30 Desember 2024

INDONESIA OMON-OMON

Indonesia masih berada dalam perangkap tindakan kolektif korupsi (collective action trap). Apa itu? silakan merujuk Persson, Rothstein & Teorell (2013). Apakah Indonesia dapat meniru negara-negara skandinavia, berhasil keluar dari perangkap itu dan melakukan transisi historis dari birokrasi yang patrimonial, nepotistik, dan korup, menjadi birokrasi yang bersih, Weberian, dan profesional? Mungkin saja, dengan syarat, sistem penegakkan hukumnya benar-benar terjaga integritasnya. Sejumlah negara skandinavia memulai penegakkan hukum berintegritas sejak abad 17. Jadi sudah 3 abad lebih. Ini faktor endogen dalam membongkar perangkap tindakan kolektif korupsi (Ostrom, 1990). Tanpa itu, kampanye antikorupsi hanya omon-omon. Meski antikorupsi menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Korupsi hanya akan dianggap sebagai salah satu cara untuk menguasai sumber daya ekonomi. Bukan tindakan amoral. Setara tindakan menyontek saat ujian. Kalo tertangkap, akan dinilai sebagai "apes/sial" saja. Rasa malu luar biasa dan bersalah, tak ada dalam kamus.

Adalah wajar jika seseorang yang merugikan negara ratusan trilun rupiah, masih bisa tersenyum. Masih memperoleh dukungan media yang membingkai keluarganya sebagai pihak yang teraniaya. Memperoleh tunjangan penuh BPJS dari anggaran negara padahal hidupnya mewah. Mendapat simpati dari hakim karena bersikap sopan santun dan berpakaian netjes selama diadili. Terakhir, tidak ada pula warga negara yang merasa kerugian negara ratusan triliunan itu adalah kerugian bagi dirinya juga, sebab mereka juga sebenarnya hanya menunggu giliran untuk mengambil uang negara itu jika ada kesempatan. Korupsi hanyalah salah satu cara untuk kaya. Seperti dalam berdagang, setiap kesempatan harus diambil, yang penting untung. 

Sementara faktor eksogen ada banyak, di antaranya, nasionalisme, kekalahan perang, kehancuran ekonomi, dst (Tilly, 1990). Faktor pendukung integritas penegak hukum ini, terjadi di beberapa negara skandinavia setelah perang-perang lokal di antara mereka, kemudian PD 1 dan PD 2 yang menyebabkan tindakan individu yang egoistik akan mendapat hujatan. Seperti tidak mau antri atau buang sampah sembarang. Tindakan kolektif normatif menjadi mapan dan mengendalikan nilai hidup individualistik Eropa (Persson, Rothstein & Teorell, 2013).

Apakah Indonesia akan menuju ke sana? atau sekedar omon-omon seperti halnya negara-negara republik pisang, yang sepakat hidup apa adanya sambil menghisap cannabis..?

22 Juli 2024

Saya coba minta Copilot membuatkan artikel tentang revisi UU Polri, jawabannya bikin nganga..

Saya coba minta tolong Copilot di browser Edge untuk membuatkan artikel dengan struktur naskah S-E-E-S tentang topik aktual.. begini jawabannya..  

Sent by you:

buatkan artikel berisi sikap kritis terhadap revisi undang-undang kepolisian republik indonesia 2024 dengan struktur naskah SEES

Sent by Copilot:

Siap! Berikut adalah artikel yang membahas secara kritis tentang revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) tahun 2024 dengan menggunakan struktur naskah SEES:

Revisi UU Polri 2024: Antara Penguatan dan Kontroversi

Pendahuluan

Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) menjadi sorotan publik sejak disahkan sebagai usulan RUU inisiatif DPR. Perubahan ini mencakup berbagai aspek, termasuk batas usia pensiun, wewenang, dan tugas kepolisian. Artikel ini akan mengulas beberapa poin krusial dalam revisi UU Polri dan mengajukan pertanyaan kritis terkait dampaknya.

Statement (Pernyataan)

Revisi UU Polri bertujuan untuk memperkuat keamanan dalam negeri dan meningkatkan efektivitas tugas kepolisian. Namun, apakah perubahan ini benar-benar mencapai tujuan tersebut?

Exemplar (Contoh)

Perpanjangan Batas Usia Pensiun: Revisi memperpanjang batas usia pensiun bagi polisi berpangkat bintara, tamtama, dan perwira. Pertanyaannya, apakah ini akan menguntungkan atau justru menghambat regenerasi dan inovasi di tubuh kepolisian?

