26 Agustus 2009

Pemilu Afghanistan Di Mata Media Internasional

Sumber: DW Online

Pemilu ini bukan hanya penting bagi Afghanistan saja, melainkan juga bagi dunia internasional. Karenanya menjadi tema komentar dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian Spanyol El Periodico de Catalunya yang terbit di Barcelona dalam tajuknya berkomentar : Jika Afghanistan merupakan sebuah negara normal, maka pemilu ini akan berlaku sebagai pertanda demokrasi dan koherensi sosial. Tapi sayangnya situasi di Afghanistan tidak normal. Ketika AS delapan tahun lalu menyerang negara itu, karena dianggap sebagai lahan subur bagi tumbuhnya Al Qaida, tindakan ini ibaratnya memukul sarang tawon. NATO dengan missinya, juga ingin menunjukkan bahwa aliansi ini di abad ke 21 masih dapat memainkan peranan. Lebih dari 100.000 serdadu ditempatkan di Afghanistan. Tapi jumlah ini tidak mencukupi untuk mencegah aksi kekerasan dan maraknya korupsi di kalangan pemerintahan. Taliban terus melancarkan serangan-serangan mengerikan. Walaupun situasinya amat dramatis, pemilu ini merupakan secercah harapan, bahwa suatu hari nanti Afghanistan akan menjadi sebuah negara yang bebas.

Harian Austria Salzburger Nachrichten yang terbit di Salzburg berkomentar : Pemilu ini tidak seperti apa yang diimpikan barat. Namun Afghanistan harus mencari jalan sendiri bagi masa depannya. Uni Eropa sudah menegaskan, pemilu presiden ini amat menentukan bagi masa depan Afghanistan. Tapi pernyataan Eropa ini dapat dibantah. Pemilu kedua setelah digulingkannya rezim Taliban pada tahun 2001 memang menandai sebuah etappe dari jalan yang amat panjang. Tapi pemilu ini nyaris tidak menentukan masa depan Afghanistan. Perkembangan kemasyarakatan tidak mandeg gara-gara pemilu. Juga bila peristiwa ini dinilai amat penting oleh pengamat barat. Hari pemungutan suara sebetulnya merupakan sebuah kesempatan, untuk menarik neraca dari masa lalu.

Harian Belanda Trouw yang terbit di Amsterdam berkomentar : Pemilu presiden sebelumnya diikuti 70 persen pemilih, yang mencerminkan bahwa banyak warga Afghanistan masih memiliki harapan bagi masa depan yang lebih baik. Tapi sekarang, banyak warga yang sudah putus harapan. Dipatahkan oleh aksi kekerasan dan situasi ekonomi yang buruk. Selain itu juga dikhawatirkan terjadinya kecurangan pemilu. Terutama juga akibat serangan Taliban yang bahkan dilancarkan di pusat ibukota Kabul. Walaupun demikian, tetap muncul harapan, warga Afghanistan akan tetap menuntut haknya untuk demokrasi, bagaimanapun kacaunya situasi. Ini merupakan sebuah prasyarat yang menentukan untuk dapat melawan teror serta anarki.

Terakhir harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar : Pemungutan suara itu tidak hanya memiliki arti penting secara nasional. Permainan ini mempertaruhkan lebih banyak lagi. Pemilu presiden ini berdampak melewati perbatasan negara yang tercabik-cabik dan sulit dikendalikan itu. Warga Afghanistan tidak hanya sekedar memilih presiden baru dan dewan provinsi. Apakah mereka pergi ke bilik pemilihan, atau tetap tinggal di rumah, ibaratnya seperti mengikuti sebuah referendum, yang diarahkan pada kepedulian masyarakat internasional. Dalam arti, menyangkut upaya stabilisasi Afghanistan, yang dinilai sebagai lokasi strategis penting dalam perang melawan terorisme. Ini merupakan referendum di bawah ancaman senjata.

