13 Agustus 2009

Mencermati Tayangan Marathon Dari Temanggung

Tidak semua senang dengan tayangan marathon hampir 18 jam di 2 buah televisi swasta Jakarta. Tidak semua ternyata membutuhkan katarsis. Tidak semua orang ingin seperti penonton Drama Oedipus Rex saat menyaksikan Raja Oedipus yang setelah kematian istri yang juga ibunya itu, lalu membutakan matanya sendiri. Tidak semua orang memiliki gumpalan emosi yang menyumbat dan perlu dibersihkan, dengan menonton rentetan tembakan ke dinding rumah kecil milik Mohjahri di sisi jalan Desa Beji RT01/RW07 Kelurahan Kedu Temanggung dan sedikitnya 5 ledakan bahan peledak yang dilontarkan ke dalam, dengan sebelumnya diberitahu bahwa di dalam rumah ada buronan nomor satu, Noordin M.Top. Sehingga banyak juga teman yang berkomentar pada status facebook dengan kalimat, "rasain lu", "modhar kowe", "biar mampus", "go to hell", dst. Benar-benar hidangan catharsis effect.

Masih ada orang yang merasa betapa nelangsa perasaan keluarga dari orang yang berada di dalam rumah itu. Melihatnya ditembaki belasan jam, lalu dibombardir. Siapa pun orang itu. Entah dia teroris, entah dia syuhada, entah orang biasa yang tidak tahu apa-apa. Perasaan yang ada masih sama.

Kepada Komisi Penyiaran Indonesia, melalui Hotline SMS Pengaduan KPI, seorang warga menulis aduannya, "Penayangan selama 18 jam, di 2 stasiun TV swasta, soal proses pembunuhan oknum warga yang dianggap teroris, benar-benar tidak mendidik! Tayangan itu, melebihi fragmen drama atau pagelaran wayang orang semalam suntuk. selain penuh nuansa sadisme. juga mganggu hak kenyamanan warga. Bagaimana jika yang diberondong senapan itu saudara anda? Bagaimana jika polisi yg berugas,gugur disaksikan oleh jutaan warga, termasuk keluarga? Bagaimana ini bisa ditayangkan, seperti sinetron?".

Begitulah, simpati seorang warga pada keluarga orang yang akhirnya ternyata bukanlah Noordin M.Top.

Lepas dari dukungan terhadap kampanye anti teror di Indonesia. Lepas dari kemarahan orang atas tindakan teror yang telah mengoorbankan ratusan nyawa dan ribuan orang lain yang kehilangan. Lepas dari kepentingan politik atas tindakan polisional terhadap para tersangka. Kita memang harus secara rasional melihat persoalan ini dengan tenang.

Publik memang memiliki hak untuk memperoleh informasi dan media bertugas untuk itu. Tapi saya percaya ada ruang privat yang tidak boleh ditembus oleh media massa, termasuk ketika penegak hukum sedang melakukan tugasnya pada level tertentu. Adalah benar, media massa berfungsi untuk mengawasi tindak tanduk aparat negara dalam melaksanakan tugas fungsinya, agar negara selalu memberi manfaat pada rakyatnya. Agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Tapi tidak semua keputusan aparatur negara, harus diketahui orang banyak.

Ada kalanya, seorang ayah memutuskan untuk melarang seorang pria yang mencoba mendekati anak gadisnya, secara diam-diam tanpa diketahui anak gadisnya itu. Sang Gadis tentu akan merasa kehilangan, tapi hidup akan terus berjalan. Si Ayah tentu punya pertimbangan yang amat kuat ketika memutuskan tindakan itu tanpa perlu memberitahukan kepada anaknya dengan pertimbangan keutuhan keluarga, dsb. Pepatah lama menyebut, dirty deed done good job.

Karena itu, ada batasan etis dan normatif dalam proses penyebaran informasi, meski di dalam rejim demokrasi sekalipun.

Di dalam dunia penyiaran, di Indonesia, ada aturan tentang penayangan peristiwa kriminal.

Menurut Peraturan KPI no 2/2007 Pasal 5, harus ada pembatasan durasi dan isi tayangan yang bermuatan adegan kekerasan. Saya yakin semua sepakat kalau gambar orang yang sedang memegang senapan lalu senapan tadi menyalak dan nampak pelurunya mengenai tembok. Kaena itu adalah adegan ketika seseorang berusaha melumpuhkan orang lain dengan cara yang represif. Kekerasan. Tentu semua juga sepakat, 17 jam lebih adalah waktu yang lama. Jadi, kita bisa melihat sendiri, apakah secara normatif, tayangan marathon dari Temanggung itu telah melampaui batas atau tidak.

Selain itu, masih menurut Pasal 5, harus ada ketepatan dan kentralan pada siaran berita.

Ketepatan Berita = Akurat. Mengapa manajemen redaksi stasiun televisi membiarkan pernyataan presenter / reporter mereka yang memastikan orang yang berada di dalam rumah yang sedang ditembaki itu adlah Noordin M.Top? Mengapa manajemen redaksi tidak mengerahkan lebih banyak reporter mereka dan menghubungi labih banyak sumber sahih, untuk mendapat klarifikasi segera? Sehingga tidak perlu dalam caption di layar kaca ditulis, "Noordin Tewas" ketika akhirnya polisi memutuskan untuk meledakkan kamar mandi di rumah kecil itu. Mengapa tidak ada ralat?

Dalam hal isi berita, Peraturan KPI nomor 2/2007 Pasal 15 menyebut, berita itu harus akurat (tidak menyebut pasti padahal belum tentu M. Top), berimbang (kalau seseorang disebut oleh narasumber sebagai penjahat, maka harus dicari pendapat berbeda atau setidaknya ada suara dari yang dituduh),
tidak berpihak (tidak melakukan labeling/stigma, misal seorang penyanyi "genit", "koruptor kakap", "fundamentalis islam", kelompok "pemberontak", perempuan "nakal", dsb.), tidak menonjolkan unsur kekerasannya.

Selain itu, menurut Peraturan KPI lain, yaitu nomor 3/2007 Pasal 30, tayangan berita harus juga mempertimbangan dampak negatif dari disiarkannya sebuah peristiwa.

Karena itu, adegan kekerasan (seperti orang memegang senapan lalu senapannya meletus, atau gambar peluru yang mengenai dinding, ledakan bom di lokasi yang diketahui ada orangnya) tidak boleh ditayangkan secara eksplisit (live dan close up) dan berlebihan (terus menerus berjam-jam).

Di pasal Pasal 40-nya KPI mengatur mengenai perilaku presenter acara yang tidak boleh membuat interpretasi atas berita yang baru atau sedang ditayangkan, tanpa memperlihatkan bukti atau argumen rasional atau sumber kutipan dari ucapannya.

itu adalah aturan KPI.

Hal lain yang juga musti kita garis bawahi dari kasus tayangan live penyergapan itu adalah para pemirsa digiring untuk mendukung aksi eksekusi terhadap para tersangka teroris tanpa pengadilan. Tayangan ini seperti menguatkan nilai tindakan main hakim sendiri, yang tidak boleh dibiarkan terus terjadi di sebuah negara hukum seperti Indonesia. Kita jangan lagi memukuli copet atau jambret. Tangkap dan serahkan pada polisi untuk diselidiki. Soal 2 hari kemudian dilepaskan, laporkan petiugas polisinya ke Komisi Kepolisian Nasional. Jangan pernah berhenti menjadi bangsa yang maju. Jangan menjawab, ah malas ah.

Lalu kalau tayangan itu melanggara aturan, apa tindakan KPI?

Meski dilema, KPI sudah bertindak.

Dengan tetap dalam semangat mendorong berkembangnya kebebasan pers di Indonesia yang masih seumur jagung, KPI telah jelas menyebut itu sebagai pelanggaran. Tapi nampaknya KPI masih memberi toleransi besar pada program berita di tv dan radio. Sama seperti orang tua yang melihat bayinya belajar berjalan. Ketika bayinya terjatuh, orang tua tentu tidak marah, malah menyeemangati untuk berdiri lagi, sambil diajak untuk melakukan prosedur yang benar.

Selama ini, belum ada program berita yang mendapat sanksi dari KPI. Seperti diketahui, sanksi KPI itu adalah: teguran sampai 3 kali, penghentian sementara program acara, larangan untuk disiarkan, atau sanksi denda administratif dan penghentian perpanjangan ijin siaran.

Namun ajakan untuk bertindak dengan benar, melalui surat imbauan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran, banyak sekali. Terakhir, dalam kasus tayangan 18 jam live dari Temanggung, KPI kemarin bersama Polri mengimbau praktisi penyiaran untuk bertindak sesuai aturan.

Tetapi itu bukan berarti praktisi penyiaran adalah satu-satunya pihak yang bersalah. Apartus penegak hukum juga. Karena wartawan tidak mungkin tahu segala peristiwa kalau tidak ada yang memberi tahu, kecuali jika si wartawan secara kebetulan ada di lokasi. Karena itu, saya mendukung penuh pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Sukarna, yang akan menindak anggotanya yang membocorkan informasi seputar penyidikan terorisme kepada wartawan sehingga wartawan banyak yang hadir pada saat penyergapan. Saya yakin pihak Polri akan menegakkan kode etik profesi polri sesuai Keputusan Kapolri nomor 32/VII/2003/ tanggal 1 juli 2003 yang mengatur soal publikasi atas penyelidikan atau penyidikan sebuah kasus.

Terakhir, Tips untuk teman-teman wartawan:

Jika Embedded-journalism (seperti kasus Temanggung ini) tak terhindarkan, maka letakkan kepentingan publik sebagai tujuan nomor satu dan upayakan untuk mendapat informasi yang lengkap dan berimbang.

Jika keberimbangan sulit diterapkan, maka praktisi penyiaran perlu membuat disclosure sejelas-jelasnya bahwa liputan yang dibuat itu memang liputan sepihak sehingga pemirsa tahu persis posisi liputan itu, yang memang tidak dimaksudkan sebagai liputan berimbang, dengan tambahan kalimat atau caption. "unverified" atau "yet-to-be-verified".

Kepada manajemen lembaga penyiaran, saya mengimbau, bekali para reporter lapangan dengan pengetahuan tentang aturan KPI serta fasilitas yang lengkap. Jangan paksa reporter lapangan Anda untuk memperoleh informasi lengkap seorang diri. Harus ada redaksi yang kuat untuk itu. Artinya harus ada pembiayaan yang kuat pula untuk redaksi. Ini yang jarang dibicarakan. Program berita itu mahal, tidak cuma harga iklannya, tetapi juga produksinya. Berita yang murahan, kualitasnya juga murahan, iklannya pun murahan.

Tapi dari semua kehebohan tentang siapa yang salah sehingga banyak penonton kecewa karena ternyata yang tewas bukan M.Top, ini adalah bukti kalau program informasi bisa lebih menarik dibanding program hiburan. Ini bantahan terhadap mitos, kalau acara hiburan lebih menarik daripada acara berita. Tentu... tergantung pada apa isi informasinya. Kalau isinya tidak penting, apalagi cuma janji kosong, pasti tidak menarik. Penonton akan menyaksikan program berita, jika itu menyangkut kepentingan dan menyentuh sensasi penonton!

Baru kali ini, orang Indonesia mau nonton siaran berita marathon 17 jam, dan tidak tertarik dengan sinetron pada malam 7 Agustus itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar