks dan pemahaman publik, dengan kuat menetapkannya sebagai model dasar buat komunikasi sains yang efektif.

Sumber bacaan : Erich Fromm and Global Public Sociology, Neil McLaughlin, 2021

12 Juni 2025

Colour My World

As time goes on

I realize
Just what you mean
To me

And now
Now that you're near

Promise your love
That I've waited to share
And dreams
Of our moments together

Colour my world with hope of loving you

(James Carter Pankow, Chicago: 1970)

11 Mei 2025

Komunikasi Sains Untuk Atasi Disparitas Epistemik

Penulis: Nursyawal

 Tulisan ini diniatkan untuk berdialog dengan artikel berjudul "Dominasi Epistemik Pengetahuan" tulisan Prof. Atwar Bajari di Pikiran Rakyat, di mana di sana ia dengan tajam mengungkap realitas ketimpangan dalam produksi dan distribusi pengetahuan dalam lanskap akademik global. Prof. Atwar menyoroti bagaimana sistem akademik global, dikendalikan logika kapitalisme akademik menciptakan oligarki epistemik, yang berakibat disparitas epistemik antara negara maju dan berkembang.

 Prof. Atwar menggambarkan bagaimana akademisi dari negara berkembang, seperti dirinya, seringkali terjebak dalam peran subordinat dalam ekosistem epistemik global. Saat menjadi reviewer tidak memperoleh imbalan hanya iming-iming reputasi sebagai reviewer jurnal bereputasi, namun saat menjadi penulis artikel di jurnal yang sama, harus membayar biaya publikasi tinggi. Untuk sekedar membaca pun harus membayar biaya login. Akademisi dari negara berkembang hanya menjadi penyedia data dari "pinggiran" tanpa kuasa menentukan arah keilmuan pada aras global. Ini disebut Prof. Atwar sebagai oligarki epistemik, di mana segelintir penerbit besar, mengendalikan produksi dan distribusi pengetahuan. Penulis sebut saja namanya, di antaranya Elsevier, Springer, Sage atau Wiley.

 Salah satu poin krusial lain dari Prof. Atwar adalah pengetahuan yang dihasilkan atas dukungan dana publik di negara berkembang berakhir di balik paywall, yang hanya dapat diakses oleh pihak-pihak dengan sumber daya finansial yang kuat. Ini menciptakan paradoks: akademisi dari Global South menghasilkan pengetahuan dengan sumber daya terbatas, tetapi tidak memiliki akses penuh terhadap pengetahuan yang mereka ciptakan. Prof. Atwar mengajak kalangan akademik di negara berkembang untuk membangun kesadaran kolektif akademisi Global South untuk menegosiasi ulang posisi mereka dalam sistem akademik global agar lebih adil.

Fakta Disparitas Epistemik

 Disparitas epistemik antara negara maju dan berkembang bukan sekadar narasi, melainkan realitas faktual. Riset Bardiau dan Dony (2024) terhadap lebih dari 12 ribu jurnal bereputasi tinggi, lebih dari 80% jurnal akademik diterbitkan oleh penerbit besar berbasis di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Penerbit besar itu menguasai pasar publikasi ilmiah, nyaris oligopolis, dan menetapkan biaya publikasi (article processing charges/APC) yang tinggi berkisar antara USD 500-3.000 (sekitar Rp. 6 Juta hingga 30 Juta lebih dengan kurs USD 1 = Rp. 16.000), dalam kasus Prof. Atwar (Euro 1.500-2.000). Bagi akademisi di negara seperti Indonesia, dengan pendapatan rata-rata dosen di bawah Rp. 3 Juta perbulan (survei Serikat Pekerja Kampus, 2024), ini adalah beban finansial yang sangat berat. Analisis bibliometrik Clarivate Analytics (2022) menunjukkan hanya sekitar 15% artikel di jurnal bereputasi tinggi berasal dari penulis di negara berkembang, meskipun populasi negara berkembang mencakup lebih dari 80% populasi dunia. Dalam istilah Prof. Atwar, produksi pengetahuan yang dibiayai dana publik berakhir di sistem tertutup. Selain itu, editor dan reviewer jurnal bergengsi seringkali berasal dari negara maju, sehingga standar epistemik yang diterapkan cenderung mencerminkan perspektif Barat. Seperti pernyataan Prof. Atwar, akademisi Global South kerap menjadi “penulis dari pinggiran” tanpa kuasa menentukan legitimasi keilmuan. Seorang guru besar Filsafat Moral di Universitas New York, Miranda Fricker (1999) menyebut fenomena ini dengan epistemic oppression.