Termehek-mehek Trans TV Kena Tegur

Sumber : KPI Link

KPI Pusat melayangkan teguran tertulis pada Trans TV karena dinilai menayangkan adegan kekerasaan di program acara Termehek-mehek edisi 1 Agustus lalu, Selasa (25/8). Adegan kekerasaan tersebut melanggar aturan yang ada Pasal 36 ayat (3) dan 5 (b) UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan sejumlah ketentuan yang ada di Standar Program Siaran (SPS) KPI.

Perlu diketahui, teguran tertulis yang diberikan KPI Pusat pada Trans TV ini dijatuhkan setelah adanya klarifikasi langsung dari Trans TV terkait persoalan tersebut pada 19 Agutus 2009.

Dalam surat teguran yang ditandatangani oleh Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Sendjaja, dijelaskan pula mengenai sanksi pelanggaran terhadap Pasal 36 ayat 5 (b). Adapun sanksi berupa pidana berupa kurungan sebanyak-banyaknya 5 tahun atau kena denda paling banyak 10 miliar rupiah sesuai dengan aturan di Pasal 57 ayat (d) UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

KPI Pusat juga menegaskan akan terus melakukan pemantauan pada program tersebut dan jika ditemukan kembali adanya pelanggaran dalam program tersebut kemungkinan KPI akan menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan yang ada dan bukan tidak mungkin akan kena sanksi pidana seperti yang dijelaskan dalam surat teguran tersebut.

Di akhir surat teguran itu, KPI Pusat meminta kepada Trans TV membuat surat pernyataan tertulis mengenai komitmen mereka melakukan perbaikan-perbaikan terkait isi siaran program Termehek-mehek. Red/RG

Jembatan Selat Sunda Ditentang Akademisi

Steven Lenakoly - detikNews

Surabaya - Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) mendapatkan pertentangan dari akademisi. Jembatan itu dinilai tidak memiliki nilai tambah sehingga pembangunan jembatan sepanjang lebih dari 30 kilometer itu sebaiknya dipikirkan lagi. Pembangunan jembatan itu dinilai lebih memiliki nilai gengsi daripada nilai fungsional.

"Seperti Sidney Opera Hall yang tidak lagi terpakai. Saya takutkan nanti seperti ikon Australia itu," kata pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Johan Silas dalam seminar Jembatan selat sunda: Blunder atau Terobosan Teknologi? Tantangan Negara Kepulauan di ITS, Jalan Sukolilo, Selasa (25/8/2009).

Contoh yang dimaksud oleh Johan menggambarkan bahwa Sidney Opera Hall yang semula bertujuan untuk pementasan opera dan menghabiskan dana yang sangat besar ternyata saat ini tidak sesuai harapan. Saat ini gedung itu malah menjadi ikon yang tidak memiliki nilai positif.

Ia memaparkan bahwa JSS itu tidak memberikan pertambahan nilai saja dan lebih merupakan prestige bangsa ini. Ia menyarankan agar lebih baik memperbaiki kapal yang menghubungkan Jawa-Sumatera yang saat ini masih belum optimal.

Pertimbangan ini didasarkan bila kapal lebih baik maka akan terjadi perkembangan ekonomi dan lebih efektif dibandingkan jembatan. Jembatan tidak bisa memberikan nilai tambah pada lingkungan sekitarnya.

Sementara itu pakar hukum perairan internasional Universitas Hang Tua, DR Dhiana T Wardana menyatakan bahwa Selat Sunda merupakan perairan lalu lintas internasional. Sehingga apabila nanti dibangun jembatan akan mempersulit lalu lintas internasional.

laporan selengkapnya ..

.

25 Agustus 2009

Hari tanpa Televisi (HTT) : Kendali Ada Di Tangan Anda

Sumber : Koran Pikiran Rakyat

KALAU pada Kamis (23/7) malam lalu Anda sempat menyaksikan tayangan malam puncak Nickelodeon Indonesia Kids Choice Awards 2009 yang disiarkan langsung dari Tennis Indoor Senayan Jakarta, ada satu kejadian yang menarik perhatian. Luna Maya yang mendapat penghargaan sebagai Artis Wanita Favorit bagi Anak-anak, didaulat ke atas panggung bersama Ariel "Peterpan". Tanpa dikomando, ratusan anak-anak yang berdiri di depan panggung mengeluarkan koor, "Cium... cium... cium!".

Entah apa yang ada di benak para orang tua menyaksikan adegan impulsif tersebut. Pasalnya, acara tersebut diperuntukkan bagi anak-anak, dan banyak dihadiri anak-anak. Mana yang jadi reaksi Anda saat menyaksikan adegan tersebut bersama buah hati Anda? Tertawa terbahak-bahak, apatis, atau bahkan tertawa miris?

Apa pun itu, setidaknya kejadian itu memberikan satu gambaran luas. Betapa anak-anak sudah sedemikian diterpa oleh tayangan yang diberikan media massa, terutama yang memberitakan kisah semacam Luna dan Ariel.

Pembahasan mengenai dampak negatif televisi sendiri sudah banyak diperbincangkan. Barangkali sejak J.L. Baird dan C.F. Jenkins pertama kali menemukan kotak bernama televisi di negeri Paman Sam. Pergulatan wacana seputar dampak negatif versus positif televisi tak pernah lepas dari perbincangan mahasiswa atau pemerhati dunia komunikasi. Yang paling mudah ditemukan, oleh orang tua yang prihatin dengan tayangan televisi bagi anak-anak mereka.

"Makanya kita butuh satu hari untuk mengingat kembali, isunya masih sama dengan tahun lalu. Dengan Hari tanpa Televisi (HTT), kita berharap bisa menggerakkan kecerdasan penonton untuk memilih tayangan televisi, dan menyehatkan tayangan televisi sendiri," ucap pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung sekaligus pengamat media, Santi Indra Astuti, ditemui di Sekretariat Bandung School of Communication Studies di Jln. Tamansari Bandung, Jumat (24/7).

Pada 2009, kegiatan HTT bertepatan dengan hari ini, Minggu (26/7). Namun Santi mengingatkan, HTT yang identik dengan slogan "Turn off Your TV Day", bukan merupakan bentuk ekstrem dari pelarangan menonton televisi.

"Itu yang sering saya alami, masih banyak orang yang berpikir seperti itu. Gerakan ini hanya sebagai ajakan untuk mematikan televisi selama satu hari, dan anjuran bagi keluarga untuk mencari kegiatan positif lain di luar menonton televisi," ucap Santi. Pemilihan hari Minggu disebabkan hari itu merupakan hari libur mayoritas, ketika anak-anak biasanya berkumpul bersama orang tua.

Ancaman televisi
Berdasarkan data dari AGB Nielsen Media Research untuk 2008, televisi masih merupakan media yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, sebanyak 94 persen. Selanjutnya diikuti oleh radio (62 persen) dan koran (22 persen). Anggap saja itu merupakan satu bukti betapa besarnya pengaruh televisi.

Survei Unicef pada 2007 juga menyebutkan konstruksi realitas yang lumayan mengejutkan saat itu. Anak Indonesia menonton televisi sebanya lima jam sehari atau 1.560 hingga 1.820 setahun. Sementara jumlah jam belajar tak lebih dari 1.000 jam setahun. Ketika sudah menginjak bangku SMP, seorang anak rata-rata sudah menyaksikan siaran televisi selama 15.000 jam. Padahal, waktu belajar di sekolah tak lebih dari 11.000 jam.

Di Jawa Barat sendiri, dalam kurun waktu Januari hingga Juli 2009, ada empat tayangan televisi yang membuahkan surat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, akibat isi siaran yang dianggap bisa melukai jiwa anak-anak. "Pada dasarnya, setiap konsumen berhak mendapatkan kenyamanan saat mengonsumsi sesuatu. Ajakan HTT lebih kepada kampanye mengajak penonton untuk lebih dewasa memilih isi siaran," ucap Anggota KPID Jawa Barat Bidang Isi Siaran, Nursyawal, ditemui di Kantor KPID Jawa Barat di Jln. Malabar Bandung, Kamis (23/7).

