29 Juli 2009

Kebebasan Pers di Televisi

Maaf kalau judulnya berbeda dengan sebagian besar isi tulisan ini. Tapi tulisan ini dibuat untuk membalas SMS kepada penulis beberapa waktu lalu.

Rupanya, banyak kalangan terkejut ketika Dewan Pers bersama Komisi Penyiaran Indonesia bersama-sama menggelar Konferensi Pers meminta televisi mengurangi gambar-gambar dari rekaman cctv atau rekaman video amatir yang berisi momen-momen sebelum ledakan dan sesaat sesudah ledakan 2 bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta. Keterkejutan ini muncul karena selama ini Dewan Pers begitu kukuh membela kebebasan pers, namun kali ini nampak sekilas seperti hendak mengekang kebebasan pers.

Sebagian lain mempertanyakan komitmen Komisi Penyiaran Indonesia terhadap kebebasan pers karena pihak KPI-lah yang mendatangi Dewan Pers untuk membahas tayangan berita televisi seputar ledakan bom itu. Mereka mencurigai KPI sebagai rejim otoriter baru yang menghalalkan sensor untuk berita.

Sebuah reaksi yang wajar di tengah ketidakpastian komitmen politik dari penguasa baru yang terpilih terhadap kebebasan pers. Apalagi muncul usulan yang kuat agar Undang-undang Subversi dihidupkan kembali agar aparatur intelejen memiliki kewenangan untuk melakukan pencegahan atas dugaan percobaan aksi terorisme. Padahal semua pihak tahu, subversi adalah upaya untuk menggulingkan kekuasaan yang sah dan bukan upaya menakut-nakuti masyarakat. Usul untuk menghidupkan Undang-undang Subversi adalah contoh teror. Karena masyarakat menjadi takut.

Namun benarkah ada arus balik reformasi yang hendak mengambil kembali kedaulatan rakyat ke tangan elite, seperti di era Orde Baru? Benarkah Dewan Pers sedang berperilaku seperti Deppen ketika meminta televisi menghentikan tayangan rekaman cctv, menghentikan penyebutan nama-nama tersangka atau buron secara lengkap, tidak menayangkan gambar-gambar korban secara close-up, mengaburkan gambar-gambar korban atau jenazah korban, serta tidak berspekulasi tentang urutan kejadian dan motivasi peledakan? Apakah KPI sedang mendudukan para reporter lapangan sebagai tertuduh?

Saya berpendapat, tidak. KPI dengan tegas menyebut, sejak UU penyiaran berlaku, maka setiap tayangan di televisi, tidak hanya sinetron dan reality show, termasuk tayangan berita pun diawasi oleh KPI untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif. Tanpa perlu dijelaskan kembali, banyak sekali hasil penelitian ilmiah studi psikologi, komunikasi dan sosiologi yang mengakui televisi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perubahan sikap serta kerekatan sosial, dalam waktu singkat. Televisi sanggup membuat khalayaknya memasuki ruang irasional sesaat. Melalui tayangan live (langsung dari tempat kejadian), khalayak dibuat seolah berada tidak jauh dari lokasi. Ini terbukti ketika tayangan investigasi tentang Bakso Tikus ditanggapi khalayak secara irrasional, sehingga untuk sesaat mereka berhenti mengkonsumsi bakso. Meski kini, semua kembali seperti semula.

Begitulah kekuatan televisi. Melalui gambar, manusia menanam ingatannya dan membangun reaksi atas hal itu. Bagi orang dewasa dengan kemampuan mental yang baik, maka gambar-gambar negatif yang sudah terekam, dapat ditekan ke alam bawah sadar dan dikunci di sana. Bagi sebagian lain, proses itu butuh waktu. Ada sebagian yang sulit sekali menekannya ke alam bawah sadar dan terus menerus muncul dalam ingatan, setiap kali melihat kata "Baso", mendengar kata "Baso", atau melihat wujud "Baso" dan yang "mirip-mirip Baso". Ini disebut trauma. Kondisi mental yang tidak bisa mengendalikan kenangan buruk. Teman-teman psikolog bisa menambahkan soal ini.

Trauma lebih mudah terjadi pada anak-anak. Bahkan sejumlah ahli psikologi menyebut "parut jiwa" ketika anak-anak menyaksikan hal-hal negatif, karena itu akan membekas dan sedikit banyak akan muncul dalam perilaku di saat dewasa. Banyak profil pelaku kejahatan sadis, memiliki sejarah kekerasan fisik dan mental di saat masa kanak-kanak.

Itu sebabnya, secara khusus UU Penyiaran yang disahkan sesudah pengesahan UU Perlindungan Anak tahun 2002 itu, mengatur tentang tentang perlindangan terhadap anak-anak dan remaja.

KPI tidak sedang anti-kebebasan pers ketika meminta Dewan Pers menghimbau redaksi televisi menahan diri. Melainkan sedang berusaha melindungi anak-anak Indonesia, dari ancaman "luka jiwa" dari gambar-gambar penuh kengerian dan kekerasan, agar di masa depan Indonesia tidak disesaki orang dewasa dengan gangguan stabilitas emosi. Tanpa disadari ini juga menjadi ancaman terhadap demokrasi di masa depan, karena orang-orang yang labil ini akan mudah diprovokasi, tidak bisa menerima perbedaan pendapat, agresif dan sulit menerima nilai-nilai masyarakat. Saat ini saja, banyak orang sudah terganggu, karena hanya berpikir dari dasar kepentingan pribadi terlebih dahulu. Lampu merah tidak lagi dipatuhi, karena tidak ada relevansinya dengan kepentingan pribadinya. Apa untungnya patuh pada lampu itu?