 Studi Research4Life (2020) menunjukkan banyak institusi di negara berkembang tidak mampu berlangganan jurnal ilmiah karena biaya yang tinggi. Akibatnya, akademisi di Global South seringkali tidak dapat mengakses artikel ilmiah yang diperlukan untuk riset mereka, termasuk artikel yang mereka tulis sendiri. Padahal artikel ilmiah yang dapat dibaca secara bebas tentunya akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk dikutip (disitasi) daripada artikel dalam jurnal yang tertutup. Meski ada inisiatif seperti Scielo (Amerika Latin) atau DOAJ (Directory of Open Access Journals) yang mempromosikan publikasi open-access tanpa biaya tinggi, jurnal-jurnal ini seringkali dianggap kurang bergengsi. Data dari DOAJ (2024) menunjukkan inisiatif kolaboratif untuk membuka akses publikasi artikel ilmiah, telah memunculkan kecenderungan pertambahan jumlah jurnal yang bebas akses untuk penulis dan pembaca (diamond open-access).

Tekanan Adminsitrasi dan Ketimpangan Pengetahuan

 Di banyak negara berkembang, khususnya Indonesia, sistem akademik yang ditetapkan negara melalui undang-undang, mengharuskan dosen menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi untuk promosi jabatan akademik. Namun, seperti disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Tempo, 11 Maret 2025) anggaran riset perguruan tinggi di Indonesia sekitar 0,2 persen dari PDB, jauh di bawah negara maju seperti Korea Selatan yang mencapai 4 persen. Ketimpangan sumber daya ini membuat akademisi Indonesia sulit bersaing dalam sistem yang menuntut infrastruktur dan pendanaan besar. The Conversation Indonesia (2024) dalam sejumlah laporannya menunjukkan dampak lanjutan akibat tekanan administrasi jabatan akademik dalam ekosistem yang tak mendukung ini, yaitu moral hazzard seperti paper mill.

 Fenomena akademisi negara berkembang yang terjebak dalam sistem eksploitatif jurnal ilmiah global, tidak saja menyebabkan disparitas epistemik antara negara maju dan berkembang, melainkan juga antara antara akademisi dan awam. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga krisis epistemologi yang merusak nilai ilmu pengetahuan sebagai public goods. Akademisi menjadi sibuk mengejar target produksi karya tulis ilmiah yang bersifat esoterik dan melalaikan kewajibannya melakukan komunikasi sains kepada awam melalui proses medialisasi. Saat ini awam lebih percaya kepada influencer atau sains jajaden (pseudo-science) tinimbang seorang profesor (Nichols, 2017) karena influencer lebih mudah dipahami dan lebih menarik bagi awam. Prof. Sangkot Marzuki (2020) dalam perayaan hari jadi The Conversation Indonesia menyitir kurangnya komunikasi sains akademisi Indonesia yang menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap sains di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Ilmu pengetahuan dinilai tidak menjawab persoalan sehari-hari dan hanya membicarakan persoalan yang jauh tinggi di atas langit bumi kaum awam. Padahal sejak lama, Merton (1937) telah menegaskan 4 norma dasar sains yaitu, “kesemestaan” bahwa seluruh ilmuwan memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam sains, serta “komunal” bahwa pengetahuan ilmiah adalah milik bersama dan terbuka untuk semua. Penemuan ilmiah harus dibagikan secara bebas dan tidak ada hak milik pribadi atas pengetahuan. Dua norma lainnya berkaitan dengan proses sains, yaitu “ketidakberpihakan” bahwa ilmuwan harus bebas dari kepentingan atau kepercayaan pribadi dalam pencarian kebenaran ilmiah. Norma terakhir, “skeptisisme terorganisasi” bahwa pengetahuan dibentuk oleh pertanyaan yang terus menerus atas klaim-klaim/hipotesis dan selalu siap menerima jika ada bukti baru yang menolak klaim atau hipotesis itu.

Penutup

 Penulis sepakat dengan ide Prof. Atwar, yaitu akademisi negara berkembang (Global South) perlu mengembangkan ekosistem penerbitan ilmiah yang berkualitas tinggi dengan biaya terjangkau. Indonesia dapat memperkuat jurnal-jurnal nasional terakreditasi, misalnya Jurnal Komunikasi di berbagai kampus di Indonesia, atau Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (JKISKI), agar terindeks scopus dengan akses tetap terbuka untuk mengurangi ketergantungan pada penerbit besar. Pemerintah dan institusi akademik dapat mengadvokasi kebijakan open-access yang mengatur penerbit jurnal ilmiah untuk menyediakan akses gratis atau murah bagi penulis dari negara berpenghasilan rendah. Inisiatif seperti Plan S di Eropa, yang mewajibkan publikasi open-access untuk riset yang didanai publik, dapat menjadi model yang dapat dtiru. Plan S berasal dari inisiatif cOAlition S, sebuah koalisi penyandang dana Eropa seperti UKRI, European Funding Councils, dan Wellcome Trust. Mereka memberlakukan prinsip-prinsip Plan S mulai Januari 2021.

 Akademisi dari negara berkembang dapat membentuk aliansi, seperti yang dilakukan melalui African Journals Online (AJOL), untuk berbagi sumber daya, data, dan platform publikasi. Kolaborasi ini dapat menciptakan narasi keilmuan yang lebih beragam dan mengurangi dominasi epistemik Barat, termasuk dengan penyelenggaraan seminar-seminar internasional berbiaya rendah menggunakan fasilitas teknologi komunikasi dengan tetap menjaga kualitas akademik secara disiplin.

 Terakhir, namun bukan tidak penting, sistem penilaian angka kredit dosen yang ditetapkan birokrasi pemerintah juga harus lebih fleksibel, misalnya dengan rekognisi lebih tinggi terhadap kontribusi non-jurnal ilmiah seperti artikel populer di media massa, konten podcast atau youtube, karya animasi, grafik atau komik, bahkan keterlibatan dalam naskah produksi film berbasis sains atau mentoring pelaku UMKM. Ini akan mengurangi tekanan untuk mengejar jurnal internasional yang mahal. Karena sejatinya, tugas akademisi adalah mengembalikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas melalui komunikasi sains.

 Wallahu’alam bisshawab.


16 Maret 2025

Mencoba Model Grok3 di X

Below is a detailed analysis of the article “Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia” by Mang Sawal, published on BandungBergerak.id on March 15, 2025. The analysis covers its structure, themes, arguments, strengths, weaknesses, and alignment with Nursyawal’s (presumed as Mang Sawal) known expertise.


Article Analysis: “Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia”
Source: BandungBergerak.id
Published: March 15, 2025
Author: Mang Sawal
URL: https://bandungbergerak.id/article/detail/1598922/legend-of-aang-museum-alexandria-dan-google-cendikia
Summary
The article uses the 2024 Netflix live-action premiere of Avatar: The Last Airbender as a springboard to explore the evolution of knowledge across time—from the fictional journey of Aang seeking mastery over nature’s elements, to the historical Library of Alexandria as a beacon of shared learning, to the modern dominance of Google Scholar and digital platforms. Mang Sawal (likely Nursyawal) ties these threads to philosophical and ethical questions about knowledge as power, its accessibility, and its commodification in the digital age. The piece critiques the shift from public to private ownership of knowledge, urging academics to resist commercialization and uphold rigorous, communal scholarship.
Structure and Style
  • Introduction (Pendahuluan): Opens with the global buzz around Netflix’s Avatar premiere (21 million viewers), summarizing Aang’s quest for knowledge amidst conflict. It grounds the narrative in Empedocles’ four-element cosmogony and Francis Bacon’s “knowledge is power” axiom, setting a reflective tone.
  • Body (Komunikasi Ilmu Pengetahuan): Divided into two conceptual arcs:
    1. Historical Context: Links Aang’s pursuit to Merton’s norms of science (universalism, disinterestedness, organized skepticism, communism) and Alexandria’s model of open knowledge classification and access.
    2. Digital Shift: Contrasts this with today’s challenges—Bucchi’s Science 1.0 vs. 2.0, White’s digital transformation critique, and Google Scholar’s vast but privatized repository (389 million articles). It details Google’s data empire (15 exabytes) and AI innovations like Gemini and Google Health, questioning their ethical implications.
  • Conclusion (Penutup): Cites Clive Humby’s “data is the new oil” and Tom Nichols’ “death of expertise” to frame a crisis: digital abundance undermines traditional academic integrity. It calls on universities to reclaim their role as guardians of credible knowledge.
  • Style: Scholarly yet accessible, blending pop culture, philosophy, and tech critique. The tone is urgent and moralistic, reflecting Nursyawal’s educator-journalist duality.
Key Themes
  1. Knowledge as Power and Responsibility: Aang’s journey mirrors Bacon’s and Merton’s views—power stems from rigorously acquired, shared knowledge, not hoarded or commercialized data.
  2. Historical vs. Digital Knowledge Systems: Alexandria’s open-access ideal contrasts with Google’s proprietary model, highlighting a loss of communal ethos.
  3. Digital Ethics and Commodification: The shift to “Science 2.0” and Google’s AI-driven services (e.g., Gemini, Google Health) raise concerns about privacy, credibility, and profit over public good.
  4. Role of Academia: A rallying cry for scholars to resist industrial pressures and maintain rigorous, public-facing knowledge production.
Arguments and Evidence
  • Aang as Metaphor: Frames Aang’s quest as an allegory for seeking universal wisdom, supported by Empedocles’ cosmogony and IMDb’s plot summary.
  • Merton’s Norms: Uses Merton’s four principles to argue for knowledge as a collective good, citing Bucchi (2021) for academic credibility.
  • Alexandria’s Legacy: Positions the Library as a historical benchmark for open scholarship, per White (2014), emphasizing classification and universality.
  • Digital Critique: Cites Gusenbauer (2019) on Google Scholar’s scale (389 million items) and Google’s 15 exabytes of data to highlight privatization, with White (2014) and Bucchi (2021) framing the ethical stakes.
  • Call to Action: Nichols’ (2017) “death of expertise” and Humby’s data metaphor (Arthur, 2013) underscore the urgency for academic intervention.
Strengths
  • Interdisciplinary Scope: Seamlessly connects pop culture (Avatar), ancient history (Alexandria), and modern tech (Google), showcasing Nursyawal’s ability to synthesize diverse ideas—a hallmark of his journalism and teaching.
  • Robust Referencing: Cites a wide range of sources (Britannica, Bucchi, White, Gusenbauer, Nichols), grounding the critique in scholarly and empirical evidence.
  • Ethical Urgency: The critique of Google’s data practices (e.g., free collection vs. paid services) aligns with Nursyawal’s AJI-rooted advocacy for transparency and fairness.
  • Engaging Hook: Leveraging Avatar’s 21 million viewers taps into contemporary relevance, broadening appeal beyond academic readers.
Weaknesses
  • Loose Connections: The leap from Aang’s fictional journey to Alexandria and Google feels ambitious but underdeveloped—e.g., how does Aang’s story directly inform digital ethics? The metaphor risks stretching thin.
  • Overreliance on Secondary Sources: While well-referenced, the argument leans heavily on Bucchi, White, and others without original data or personal insight from Nursyawal’s experience, diluting his voice.
  • Lack of Specificity: Critiques Google broadly (e.g., “hasil mencuri data”) but lacks concrete examples of misuse beyond scale, weakening the accusation’s punch.
  • Dense Prose: The academic tone and jargon (e.g., “pemufakatan akademik,” “provenderence”) may alienate BandungBergerak.id’s grassroots readership, despite the Avatar hook.
Nursyawal’s Voice
As Mang Sawal, Nursyawal blends his roles: the journalist (evident in data-driven critique and global references like Deutsche Welle-style analysis), the educator (Merton’s norms, academic duty), and the activist (ethical warnings about digital monopolies). His STIKOM experience shines in the campus-centric conclusion, while his AJI ethos fuels the public-good argument. The informal “Mang” moniker softens the scholarly weight, aligning with BandungBergerak.id’s community focus.
Connection to BandungBergerak.id’s Mission
The site’s emphasis on justice and diversity resonates in the article’s plea for universal, credible knowledge access—opposing Google’s gatekeeping as a modern inequity. Aang’s inclusive world subtly ties to Bandung’s cultural ethos, though the piece prioritizes intellectual over local narratives.
Critical Reflection
The article excels as a thought-provoking synthesis, but its ambition occasionally outpaces cohesion. Aang’s inclusion feels more ornamental than analytical—could Nursyawal have tied his elemental mastery to, say, balancing digital overload? The Google critique is potent but broad; a specific case (e.g., a paywalled study vs. Alexandria’s scrolls) could sharpen it. Still, it reflects Nursyawal’s signature: critical, principled, and forward-looking, urging society to rethink knowledge in a data-drenched.