Secara umum, kata Nursyawal, KPID Jawa Barat melayangkan surat teguran kepada radio dan televisi sebanyak 56 kali pada 2008. "Di antaranya, ada 26 aduan yang sudah diklarifikasi, namun mereka menyadari dan tidak melanjutkan," katanya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bandung Y. Rudy Parasdio, ditemui di Kantor KPAI Jln. Cianjur Bandung, Jumat (24/7) menegaskan, anak-anak kini sudah menjadi korban kamuflase siaran tayangan televisi yang tidak sesuai dengan usia anak-anak. "Yang terkena sebenarnya mayoritas secara psikologis, dan ini sudah masuk ke ranah kekerasan terhadap anak," ucapnya.

Pelanggaran hak anak pada mutu siaran, kata dia, sebaiknya membutuhkan peran aktif orang tua untuk mendampingi saat anak-anak menonton televisi. Jika hal ini sulit dilakukan, minimal orang tua menyediakan alternatif kegiatan yang bisa dilakukan di rumah selain menonton televisi.

Kegiatan HTT lewat "Turn off Your TV Day" memang tidak serta-merta mengajak penonton untuk mengenyahkan televisi. Ajakan untuk melakukan "diet" televisi selama satu hari penuh setidaknya bisa memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa tak ada istilah "ditodong" televisi. Penonton sebagai konsumen punya hak penuh untuk menentukan atau (bahkan) menggiring tayangan menjadi lebih aman bagi anak-anak. Jadi, kini saatnya kendali ada di tangan Anda. (Endah Asih/"PR") ***

15 Agustus 2009

Komnas HAM Kecam Tayangan Penggrebekan Densus 88

Jumat, 14 Agustus 2009 13:26 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam jajaran media yang mempertontonkan penggerebekan tersangka teroris oleh Densus 88 di Temanggung.

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, media televisi telah menjadikan upaya penangkapan itu menjadi live show. "Penggerebekan itu menjadi tontonan live show. Ditayangkan selama 18 jam, lagi. Ini kan lama," kata Ifdhal di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (14/8).

Menurut Ifdhal, media massa seharusnya tidak melakukan trial by the press terhadap orang yang tidak bersalah dan menghormati asas praduga tak bersalah. Di samping itu, media juga harus menahan diri dan tidak membuat pemberitaan yang misleading dengan fakta dan bukti-bukti yang telah dikumpulkan, baik oleh jajaran intelijen, maupun aparat Polri.

Tontonan ini, tambah Ifdhal, juga memberi pengaruh buruk bagi anak-anak karena menayangkan tindakan kekerasan oleh aparat negara. "Kan tidak semua yang menonton acara itu orang dewasa. Anak-anak juga nonton," cetusnya.

Bahkan, keluarga tersangka juga ikut terseret dalam stigma sebagai bagian dari kelompok teroris. Akibatnya, tidak jarang ada kelompok masyarakat yang menolak keluarga tersangka di lingkungan mereka. "Ini kan kasihan. Mereka ini warga biasa yang lebih sering tidak tahu aktivitas tersembunyi suami, bapak, anak ataupun anggota keluarga mereka. Secara hukum tidak memiliki sangkut pautnya," ungkapnya.

13 Agustus 2009

Mencermati Tayangan Marathon Dari Temanggung

Tidak semua senang dengan tayangan marathon hampir 18 jam di 2 buah televisi swasta Jakarta. Tidak semua ternyata membutuhkan katarsis. Tidak semua orang ingin seperti penonton Drama Oedipus Rex saat menyaksikan Raja Oedipus yang setelah kematian istri yang juga ibunya itu, lalu membutakan matanya sendiri. Tidak semua orang memiliki gumpalan emosi yang menyumbat dan perlu dibersihkan, dengan menonton rentetan tembakan ke dinding rumah kecil milik Mohjahri di sisi jalan Desa Beji RT01/RW07 Kelurahan Kedu Temanggung dan sedikitnya 5 ledakan bahan peledak yang dilontarkan ke dalam, dengan sebelumnya diberitahu bahwa di dalam rumah ada buronan nomor satu, Noordin M.Top. Sehingga banyak juga teman yang berkomentar pada status facebook dengan kalimat, "rasain lu", "modhar kowe", "biar mampus", "go to hell", dst. Benar-benar hidangan catharsis effect.

Masih ada orang yang merasa betapa nelangsa perasaan keluarga dari orang yang berada di dalam rumah itu. Melihatnya ditembaki belasan jam, lalu dibombardir. Siapa pun orang itu. Entah dia teroris, entah dia syuhada, entah orang biasa yang tidak tahu apa-apa. Perasaan yang ada masih sama.

Kepada Komisi Penyiaran Indonesia, melalui Hotline SMS Pengaduan KPI, seorang warga menulis aduannya, "Penayangan selama 18 jam, di 2 stasiun TV swasta, soal proses pembunuhan oknum warga yang dianggap teroris, benar-benar tidak mendidik! Tayangan itu, melebihi fragmen drama atau pagelaran wayang orang semalam suntuk. selain penuh nuansa sadisme. juga mganggu hak kenyamanan warga. Bagaimana jika yang diberondong senapan itu saudara anda? Bagaimana jika polisi yg berugas,gugur disaksikan oleh jutaan warga, termasuk keluarga? Bagaimana ini bisa ditayangkan, seperti sinetron?".

Begitulah, simpati seorang warga pada keluarga orang yang akhirnya ternyata bukanlah Noordin M.Top.

Lepas dari dukungan terhadap kampanye anti teror di Indonesia. Lepas dari kemarahan orang atas tindakan teror yang telah mengoorbankan ratusan nyawa dan ribuan orang lain yang kehilangan. Lepas dari kepentingan politik atas tindakan polisional terhadap para tersangka. Kita memang harus secara rasional melihat persoalan ini dengan tenang.

Publik memang memiliki hak untuk memperoleh informasi dan media bertugas untuk itu. Tapi saya percaya ada ruang privat yang tidak boleh ditembus oleh media massa, termasuk ketika penegak hukum sedang melakukan tugasnya pada level tertentu. Adalah benar, media massa berfungsi untuk mengawasi tindak tanduk aparat negara dalam melaksanakan tugas fungsinya, agar negara selalu memberi manfaat pada rakyatnya. Agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Tapi tidak semua keputusan aparatur negara, harus diketahui orang banyak.

Ada kalanya, seorang ayah memutuskan untuk melarang seorang pria yang mencoba mendekati anak gadisnya, secara diam-diam tanpa diketahui anak gadisnya itu. Sang Gadis tentu akan merasa kehilangan, tapi hidup akan terus berjalan. Si Ayah tentu punya pertimbangan yang amat kuat ketika memutuskan tindakan itu tanpa perlu memberitahukan kepada anaknya dengan pertimbangan keutuhan keluarga, dsb. Pepatah lama menyebut, dirty deed done good job.

Karena itu, ada batasan etis dan normatif dalam proses penyebaran informasi, meski di dalam rejim demokrasi sekalipun.

Di dalam dunia penyiaran, di Indonesia, ada aturan tentang penayangan peristiwa kriminal.

Menurut Peraturan KPI no 2/2007 Pasal 5, harus ada pembatasan durasi dan isi tayangan yang bermuatan adegan kekerasan. Saya yakin semua sepakat kalau gambar orang yang sedang memegang senapan lalu senapan tadi menyalak dan nampak pelurunya mengenai tembok. Kaena itu adalah adegan ketika seseorang berusaha melumpuhkan orang lain dengan cara yang represif. Kekerasan. Tentu semua juga sepakat, 17 jam lebih adalah waktu yang lama. Jadi, kita bisa melihat sendiri, apakah secara normatif, tayangan marathon dari Temanggung itu telah melampaui batas atau tidak.

Selain itu, masih menurut Pasal 5, harus ada ketepatan dan kentralan pada siaran berita.

Ketepatan Berita = Akurat. Mengapa manajemen redaksi stasiun televisi membiarkan pernyataan presenter / reporter mereka yang memastikan orang yang berada di dalam rumah yang sedang ditembaki itu adlah Noordin M.Top? Mengapa manajemen redaksi tidak mengerahkan lebih banyak reporter mereka dan menghubungi labih banyak sumber sahih, untuk mendapat klarifikasi segera? Sehingga tidak perlu dalam caption di layar kaca ditulis, "Noordin Tewas" ketika akhirnya polisi memutuskan untuk meledakkan kamar mandi di rumah kecil itu. Mengapa tidak ada ralat?

Dalam hal isi berita, Peraturan KPI nomor 2/2007 Pasal 15 menyebut, berita itu harus akurat (tidak menyebut pasti padahal belum tentu M. Top), berimbang (kalau seseorang disebut oleh narasumber sebagai penjahat, maka harus dicari pendapat berbeda atau setidaknya ada suara dari yang dituduh),
tidak berpihak (tidak melakukan labeling/stigma, misal seorang penyanyi "genit", "koruptor kakap", "fundamentalis islam", kelompok "pemberontak", perempuan "nakal", dsb.), tidak menonjolkan unsur kekerasannya.

Selain itu, menurut Peraturan KPI lain, yaitu nomor 3/2007 Pasal 30, tayangan berita harus juga mempertimbangan dampak negatif dari disiarkannya sebuah peristiwa.

Karena itu, adegan kekerasan (seperti orang memegang senapan lalu senapannya meletus, atau gambar peluru yang mengenai dinding, ledakan bom di lokasi yang diketahui ada orangnya) tidak boleh ditayangkan secara eksplisit (live dan close up) dan berlebihan (terus menerus berjam-jam).

Di pasal Pasal 40-nya KPI mengatur mengenai perilaku presenter acara yang tidak boleh membuat interpretasi atas berita yang baru atau sedang ditayangkan, tanpa memperlihatkan bukti atau argumen rasional atau sumber kutipan dari ucapannya.

itu adalah aturan KPI.

Hal lain yang juga musti kita garis bawahi dari kasus tayangan live penyergapan itu adalah para pemirsa digiring untuk mendukung aksi eksekusi terhadap para tersangka teroris tanpa pengadilan. Tayangan ini seperti menguatkan nilai tindakan main hakim sendiri, yang tidak boleh dibiarkan terus terjadi di sebuah negara hukum seperti Indonesia. Kita jangan lagi memukuli copet atau jambret. Tangkap dan serahkan pada polisi untuk diselidiki. Soal 2 hari kemudian dilepaskan, laporkan petiugas polisinya ke Komisi Kepolisian Nasional. Jangan pernah berhenti menjadi bangsa yang maju. Jangan menjawab, ah malas ah.

Lalu kalau tayangan itu melanggara aturan, apa tindakan KPI?

Meski dilema, KPI sudah bertindak.

Dengan tetap dalam semangat mendorong berkembangnya kebebasan pers di Indonesia yang masih seumur jagung, KPI telah jelas menyebut itu sebagai pelanggaran. Tapi nampaknya KPI masih memberi toleransi besar pada program berita di tv dan radio. Sama seperti orang tua yang melihat bayinya belajar berjalan. Ketika bayinya terjatuh, orang tua tentu tidak marah, malah menyeemangati untuk berdiri lagi, sambil diajak untuk melakukan prosedur yang benar.

Selama ini, belum ada program berita yang mendapat sanksi dari KPI. Seperti diketahui, sanksi KPI itu adalah: teguran sampai 3 kali, penghentian sementara program acara, larangan untuk disiarkan, atau sanksi denda administratif dan penghentian perpanjangan ijin siaran.

Namun ajakan untuk bertindak dengan benar, melalui surat imbauan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran, banyak sekali. Terakhir, dalam kasus tayangan 18 jam live dari Temanggung, KPI kemarin bersama Polri mengimbau praktisi penyiaran untuk bertindak sesuai aturan.

Tetapi itu bukan berarti praktisi penyiaran adalah satu-satunya pihak yang bersalah. Apartus penegak hukum juga. Karena wartawan tidak mungkin tahu segala peristiwa kalau tidak ada yang memberi tahu, kecuali jika si wartawan secara kebetulan ada di lokasi. Karena itu, saya mendukung penuh pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Sukarna, yang akan menindak anggotanya yang membocorkan informasi seputar penyidikan terorisme kepada wartawan sehingga wartawan banyak yang hadir pada saat penyergapan. Saya yakin pihak Polri akan menegakkan kode etik profesi polri sesuai Keputusan Kapolri nomor 32/VII/2003/ tanggal 1 juli 2003 yang mengatur soal publikasi atas penyelidikan atau penyidikan sebuah kasus.

Terakhir, Tips untuk teman-teman wartawan:

Jika Embedded-journalism (seperti kasus Temanggung ini) tak terhindarkan, maka letakkan kepentingan publik sebagai tujuan nomor satu dan upayakan untuk mendapat informasi yang lengkap dan berimbang.

Jika keberimbangan sulit diterapkan, maka praktisi penyiaran perlu membuat disclosure sejelas-jelasnya bahwa liputan yang dibuat itu memang liputan sepihak sehingga pemirsa tahu persis posisi liputan itu, yang memang tidak dimaksudkan sebagai liputan berimbang, dengan tambahan kalimat atau caption. "unverified" atau "yet-to-be-verified".

Kepada manajemen lembaga penyiaran, saya mengimbau, bekali para reporter lapangan dengan pengetahuan tentang aturan KPI serta fasilitas yang lengkap. Jangan paksa reporter lapangan Anda untuk memperoleh informasi lengkap seorang diri. Harus ada redaksi yang kuat untuk itu. Artinya harus ada pembiayaan yang kuat pula untuk redaksi. Ini yang jarang dibicarakan. Program berita itu mahal, tidak cuma harga iklannya, tetapi juga produksinya. Berita yang murahan, kualitasnya juga murahan, iklannya pun murahan.

Tapi dari semua kehebohan tentang siapa yang salah sehingga banyak penonton kecewa karena ternyata yang tewas bukan M.Top, ini adalah bukti kalau program informasi bisa lebih menarik dibanding program hiburan. Ini bantahan terhadap mitos, kalau acara hiburan lebih menarik daripada acara berita. Tentu... tergantung pada apa isi informasinya. Kalau isinya tidak penting, apalagi cuma janji kosong, pasti tidak menarik. Penonton akan menyaksikan program berita, jika itu menyangkut kepentingan dan menyentuh sensasi penonton!

Baru kali ini, orang Indonesia mau nonton siaran berita marathon 17 jam, dan tidak tertarik dengan sinetron pada malam 7 Agustus itu.

11 Agustus 2009

Semalam di Grage Mal

Setelah 19 tahun tidak berkunjung ke Kota Cirebon (terakhir saya ke sana tahun 1990), malam itu saya menikmati kembali hangatnya udara kota pelabuhan ini. Perjalanan sekilas itu, memang hanyalah kunjungan singkat beberapa jam, saya nikmati betul.

Sepanjang jalan menuju sebuah stasiun televisi lokal Cirebon, saya mencoba mengingat kembali kenangan yang ada. Banyak landmark yang tidak saya kenali lagi, kecuali ketika mengitari alun-alun dan balaikota serta melintas daerah gudang pelabuhan lama. Cirebon nampak tidak berubah pesat seperti Jakarta bahkan Bandung. Tapi saya melihat kecederungan arah perkembangan kota yang sama seperti Bandung. Banyak hotel besar dan Mal.

Satu hal yang tidak sempat saya kunjungi adalah warung Sega Jamblang di Pelabuhan lama. Karena seusai siaran di Televisi malam itu, saya diajak untuk menikmati Nasi Jamblang di kawasan yang dulu saya ingat adalah toko Matahari, yang sejak beberapa tahun terakhir ternyata sudah berubah menjadi Mal Grage.

Kata teman yang orang Cirebon, di sini sekarang tempat orang menikmati Nasi Jamblang jika keluyuran tengah malam. Sama seperti bubur ayam di depan Savoy Homann Bandung.

Nasi Jamblang alias Sega Jamblang, adalah makanan khas kota Cirebon. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut (Desa Kasugengan?). Dulunya, nasi Jamblang adalah sajian untuk para pekerja kasar pelabuhan, maka dari itu, selain menunya, harga nasi Jamblang harus murah. Agak aneh, kalau nasi Jamblang ada di restaurant, dengan alas piring lengkap dengan sendok garpu, duduk di kursi empuk lalu ada serbet di pangkuan, dengan harga puluhan ribu satu porsinya. Justru nikmatnya makan nasi jamblang adalah ketika kita menggunakan alas makan daun Jati, duduk di atas bangku papan kayu panjang, di bawah tenda pinggir jalan, dengan hawa panas kota, berdempetan dengan pembeli lain dan menyuap dengan tangan kotor kita. (ih jijik ya?). Lalu semerdekanya mengambil lauk teman nasi yang disajikan di atas meja di dalam baskom dengan tangan itu pula.

Malam itu, kami berada di depan Grage Mal itu. Di sana, di atas trotoir depan pagar Mal Grage, warung itu begitu ramai. Setiap orang sedang asik menikmati sajiannya sendiri. Saking banyaknya orang, kursi plastik hijau pun bertebaran di atas trotoir seluar tenda warung.. sejumlah motor berjejer bersama jajaran mobil. Orang-orang datang dan pergi. Warung ini nampaknya memiliki rejeki yang baik malam itu. Karena warung lain di sekitar sana nampak sepi.

Seperti biasa, lauk yang tersedia adalah sambal goreng, paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin (jambal roti), tahu dan tempe, serta tidak ketinggalan 'balakutak' (cumi-cumi yang dimasak pedas bersama tintanya). Masing-masing diwadahi baskom sendiri.

Katanya, nasi jamblang harus dibungkus dengan daun jati, supaya tahan lama dan tetap pulen. Atau mungkin karena sepanjang jalan menuju kota Cirebon, seperti halnya jalan menuju wonogiri atau gunung kidul, banyak kita temui pohon jati. Bukan pohon pisang. Jadi mungkin karena alasan praktis saja. Entahlah.

Tapi, sayangnya, warung nasi jamblang itu sudah mulai menambah profit dengan menawarkan air teh dalam botol. Dulu, air teh hangat adalah sajian gratis dari warung. Kalau mau mewah sedikit, kita bisa memesan teh poci dengan teko dari gerabah. Sekarang, kemewahan a'la pekerja kasar pelabuhan itu hilang. Semua menjadi komoditas, termasuk air teh. Maka itulah, ketika giliran membayar apa yang sudah saya makan, harga satu porsi tidak lagi murah, karena itu termasuk harga teh dalam botol yang sama seperti harga teh dalam botol di warung di Bandung atau Jakarta. Kecewa juga saya. Kehilangan suasana warung untuk para pekerja kasar. Tapi saya maklum, jaman sekarang ini, semua harus ada margin besar, supaya bisa hidup.

Yang belum berubah adalah cara mereka menentukan berapa harga yang musti saya bayar. Pemegang kas bertanya pada saya, apa saja yang sudah dimakan (tentu ini butuh kejujuran dari saya karena pemilik warung hanya menyediakan satu porsi nasi di atas daun jati kepada saya) lauknya saya sendiri yang ambil sambil terus mengunyah tadi. Lalu dia menulis di atas kertas bon nama-nama lauk dan setelah usai pengakuan "dosa" saya, dia menghitung begitu saja semua item dan menyebut total harganya. 19 tahun lalu, saya pernah iseng mencoba makan dengan menu yang sama di warung yang sama di dekat pelabuhan. Ternyata harga totalnya bervariasi. Memang sedikit saja variasinya, tapi itu jelas membuktikan kalau pemegang kas menambah "kebijaksanaan" dirinya dalam menghitung total tagihan. Itulah khas warung yang melayani para pekerja kasar yang suasana keuangannya tidak menentu. Saya tidak tahu apakah malam kemarin itu, pemegang kas masih memberi "kebijaksanaannya" dalam menghitung tagihan. Apalagi yang datang bukan pekerja kasar pelabuhan yang keluyuran malam pake motor dan mobil bagus.

Satu hal yang sudah pasti, Nasi Jamblang "uenak e maning uedhan !!"