Penulis: Nursyawal
Tulisan ini diniatkan untuk berdialog dengan artikel berjudul "Dominasi Epistemik Pengetahuan" tulisan Prof. Atwar Bajari di Pikiran Rakyat, di mana di sana ia dengan tajam mengungkap realitas ketimpangan dalam produksi dan distribusi pengetahuan dalam lanskap akademik global. Prof. Atwar menyoroti bagaimana sistem akademik global, dikendalikan logika kapitalisme akademik menciptakan oligarki epistemik, yang berakibat disparitas epistemik antara negara maju dan berkembang.
Prof. Atwar menggambarkan bagaimana akademisi dari negara berkembang, seperti dirinya, seringkali terjebak dalam peran subordinat dalam ekosistem epistemik global. Saat menjadi reviewer tidak memperoleh imbalan hanya iming-iming reputasi sebagai reviewer jurnal bereputasi, namun saat menjadi penulis artikel di jurnal yang sama, harus membayar biaya publikasi tinggi. Untuk sekedar membaca pun harus membayar biaya login. Akademisi dari negara berkembang hanya menjadi penyedia data dari "pinggiran" tanpa kuasa menentukan arah keilmuan pada aras global. Ini disebut Prof. Atwar sebagai oligarki epistemik, di mana segelintir penerbit besar, mengendalikan produksi dan distribusi pengetahuan. Penulis sebut saja namanya, di antaranya Elsevier, Springer, Sage atau Wiley.
Salah satu poin krusial lain dari Prof. Atwar adalah pengetahuan yang dihasilkan atas dukungan dana publik di negara berkembang berakhir di balik paywall, yang hanya dapat diakses oleh pihak-pihak dengan sumber daya finansial yang kuat. Ini menciptakan paradoks: akademisi dari Global South menghasilkan pengetahuan dengan sumber daya terbatas, tetapi tidak memiliki akses penuh terhadap pengetahuan yang mereka ciptakan. Prof. Atwar mengajak kalangan akademik di negara berkembang untuk membangun kesadaran kolektif akademisi Global South untuk menegosiasi ulang posisi mereka dalam sistem akademik global agar lebih adil.
Fakta Disparitas Epistemik
Disparitas epistemik antara negara maju dan berkembang bukan sekadar narasi, melainkan realitas faktual. Riset Bardiau dan Dony (2024) terhadap lebih dari 12 ribu jurnal bereputasi tinggi, lebih dari 80% jurnal akademik diterbitkan oleh penerbit besar berbasis di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Penerbit besar itu menguasai pasar publikasi ilmiah, nyaris oligopolis, dan menetapkan biaya publikasi (article processing charges/APC) yang tinggi berkisar antara USD 500-3.000 (sekitar Rp. 6 Juta hingga 30 Juta lebih dengan kurs USD 1 = Rp. 16.000), dalam kasus Prof. Atwar (Euro 1.500-2.000). Bagi akademisi di negara seperti Indonesia, dengan pendapatan rata-rata dosen di bawah Rp. 3 Juta perbulan (survei Serikat Pekerja Kampus, 2024), ini adalah beban finansial yang sangat berat. Analisis bibliometrik Clarivate Analytics (2022) menunjukkan hanya sekitar 15% artikel di jurnal bereputasi tinggi berasal dari penulis di negara berkembang, meskipun populasi negara berkembang mencakup lebih dari 80% populasi dunia. Dalam istilah Prof. Atwar, produksi pengetahuan yang dibiayai dana publik berakhir di sistem tertutup. Selain itu, editor dan reviewer jurnal bergengsi seringkali berasal dari negara maju, sehingga standar epistemik yang diterapkan cenderung mencerminkan perspektif Barat. Seperti pernyataan Prof. Atwar, akademisi Global South kerap menjadi “penulis dari pinggiran” tanpa kuasa menentukan legitimasi keilmuan. Seorang guru besar Filsafat Moral di Universitas New York, Miranda Fricker (1999) menyebut fenomena ini dengan epistemic oppression.
Studi Research4Life (2020) menunjukkan banyak institusi di negara berkembang tidak mampu berlangganan jurnal ilmiah karena biaya yang tinggi. Akibatnya, akademisi di Global South seringkali tidak dapat mengakses artikel ilmiah yang diperlukan untuk riset mereka, termasuk artikel yang mereka tulis sendiri. Padahal artikel ilmiah yang dapat dibaca secara bebas tentunya akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk dikutip (disitasi) daripada artikel dalam jurnal yang tertutup. Meski ada inisiatif seperti Scielo (Amerika Latin) atau DOAJ (Directory of Open Access Journals) yang mempromosikan publikasi open-access tanpa biaya tinggi, jurnal-jurnal ini seringkali dianggap kurang bergengsi. Data dari DOAJ (2024) menunjukkan inisiatif kolaboratif untuk membuka akses publikasi artikel ilmiah, telah memunculkan kecenderungan pertambahan jumlah jurnal yang bebas akses untuk penulis dan pembaca (diamond open-access).
Tekanan Adminsitrasi dan Ketimpangan Pengetahuan
Di banyak negara berkembang, khususnya Indonesia, sistem akademik yang ditetapkan negara melalui undang-undang, mengharuskan dosen menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi untuk promosi jabatan akademik. Namun, seperti disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Tempo, 11 Maret 2025) anggaran riset perguruan tinggi di Indonesia sekitar 0,2 persen dari PDB, jauh di bawah negara maju seperti Korea Selatan yang mencapai 4 persen. Ketimpangan sumber daya ini membuat akademisi Indonesia sulit bersaing dalam sistem yang menuntut infrastruktur dan pendanaan besar. The Conversation Indonesia (2024) dalam sejumlah laporannya menunjukkan dampak lanjutan akibat tekanan administrasi jabatan akademik dalam ekosistem yang tak mendukung ini, yaitu moral hazzard seperti paper mill.
Fenomena akademisi negara berkembang yang terjebak dalam sistem eksploitatif jurnal ilmiah global, tidak saja menyebabkan disparitas epistemik antara negara maju dan berkembang, melainkan juga antara antara akademisi dan awam. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga krisis epistemologi yang merusak nilai ilmu pengetahuan sebagai public goods. Akademisi menjadi sibuk mengejar target produksi karya tulis ilmiah yang bersifat esoterik dan melalaikan kewajibannya melakukan komunikasi sains kepada awam melalui proses medialisasi. Saat ini awam lebih percaya kepada influencer atau sains jajaden (pseudo-science) tinimbang seorang profesor (Nichols, 2017) karena influencer lebih mudah dipahami dan lebih menarik bagi awam. Prof. Sangkot Marzuki (2020) dalam perayaan hari jadi The Conversation Indonesia menyitir kurangnya komunikasi sains akademisi Indonesia yang menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap sains di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Ilmu pengetahuan dinilai tidak menjawab persoalan sehari-hari dan hanya membicarakan persoalan yang jauh tinggi di atas langit bumi kaum awam. Padahal sejak lama, Merton (1937) telah menegaskan 4 norma dasar sains yaitu, “kesemestaan” bahwa seluruh ilmuwan memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam sains, serta “komunal” bahwa pengetahuan ilmiah adalah milik bersama dan terbuka untuk semua. Penemuan ilmiah harus dibagikan secara bebas dan tidak ada hak milik pribadi atas pengetahuan. Dua norma lainnya berkaitan dengan proses sains, yaitu “ketidakberpihakan” bahwa ilmuwan harus bebas dari kepentingan atau kepercayaan pribadi dalam pencarian kebenaran ilmiah. Norma terakhir, “skeptisisme terorganisasi” bahwa pengetahuan dibentuk oleh pertanyaan yang terus menerus atas klaim-klaim/hipotesis dan selalu siap menerima jika ada bukti baru yang menolak klaim atau hipotesis itu.
Penutup
Penulis sepakat dengan ide Prof. Atwar, yaitu akademisi negara berkembang (Global South) perlu mengembangkan ekosistem penerbitan ilmiah yang berkualitas tinggi dengan biaya terjangkau. Indonesia dapat memperkuat jurnal-jurnal nasional terakreditasi, misalnya Jurnal Komunikasi di berbagai kampus di Indonesia, atau Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (JKISKI), agar terindeks scopus dengan akses tetap terbuka untuk mengurangi ketergantungan pada penerbit besar. Pemerintah dan institusi akademik dapat mengadvokasi kebijakan open-access yang mengatur penerbit jurnal ilmiah untuk menyediakan akses gratis atau murah bagi penulis dari negara berpenghasilan rendah. Inisiatif seperti Plan S di Eropa, yang mewajibkan publikasi open-access untuk riset yang didanai publik, dapat menjadi model yang dapat dtiru. Plan S berasal dari inisiatif cOAlition S, sebuah koalisi penyandang dana Eropa seperti UKRI, European Funding Councils, dan Wellcome Trust. Mereka memberlakukan prinsip-prinsip Plan S mulai Januari 2021.
Akademisi dari negara berkembang dapat membentuk aliansi, seperti yang dilakukan melalui African Journals Online (AJOL), untuk berbagi sumber daya, data, dan platform publikasi. Kolaborasi ini dapat menciptakan narasi keilmuan yang lebih beragam dan mengurangi dominasi epistemik Barat, termasuk dengan penyelenggaraan seminar-seminar internasional berbiaya rendah menggunakan fasilitas teknologi komunikasi dengan tetap menjaga kualitas akademik secara disiplin.
Terakhir, namun bukan tidak penting, sistem penilaian angka kredit dosen yang ditetapkan birokrasi pemerintah juga harus lebih fleksibel, misalnya dengan rekognisi lebih tinggi terhadap kontribusi non-jurnal ilmiah seperti artikel populer di media massa, konten podcast atau youtube, karya animasi, grafik atau komik, bahkan keterlibatan dalam naskah produksi film berbasis sains atau mentoring pelaku UMKM. Ini akan mengurangi tekanan untuk mengejar jurnal internasional yang mahal. Karena sejatinya, tugas akademisi adalah mengembalikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas melalui komunikasi sains.
Wallahu’alam bisshawab.