Selain itu, KPI juga menggunakan prosedur yang normatif, sesuai UU Pers, yaitu melalui Dewan Pers ketika meminta redaksi televisi menahan diri. Karena Dewan Pers-lah yang bertanggung jawab untuk menjaga kebebasan pers di Indonesia. Sementara isi dari televisi tidak hanya pers, tetapi juga ada iklan, film dan jenis-jenis hiburan lain yang juga tidak melulu menjadi wewenang KPI. Seperti sinetron, itu adalah kewenangan LSF sesuai UU Perfileman. Iklan itu diatur UU Perlindungan Konsumen. Namun KPI diberi wewenang mengawasi apapun yang ditayangkan di televisi. Sinetron, Panggung Musik, Video Klip, pertunjukan lain, Iklan, Quiz, Talkshow, Berita, Editorial, dst. Jika ada pelanggaran, KPI akan berkoordinasi dengan lembaga negara lain.

Sebagai contoh lain, KPID Jabar berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Kota Bandung ketika menegur sebuah stasiun televisi lokal yang menanyangkan program untuk anak dengan pemeran anak-anak. KPID Jabar juga berkoordinasi dengan MUI Jabar ketika menetapkan beberapa acara Quiz SMS di sejumlah televisi dari Jakarta sebagai praktek perjudian. KPID Jabar juga berkoordinasi dengan Lembaga Sensor Film ketika menegur sejumlah sinetron yang berisi kekerasan fisik dan dari LSF diketahui bahwa seluruh sinetron yang ada ternyata belum memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STL) dan LSF kemudian menetapkan Tanggal 17 Agustus 2009 sebagai batas toleransi. Setelah itu, tidak ada lagi sinetron yang boleh tayang tanpa STL. Ketika bencana melanda kawasan Situ Gintung, KPID Jabar sehari setelah bencana, segera berkoordinasi dengan Departemen Sosial untuk mengetahui apakah sudah ada permohonan ijin dari stasiun televisi atau lembaga masyarakat untuk menggalang dana bantuan. Kemudian muncullah surat imbauan agar manajemen televisi melapor ke Depsos dan mengaudit hasil sumbangan masyarakat serta menahan diri dalam menampilkan gambar-gambar korban, jenazah atau potongan tubuh korban banjir bandang SItu Gintung, juga dalam melakukan wawancara dengan korban langsung. Itu belum termasuk berbagai upaya KPID Jabar untuk mengingatkan televisi lokal memperhatikan nilai sosial budaya lokal dalam klip musik, audisi artis, ucapan penyiar, bahasa pengantar siaran dan masih banyak lagi.

KPID Jabar juga mendengar pendapat para ahli komunikasi dan budayawan ketika menelaah rekaman-rekaman tayangan radio dan televisi, sebelum menyebut tayangan itu ter-indikasi melanggar. Jadi, berbeda dengan prinsip pengawasan di era Orde Baru, KPI mendengar pendapat dari representasi warga dalam membuat keputusan selain melihat kewenangan normatif berdasarkan undang-undang. Jadi kekuatiran atas Dewan Pers dan KPI yang akan menjadi lembaga negara yang otoriter, tidak perlu.

Dewan Pers dan KPI serta KPID hingga saat ini masih jauh dari jangkauan kepentingan kekuasaan, karena proses penunjukkan anggotanya tidak melibatkan eksekutif. Meski perlu diakui, baik Dewan Pers maupun KPI dan KPID amat bergantung pada anggaran pihak eksekutif. Dewan Pers dan KPI Pusat bergantung pada anggaran Departemen Komunikasi dan Informatika, sementara KPID dari anggaran Sekertariat Daerah. Ini memang sisi sensitif. Melalui anggaran, lembaga negara independen ini bisa saja dipengaruhi. Tetapi jika anggotanya benar-benar independen dan keberadaannya mendapat dukungan warga, maka jika pihak eksekutif mencoba mempengaruhi sikap lembaga independen melalui anggaran, itu justru akan menjadi boomerang politik. Warga akan menilai, para elite sedang mencoba mengambil kedaulatan yang sejak era reformasi sedang diberikan pada warga sebanyak-banyaknya itu.

Saran saya, arahkan kekuatiran kepada para elite yang cenderung represif, bukan kepada representasi warga. Jika Dewan Pers dan KPI atau KPID tidak bekerja dengan baik apalagi karena hambatan anggaran (atau malah plot), justru beri dukungan yang lebih kuat. Seperti kita memberi dukungan pada KPK (apapun yang terjadi dengan pengurusnya) agar tidak dihapus, ketika sistem hukum belum bisa dipercaya. Kita masih memerlukan lembaga-lembaga independen yang berisikan representasi warga karena trauma terhadap lembaga negara (birokrasi) yang korup.

KPI jelas mendapat tugas untuk memelihara kebebasan pers, bahkan mendorong tumbuhnya industri penyiaran, namun kalimatnya tidak selesai di situ. Karena UU Penyiaran menyebut, yang harus dibangun KPI dan KPID adalah industri yang sehat (kompetisinya, isinya dan karyawannya). Memang hasil dari pelaksanaan tugas itu tidak nampak berupa jembatan atau bangunan. Tapi saya pikir, itu adalah tugas yang juga Anda berikan untuk menjamin masa depan bangsa yang sehat. Itu pula tujuan dari kebebasan pers bukan? Bangsa yang sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar