23 Juli 2009

Adakah Acara TV yang Aman untuk Anak?

Artikel Pikiran Rakyat 23 Juli 2009

Pada 1972, almarhumah Oemi Abdurrahman, melakukan penelitian tentang dampak siaran televisi terhadap anak-anak di Jawa Barat. Hasilnya, tentu sudah bisa ditebak, meskipun pada saat itu stasiun televisi hanya ada satu, yaitu TVRI dengan kualitas siaran hitam putih.

Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, isunya masih sama. Masih banyak pihak yang meminta perhatian agar dampak negatif siaran televisi terhadap anak-anak dihiraukan. Berbagai hasil penelitian terus dipaparkan, namun faktanya, lembaga penyiaran televisi tidak hirau terhadap program acara yang mereka tayangkan untuk anak-anak, atau program acara yang ditayangkan pada jam-jam yang masih mungkin ditonton anak-anak.

Hasil riset khalayak menyebutkan, jumlah jam yang digunakan anak-anak di lima kota besar di Indonesia untuk menonton televisi, terus bertambah, paling lama lima jam sehari, atau 35 jam seminggu, atau lebih dari 1.800 jam setahun! Sementara itu, jumlah jam belajar efektif di sekolah dasar selama setahun hanya 1.000 jam. Wajar jika guru-guru kehilangan kredibilitasnya di depan anak-anak sekarang.

Tayangan televisi yang tidak aman dapat menyebabkan perkembangan fisik dan otak anak terganggu, kecenderungan perilaku obsesif, konsumtif, agresif, antisosial, dan seterusnya, adalah kesimpulan dari banyak penelitian komunikasi, psikologi, atau ekonomi.

Tabloid anak-anak Kidia pada 2004 mencatat hanya lima belas persen program acara yang layak tonton untuk anak-anak. Saking banyaknya program acara televisi yang tidak aman bagi anak-anak, sejumlah orang tua menggagas kampanye mematikan televisi melalui gerakan "1 Hari tanpa TV", sebagai upaya mengajak orang tua untuk kembali mengambil kuasa atas remote control televisi.

Akar persoalan memang tidak hanya pada kehirauan pengelola lembaga penyiaran, tetapi juga orang tua. Absennya orang tua pada waktu-waktu senggang anak, dengan berbagai alasannya, telah menyebabkan anak-anak hanya ditemani remote control televisi dan diawasi baby sitter atau pembantu yang secara sosial tidak memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan perilaku anak majikan.

Televisi menjadi pengganti keberadaan orang tua di rumah. Selain hilangnya nilai-nilai keluarga, anak-anak menjadi korban eksploitasi ekonomi melalui televisi, baik sebagai pemeran dalam berbagai acara, juga sebagai penonton acaranya. Anak-anak yang belum berdaya itu, terus dihantam orang-orang dewasa yang seharusnya bertanggung jawab. Di negara-negara maju, ada UU khusus yang melindungi anak-anak dan remaja dari segala kelakuan orang dewasa yang tidak hirau pada perkembangan positif anak-anak.

Aturan main

Di Indonesia, khusus untuk lembaga penyiaran, Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 36 ayat 3 menyebut "isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran." Selain itu, pada Pasal 46 ada larangan mengeksploitasi anak-anak melalui iklan, yang jika dilanggar, KPI dapat menjatuhkan sanksi denda dan/atau penghentian program acara. Namun, ancaman sanksi itu tidak membuat pengelola lembaga penyiaran getir. Menurut pemantauan KPAI, televisi menghabiskan 67 jam seminggu untuk infotainment dan hanya menyediakan 0,07 persen jam tayangnya untuk program anak-anak yang aman.

Di Bandung, ada stasiun TV lokal yang terancam sanksi dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena menyiarkan program acara yang dianalisis KPAI Kota Bandung bersama KPID Jawa Barat, terindikasi membahayakan perkembangan jiwa anak dan mengeksploitasi anak. Program dalam format reality show itu memperlihatkan seorang ibu membiarkan kedua anaknya menjadi objek kamera tersembunyi di arena bermain suatu mal. Selama acara, kedua anak itu dikerjai (bullying). Dari mulai dipinjam paksa handphone-nya, direbut paksa permainannya, hingga dijemput paksa (seperti diculik) oleh wanita tak dikenal. Khusus tayangan reality show yang melibatkan anak-anak itu, ancamannya tidak hanya pada lembaga penyiaran, tetapi juga pada rumah produksi yang membuat tayangan tersebut, orang tua, dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi.

Swasensor

Dalam tatanan masyarakat yang maju, pengendalian datang dari dalam diri sendiri. Dalam hal ini, dari pengelola lembaga penyiaran televisi sendiri, bukan pihak lain yang sifatnya koersif-represif. Pengelola televisi seharusnya melakukan sensor internal yang ketat dan tidak membuka kesempatan terhadap munculnya desakan agar ada campur tangan pihak lain untuk menyensor. Hal ini akan berdampak buruk bagi demokrasi.

Kepada Ibu, Bapak, ambil remote TV dari tangan anak-anak Anda. Kendali ada di ujung-ujung jari kita, bukan orang lain. Siapkan diri Anda untuk mendampingi anak-anak dalam menonton tayangan televisi. Buat kategori aman, rawan, dan bahaya. Untuk kategori aman, Anda bisa bersikap pasif. Sisanya membutuhkan konsentrasi penuh Anda. Jika tidak siap, matikan televisi. Temani anak-anak dalam mengembangkan potensi diri mereka sesuai dengan nilai-nilai keluarga Anda.

Pada saat yang sama, undangan untuk kreator dan produser acara televisi yang aman untuk anak terbuka lebar. Berkreasilah sebanyak mungkin karena bisa juga, televisi memang kekurangan pasokan program acara untuk anak yang aman, sehingga memutar program apa saja tanpa pikir panjang. Pada 2010, sesuai dengan amanat UU Penyiaran, seharusnya tidak ada lagi siaran berskala nasional. Maka akan banyak TV lokal yang membutuhkan materi program siaran bermuatan lokal. Buatlah sesuai dengan standar nilai-nilai yang hidup di masyarakat, termasuk nilai estetika dan moral.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar