11 Agustus 2009

Semalam di Grage Mal

Setelah 19 tahun tidak berkunjung ke Kota Cirebon (terakhir saya ke sana tahun 1990), malam itu saya menikmati kembali hangatnya udara kota pelabuhan ini. Perjalanan sekilas itu, memang hanyalah kunjungan singkat beberapa jam, saya nikmati betul.

Sepanjang jalan menuju sebuah stasiun televisi lokal Cirebon, saya mencoba mengingat kembali kenangan yang ada. Banyak landmark yang tidak saya kenali lagi, kecuali ketika mengitari alun-alun dan balaikota serta melintas daerah gudang pelabuhan lama. Cirebon nampak tidak berubah pesat seperti Jakarta bahkan Bandung. Tapi saya melihat kecederungan arah perkembangan kota yang sama seperti Bandung. Banyak hotel besar dan Mal.

Satu hal yang tidak sempat saya kunjungi adalah warung Sega Jamblang di Pelabuhan lama. Karena seusai siaran di Televisi malam itu, saya diajak untuk menikmati Nasi Jamblang di kawasan yang dulu saya ingat adalah toko Matahari, yang sejak beberapa tahun terakhir ternyata sudah berubah menjadi Mal Grage.

Kata teman yang orang Cirebon, di sini sekarang tempat orang menikmati Nasi Jamblang jika keluyuran tengah malam. Sama seperti bubur ayam di depan Savoy Homann Bandung.

Nasi Jamblang alias Sega Jamblang, adalah makanan khas kota Cirebon. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut (Desa Kasugengan?). Dulunya, nasi Jamblang adalah sajian untuk para pekerja kasar pelabuhan, maka dari itu, selain menunya, harga nasi Jamblang harus murah. Agak aneh, kalau nasi Jamblang ada di restaurant, dengan alas piring lengkap dengan sendok garpu, duduk di kursi empuk lalu ada serbet di pangkuan, dengan harga puluhan ribu satu porsinya. Justru nikmatnya makan nasi jamblang adalah ketika kita menggunakan alas makan daun Jati, duduk di atas bangku papan kayu panjang, di bawah tenda pinggir jalan, dengan hawa panas kota, berdempetan dengan pembeli lain dan menyuap dengan tangan kotor kita. (ih jijik ya?). Lalu semerdekanya mengambil lauk teman nasi yang disajikan di atas meja di dalam baskom dengan tangan itu pula.

Malam itu, kami berada di depan Grage Mal itu. Di sana, di atas trotoir depan pagar Mal Grage, warung itu begitu ramai. Setiap orang sedang asik menikmati sajiannya sendiri. Saking banyaknya orang, kursi plastik hijau pun bertebaran di atas trotoir seluar tenda warung.. sejumlah motor berjejer bersama jajaran mobil. Orang-orang datang dan pergi. Warung ini nampaknya memiliki rejeki yang baik malam itu. Karena warung lain di sekitar sana nampak sepi.

Seperti biasa, lauk yang tersedia adalah sambal goreng, paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin (jambal roti), tahu dan tempe, serta tidak ketinggalan 'balakutak' (cumi-cumi yang dimasak pedas bersama tintanya). Masing-masing diwadahi baskom sendiri.

Katanya, nasi jamblang harus dibungkus dengan daun jati, supaya tahan lama dan tetap pulen. Atau mungkin karena sepanjang jalan menuju kota Cirebon, seperti halnya jalan menuju wonogiri atau gunung kidul, banyak kita temui pohon jati. Bukan pohon pisang. Jadi mungkin karena alasan praktis saja. Entahlah.

Tapi, sayangnya, warung nasi jamblang itu sudah mulai menambah profit dengan menawarkan air teh dalam botol. Dulu, air teh hangat adalah sajian gratis dari warung. Kalau mau mewah sedikit, kita bisa memesan teh poci dengan teko dari gerabah. Sekarang, kemewahan a'la pekerja kasar pelabuhan itu hilang. Semua menjadi komoditas, termasuk air teh. Maka itulah, ketika giliran membayar apa yang sudah saya makan, harga satu porsi tidak lagi murah, karena itu termasuk harga teh dalam botol yang sama seperti harga teh dalam botol di warung di Bandung atau Jakarta. Kecewa juga saya. Kehilangan suasana warung untuk para pekerja kasar. Tapi saya maklum, jaman sekarang ini, semua harus ada margin besar, supaya bisa hidup.

Yang belum berubah adalah cara mereka menentukan berapa harga yang musti saya bayar. Pemegang kas bertanya pada saya, apa saja yang sudah dimakan (tentu ini butuh kejujuran dari saya karena pemilik warung hanya menyediakan satu porsi nasi di atas daun jati kepada saya) lauknya saya sendiri yang ambil sambil terus mengunyah tadi. Lalu dia menulis di atas kertas bon nama-nama lauk dan setelah usai pengakuan "dosa" saya, dia menghitung begitu saja semua item dan menyebut total harganya. 19 tahun lalu, saya pernah iseng mencoba makan dengan menu yang sama di warung yang sama di dekat pelabuhan. Ternyata harga totalnya bervariasi. Memang sedikit saja variasinya, tapi itu jelas membuktikan kalau pemegang kas menambah "kebijaksanaan" dirinya dalam menghitung total tagihan. Itulah khas warung yang melayani para pekerja kasar yang suasana keuangannya tidak menentu. Saya tidak tahu apakah malam kemarin itu, pemegang kas masih memberi "kebijaksanaannya" dalam menghitung tagihan. Apalagi yang datang bukan pekerja kasar pelabuhan yang keluyuran malam pake motor dan mobil bagus.

Satu hal yang sudah pasti, Nasi Jamblang "uenak e maning uedhan !!"

1 komentar:

  1. Salam kenal Mang Syawal!
    Saya keturunan Cirebon meskipun lahir di Bandung.
    Nasi jamblang emang topp!

    BalasHapus