Tambahan Wewenang Polri: Dalam draf revisi, Polri mendapatkan wewenang lebih luas, termasuk penindakan, pemblokiran, dan upaya perlambatan akses ruang siber. Bagaimana mekanisme pengawasan agar wewenang ini tidak disalahgunakan?

Explain (Penjelasan)

Batas Usia Pensiun: Memperpanjang batas usia pensiun bisa mempertahankan pengalaman polisi berpengalaman, tetapi apakah ini mengabaikan kebutuhan regenerasi dan kesempatan bagi generasi muda?

Wewenang Polri: Wewenang tambahan Polri dalam ruang siber perlu diimbangi dengan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat. Bagaimana mencegah penyalahgunaan wewenang ini?

Summary (Ringkasan)

Revisi UU Polri memiliki potensi positif, tetapi juga risiko kontroversi. Diperlukan evaluasi dan diskusi lebih lanjut agar perubahan ini benar-benar menghasilkan keamanan dan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.

Semoga artikel ini memberikan wawasan dan memicu pemikiran kritis mengenai revisi UU Polri. 😊

sumber: 1 2

21 Juni 2024

Korupsi di Negara Nir-teladan

Penulis: Nursyawal

Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi
Program Pascasarjana Unisba Bandung

Pendahuluan

Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp. 62,93 triliun pada 2021. Jumlah ini naik 10,91% dibandingkan tahun 2020 yang tercatat sebesar Rp. 56,74 triliun. Pelakunya menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi terbanyak adalah pejabat negara (ASN, Pejabat BUMN, Kepala Daerah, anggota parlemen/ lembaga negara lain), selain tentu saja pihak swasta. Kecenderungannya tengarai ICW terus menaik (Kompas.com).

Mengapa korupsi di Indonesia seperti sulit diberantas padahal sejak Tahun 2002 sudah ada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang membidani lahirnya lembaga independen anti-rasuah, KPK. Lembaga KPK diberi tugas untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi, serta melakukan program edukasi dan kesadaran publik untuk mencegah korupsi.

Menurut sebuah studi, korupsi di Indonesia berakibat pada empat hal: ketidak-efisienan, distribusi yang tidak merata, insentif yang tidak produktif pada anggaran negara, alienasi politik, sikap skeptis masyarakat, dan ketidakstabilan politik (Handoyo, 2021). Selain itu, korupsi sistematis dan terstruktur juga menciptakan tanah subur bagi kegiatan kejahatan terorganisir, radikalisme, dan terorisme, termasuk ketidakstabilan sosial-politik yang disebabkan oleh ketidakpercayaan politik.

Seorang kolumnis Jakarta Post pernah mengatakan bahwa “Anda tidak bisa membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor” sebagai respons atas masalah korupsi di Indonesia. Menurutnya, “mereka yang ingin melawan korupsi harus terlebih dahulu membersihkan diri mereka sendiri” (Gunawan, The Jakarta Post, 2006). Artinya, pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan baik jika ada teladan dari pimpinan negaranya, karena hukuman berat terhadap pelaku korupsi tidak efektif. Pertanyaannya, bukankah itu sama dengan mimpi di siang bolong, alias sama juga bohong, karena tidak pernah ada teladan nyata di dunia ini?.

 

Kisah Teladan Dalam Sejarah Islam

Alkisah, sebelum terpilih menjadi khalifah, Umar bin Khatab adalah seorang pedagang sukses. Saat  dinobatkan menjadi Amirul Mukminin, Umar mendapat gaji dari kas negara, yang jumlahnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Umar dan keluarga secara sederhana. Selang beberapa waktu, sekelompok sahabat senior seperti Ali, Utsman, dan Thalhah mendiskusikan masalah gaji khalifah itu, lalu memutuskan untuk mengusulkan kenaikan gaji Umar. Tetapi tidak seorangpun yang berani menyampaikan usulan itu kepada khalifah langsung. Untuk itu mereka menemui Hafshah, putri khalifah. Mereka meminta Hafshah untuk meminta persetujuan Umar atas usulan kenaikan gaji itu.

Hafshah kemudian pergi menemui Umar dan menyampaikan proposal tersebut. Segera setelah Umar mendengarkan usulan tersebut, ia naik pitam dan membentak, "Siapakah orang-orang yang telah mengajukan usulan jahat ini?" Hafshah diam tidak menjawab. 

Khalifah Umar berkata lagi, "Seandainya aku mengetahui mereka niscaya aku akan memukulnya hingga babak belur. Dan engkau putriku, engkau bisa melihat di rumahmu sendiri pakaian-pakaian terbaik yang biasa dipakai Rasulullah, makanan terbaik yang biasa dimakan Rasulullah, dan ranjang terbaik yang biasa beliau gunakan untuk tidur. Apakah milikku lebih buruk dari semua itu?".

"Tidak, ayah, tidak," jawab Hafshah.

"Kalau begitu katakan pada orang yang telah mengirimmu," Umar diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Bahwa Rasulullah telah menetapkan standar kehidupan seseorang dan aku tidak akan menyimpang dari standar yang beliau gariskan." (Zakaria dalam Khan, 2003).

Tentunya muncul pertanyaan, bagaimana sih standar kehidupan yang disebut-sebut oleh Umar itu? Kita dapat mengetahuinya dari beberapa kesaksian sahabat Nabi. Pada suatu hari salah seorang sahabat melihat Nabi sedang tidur di atas tikar, lalu menangislah ia, terharu dengan apa yang dilihatnya. Nabi kemudian bertanya, ’’Mengapa Engkau menangis?”. Jawab sahabat itu, ’’Engkau menyebut-nyebut Kaisar Rum dan Kirsa Parsi serta kerajaan keduanya, sedang aku melihatmu tidur beralas tikar, padahal engkau Rasul Allah untuk makhluk-Nya dan khalifah-Nya di muka bumi-Nya”. Nabi berusaha menenangkan, "Biarkanlah untuk mereka dunia, dan untuk kami akhirat,” lalu Nabi menyampaikan firman Allah, "Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi, kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa" (QS Al Qashash, 83). Sebuah ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat lain yang berkisah tentang harta Qarun (Zainu, 1995).

Bagaimana dengan fasilitas di rumah Nabi? "Bantal yang digunakan Rasulullah SAW. untuk alas tidur malam terbuat dari kulit yang diisi dengan ijuk.” (H.R. Ahmad dalam Zainu, 1995). “Kasur milik Rasulullah SAW. terbuat dari kulit yang diisi dengan ijuk.” (H.R. Muslim dalam Zainu, 1995).

Ketika Nabi wafat, tidak ada harta warisan yang ditinggalkannya. Dari Amru Ibnul Harits r.a, ia berkata, “Rasulullah SAW. tidak meninggalkan satu Dinar maupun satu Dirham, dan tidak pula meninggalkan seorang sahaya laki-laki maupun wanita, kecuali bagalnya yang putih dan dikendarainya, senjatanya dan sebidang tanah yang diberikannya sebagai sedekah bagi ibnu sabil." (H.R. Bukhari dalam Zainu, 1995).

Padahal Nabi memiliki kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Dari sebuah hikayat, diceritakan ketika Panji-panji Islam telah berkibar di wilayah-wilayah yang luas meliputi cakrawala Persia dan Suriah. Negeri-negeri persemakmuran Islam memiliki banyak harta. Pada suatu saat di masa kejayaan Islam itu, putri nabi satu-satunya, Fatimah datang menemui Nabi. Setelah saling menanyakan kabar dan kesehatan masing-masing, Fatimah berkata dengan nada mengeluh, "Ayah, saat ini terlalu banyak mulut yang harus disuapi di rumahku. Aku dan suamiku, tiga putra kami, empat keponakan, seorang pembantu, belum tamu-tamu yang datang silih berganti. Aku harus memasak sendirian untuk mereka semua. Aku merasa sangat letih dan kecapekan. Aku mendengar banyak tawanan wanita yang baru saja datang ke Madinah. Jika ayah bersedia memberiku salah satu dari mereka untuk membantuku, itu akan menjadi pertolongan yang sangat berharga bagiku".

Nabi menjawab dengan suara parau, "Sayangku, semua kekayaan dan tawanan perang yang engkau lihat adalah milik masyarakat muslim. Aku hanyalah bendahara, tugasku adalah mengumpulkan mereka dari berbagai wilayah dan membagi-bagikan mereka kepada orang-orang yang berhak. Dan engkau bukan termasuk yang memiliki hak, anakku, oleh karena itu aku tidak bisa memberimu sesuatu pun dari aset negara ini". Kemudian beliau melanjutkan, "Dunia ini adalah tempat untuk beramal. Lakukan tugas-tugasmu dengan baik. Jika engkau merasa lelah, ingatlah Allah dan mintalah pertolongan kepada-Nya. Dia akan memberimu ketabahan dan kekuatan" (Abu Dawud dalam Khan, 2003).

Ini adalah kisah nyata keteladanan kepemimpinan negara yang jarang diceritakan di sekeolah-sekolah di Indonesia.

Korupsi dari Perspektif Komunikasi

           Menurut Rosenau (1992) komunikator politik adalah pembuat opini pemerintah atas hal ihwal nasional yang multi-masalah. Menurutnya, yang termasuk dalam klasifikasi komunikator politik adalah: Pertama, Pejabat Eksekutif (Presiden, Menteri, dll), Kedua. Pejabat Legislatif (Senator atau anggota parlemen), dan ketiga, pejabat Yudikatif (Hakim, Jaksa dan penegak hukum lain). Komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Karl Popper (2013) mengemukakan para aktor politik, yang disebutnya “penggagas”, adalah komunikator politik dalam membangun opini publik atas isu tertentu. Komunikator politik ini menawarkan gagasan ke tengah masyarakat yang kemudian memunculkan diskursus. Bisa saja diskursus itu adalah korupsi.

           Dalam konteks korupsi di Indonesia, para komunikator politik nampak menampilkan “pesan ambigu”, di satu sisi nampak ingin memberantas dengan menyusun undang-undang dengan hukuman yang tinggi kemudian mendirikan lembaga antirasuah KPK, namun pada sisi lain, justru menjadi pelaku terbanyak dan berusaha juga melemahkan penegakan hukum korupsi melalui revisi undang-undang.

           Jika kembali melihat kisah teladan dari para sahabat serta hadis sahih, seharusnya komunikator politik memiliki integritas antikorupsi, antinepotisme, antikolusi yang radikal dan militan karena dengan demikian akan tersebar pesan yang kuat pula kepada khalayak negeri, bahwa bangsa Indonesia memang tidak toleran terhadap korupsi. Tanpa radikalisme dan militansi para komunikator politik, maka sikap antikorupsi akan terus menjadi hiasan di bibir tanpa wujud nyata. Mengutip Transparency Internasional, yang dilaporkan VOA (01/02/2023) Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) Indonesia untuk tahun pengukuran 2022 mengalami penurunan skor 4 poin dari tahun 2021 menjadi 34, dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. Bahkan lebih buruk dari tahun 1995 sebelum reformasi. Demikian menurut Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko dalam keterangan persnya. Wawan mengatakan, skor dan peringkat ini menunjukkan tidak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

           Di jaman Nabi ketika komunikator politiknya begitu radikal dan militan dalam antikorupsi, sejarah mencatat, setidaknya terjadi empat kali kasus korupsi. Yaitu pertama, kasus ghulul atau penggelapan yang dituduhkan oleh sebagian pasukan perang Uhud terhadap Nabi SAW. Kedua, kasus budak bernama Mid’am atau Kirkirah yang menggelapkan mantel. Ketiga, kasus seseorang yang menggelapkan perhiasan seharga 2 dirham seperti ada dalam hadits riwayat Abu Dawud. Keempat, kasus hadiah (gratifikasi) bagi petugas pemungut zakat di kampung Bani Sulaim, bernama Ibn al-Lutbiyyah (Rekaman Khutbah Jumat, 2017). Ini memberi pelajaran, ketika Nabi dan para sahabat Nabi masih hidup, di saat teladan tidak hanya ada di mulut, di mana para komunikator politik jelas memberi contoh, tindakan korupsi tetap ada. Bayangkan di jaman kini ketika teladan dan sikap anti KKN hanya kembang pidato kampanye pemilu, bagaimana masa depan bangsa itu?

 

 

Bacaan

Gunawan, T. Sima, 2006, The Jakarta Post May 26,

 

Handoyo, Puji dan Mufidah, 2021, The Corruption Eradication Commission's Strategy For Reducing Corruption Crime In Indonesia, Journal Of Legal Research, Vol.3 No.2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Khan, M.E., 2003, Kisah-Kisah Teladan Rasulullah, Para Sahabat Dan Orang-Orang Saleh.

 

Kumpulan Khutbah Jumat, 2017, NU Online  dari https://islam.nu.or.id/khutbah/empat-kasus-korupsi-di-zaman-rasulullah-fyUVl

 

Popper, K., et. al., 2013, The Open Society and Its Enemies.

 

Rosenau, J.N., et.al., 1992, Governance without Government: Order and Change in World Politics.

 

Zainu, M.J., 1995, Teladan Utama Itu Muhammad Rasulullah: Akhlak Nabawiah Dan Sifat-Sifat Keutamaannya.

 

VOA, 2023, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 Menurun, Terburuk Sejak Reformasi dari https://www.voaindonesia.com/a/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2022-menurun-terburuk-sejak-reformasi/6942025.html

18 Mei 2024

Mengapa Para Influencer Tidak Lantang Menolak RUU Penyiaran ?

Opini Nursyawal (kandidat doktor komunikasi, ahli pers dewan pers, pengajar jurnalistik dan penyiaran, jurnalis lepas bersertifikat wartawan utama).

Saya kembali mendapat pertanyaan dari rekan-rekan media, mengenai ancaman mendasar apa dari adanya revisi undng-undang penyiaran yang sedang ramai dibincangkan akhir-akhir ini. Ini adalah jawaban saya.

Pertama, tata cara pembuatan undang-undang yang diam-diam. padahal 25 November 2021, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil karena dibentuk melalui cara-cara yang tidak baku. Dua tahun kemudian pemerintah membentuk Undang-undang baru tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, nomor 13 tahun 2022. Dalam undang-undang itu, disebut partisipasi masyarakat yang bermakna sebagai upaya memperbaiki tata cara yang buruk pada pembentukan uu cipta kerja. 

Jadi menurut undang-undang itu, masyarakat memiliki Hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) yaitu hak untuk menyampaikan pendapat dan masukan mereka terkait dengan rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Kemudian masyarakat memiliki Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) artinya masukan dari masyarakat harus dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Terakhir, masyarakat memiliki Hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) tidak dighosting gitu. Tidak dibiarkan tanpa jawaban dan penjelasan. Semua hak itu wajib dipenuhi.

Nah, dalam konteks revisi undang-undang penyiaran itu, sampai saat ini, tidak ada pemenuhan terhadap hak-hak itu. Pembuat undang-undang nampaknya mencoba melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri.

Kedua, substansi revisi undang-undang itu. Sejak uu cipta kerja, sistem penyiaran Indonesia telah diubah total dari sistem yang secara filosofis berfungsi sebagai lembaga budaya dan ideologis, menjadi sekedar lembaga ekonomi penghasil laba. Pasal-pasal prinsip demokrasi penyiaran berdasar pilar keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan media, hilang. Kuasa publik dalam dunia penyiaran juga hilang dengan pemangkasan kewenangan lembaga negara independen bernama komisi penyiaran Indonesia, dan kembali ke rejim kuasa modal. 

kemudian hal-hal itu dipertegas oleh revisi uu penyiaran. tidak ada lagi pembatasan pemusatan kepemilikan dan tidak ada lagi afirmasi terhadap hak masyarakat lokal dalam penyiaran. tidak ada dukungan yang kokoh terhadap lembaga penyiaran lokal, komunitas, publik (termasuk publik lokal). Ideologinya, pasar. melalui revisi uu penyiaran ini pula, KPI yang seharusnya menjadi wadah kedaulatan rakyat atas penggunaan frekuensi oleh entitas bisnis, bahkan ditempatkan lebih rendah lagi, meski mendapat kerjaan tambahan untuk mengawasi para pembuat konten di media digital. tugas yang saya ragukan dapat ditunaikan karena selama ini untuk mengawasi pembuat konten sinetron di segelintir televisi swasta saja kewalahan. Jauh lebih penting lagi, KPI sebagai anak kandung reformasi, yang niat awalnya untuk mengembalikan manfaat pemakaian frekuensi sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat, dikebiri dan dipasung, menjadi peliharaan kaum dominus. Media dikembalikan menjadi alat hegemoni.

Ketiga, diduga ada agenda tersembunyi dalam sejumlah pasal dengan kemasan "melindungi anak bangsa dari dampak negatif media digital". Yaitu mempersiapkan undang-undang ini untuk membungkam sikap kritis, karena pembuat konten di media sosial juga dapat menjadi subjek hukum undang-undang ini. Ada pasal tentang pencemaran nama baik serta fitnah, seperti pasal yang kontroversial dalam UU ITE. Karena dalam banyak kasus, yang kerap menggugat pencemaran nama baik adalah penguasa politik atau ekonomi, tidak ada dalam catatan, yang menggugat adalah tukang becak atau pedagang pasar atau emak-emak di desa. Seolah yang memiliki nama baik hanyalah para penguasa dan bukan rakyat kebanyakan. ada banyak pasal yang menyasar ekspresi budaya dan politik yang selama ini muncul di media sosial.

Ada pula larangan konten jurnalistik investigatif serta adanya klausula yang menyebut penyelesaian sengketa jurnalistik diselesaikan melalui KPI, yang marwahnya menurut revisi uu penyiaran ini sudah pada level "anak buah parlemen". nah ini yang menyebabkan ledakan opini publik, karena pengelola media dan pekerja pers kompak menyuarakan penolakan. Bersama pasal-pasal lain, komunitas pers mengancam jika revisi uu penyiaran memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers, serta kebebasan berekspresi, maka "senayan akan berhadapan dengan kami". Suara lantang media yang saya duga menimbulkan rasa cemburu kelompok minoritas yang selama ini rentan menjadi korban diskriminasi dan tak punya pelantang suara.

Jadi secara umum, revisi uu penyiaran ini menjadi ancaman bagi semua warga negara karena pembuat hukum sedang mencoba melakukan pelanggaran hukum untuk mempersiapkan dasar hukum yang dapat membungkam suara kritis warga negara serta pengawasan media terhadap penyelenggaraan negara. maka itu, saya heran juga, para pembuat konten media sosial  kok tidak kompak bersuara lantang? Apakah ini petunjuk, para influencer media sosial sebenarnya adalah peliharaan dominus yang terkena stockholm syndrom?

15 Mei 2024

Tolak Revisi Undang-undang Penyiaran Karena Bermasalah !!

Menjawab pertanyaan yang kerap diajukan kepada saya tentang rencana revisi Undang-undang Penyiaran oleh Komisi I DPR RI tahun 2024. 

1.  Bagaimana pendapat Anda ttg draft revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang ramai dicuitkan di medsos? 

Saya dengan tegas menolak draft revisi UU Penyiaran yang saat ini juga menuai penolakan dari berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) dan organisasi masyarakat sipil (CSO). Penolakan ini didasarkan pada beberapa landasan berpikir yang kuat:

Pertama, Melanggar Prinsip Kebebasan Berekspresi dan Pers:

Salah satu pilar fundamental demokrasi adalah kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Revisi UU Penyiaran nampaknya akan membatasi ruang jurnalisme investigasi, kritik sosial, dan karya jurnalistik lainnya yang kritis terhadap kekuasaan.

Hal ini bertentangan dengan hak asasi manusia dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers dalam menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial.

Dalam banyak pasal juga ditemukan prinsip sensor konten, ancaman pencemaran nama baik, larangan konten fitnah yang tidak jelas ukurannya, yang ditengarai menyasar produk media digital.

Kedua, Menghambat Arus Informasi dan Keberagaman Media:

Draft revisi ini dikhawatirkan akan membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang beragam dan berkualitas. Ketentuan yang menambahkan perizinan untuk konten siaran selain isi siaran, dapat menghambat arus informasi dan pertukaran budaya.

Selain itu, sanksi denda yang tinggi dan potensi pencabutan izin usaha dikhawatirkan dapat melemahkan media kecil dan menciptakan monopoli media oleh perusahaan besar.

Ketiga, Lemahnya Akuntabilitas dan Transparansi:

Proses revisi UU ini amat terbatas akuntabilitas dan transparansinya. Kurangnya partisipasi publik yang bermakna dan minimnya sosialisasi kepada masyarakat menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas dan legitimasi proses revisi.

Keempat, Potensi Penyalahgunaan Kewenangan:

Pemberian kewenangan tambahan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi konten siaran berpotensi disalahgunakan demi kepentingan tertentu, apalagi masa jabatan komisioner KPI digadang-gadang menjadi 5 tahun.

Jadi revisi UU Penyiaran yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan aspirasi publik dan berpotensi melanggar hak asasi manusia harus ditolak. Penting untuk mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan berekspresi, dan akses informasi dalam merumuskan regulasi penyiaran yang adil, terbuka, dan akuntabel.

DPR dan pemerintah harus menunda pengesahan revisi UU Penyiaran dan melibatkan masyarakat secara aktif dalam merumuskan regulasi yang lebih baik untuk masa depan penyiaran di Indonesia.

2. Kalau draft revisi UU dianggap tidak jelas, basic pasal2 yg oleh banyak kelompok masyarakat ditolak itu, sumbernya dr draft yg mana? 

Saya memperoleh draft dari teman-teman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Bulan April 2024 lalu. Publik tidak dapat dengan mudah memperoleh draft revisi itu langsung dari DPR. Ini bukti proses pembentukan hukum di gedung parlemen perlu terus diperbaiki agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat demokratis yang trasparan dan akuntabel.

3. Pasal2 yang dianggap memberatkan dan kenapa? Implikasinya apa? 

Karena draft RUU-nya dianggap tidak akurat maka saya menghindari penyebutan pasal-pasal melainkan prinsip-prinsipnya saja.

Pertama-tama, dalam draft revisi uu penyiaran itu ada banyak kerancuan definisi atau ketentuan umum.

Misalnya, definisi penyiaran, itu tidak jelas. Menurut ketentuan umum dalam draft revisi undang-undang penyiaran:

"Penyiaran adalah suatu kegiatan atau tindakan mentransmisikan sinyal Siaran dengan menggunakan bagian dari spektrum frekuensi radio melalui transmisi terestrial, kabel, satelit, internet, atau sistem transmisi lainnya, atau dengan menggunakan spektrum elektromagnetik lainnya yang sesuai dengan perkembangan teknologi untuk dapat diterima secara bersamaan dan/atau dapat diakses kembali oleh masyarakat dengan perangkat penerima Siaran."

Ini definisi yang tidak definitif. Yang baca ini akan bingung sendiri, yang disebut penyiaran itu apa? Ini palugada. Maksa, agar bisa mencakup media baru. Di kalangan akademisi saja, istilah media baru masih ambigu apalagi jika ditambah kata "tindakan mentransmisikan sinyal". Sebab ambil contoh, saya yang punya akun Youtube, tidak ikut mentransmisikan sinyal, karena itu dilakukan Google.

Kedua, soal siapa pelaku yang jadi objek undang-undang. dalam definisinya, disebut tiga kategori, tetapi pada prinsipnya, siapa saja nanti akan diawasi. luarbiasa. Palugada.

Berikut definisi pelaku penyiaran menurut draft revisi uu penyiaran itu:

"Lembaga Penyiaran adalah badan hukum yang memiliki perizinan berusaha untuk menyelenggarakan Penyiaran dengan memproduksi dan memancarluaskan siaran secara teratur dan berkesinambungan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi digital".

Selain lembaga penyiaran, juga ada pelaku lain yang diawasi, yaitu:

"Penyelenggara Platform Digital Penyiaran adalah pelaku usaha yang terdiri atas perseorangan atau lembaga yang menyelenggarakan konten siaran melalui Platform Digital Penyiaran."

serta:

"Penyedia isi siaran adalah pihak yang memproduksi dan menyampaikan isi siaran kepada Lembaga Penyiaran."

Ketiga, kerancuan soal apa yang diawasi. ada dua istilah ambigu, yaitu: "isi siaran" dan "konten siaran". 

Berikut definisi keduanya menurut draft revisi uu penyiaran.

"Isi Siaran adalah Siaran yang diproduksi oleh lembaga Penyiaran."

lalu,

"Konten Siaran adalah materi Siaran digital yang diproduksi oleh Penyelenggara Platform Digital Penyiaran dan/atau penyelenggara platform teknologi Penyiaran lainnya."

Jadi, sekali lagi ada dua objek pengawasan, isi siaran dan konten siaran, yang ternyata berbeda pelaku.

Itu barusan tentang "objek kegiatan yang diawasi" oleh undang-undang.

Definisi rancu lain adalah istilah-istilah kunci, seperti "konten berbahaya" atau "kepentingan publik",  bisa menjadi celah untuk membatasi konten yang tidak sesuai kepentingan pihak tertentu.

Keempat, tujuan penyiaran yang mengikat semua pihak yang diatur, salah satunya yaitu:

"pasal 3 poin d. meningkatkan harkat, martabat, dan citra bangsa;"

Implikasinya, seluruh isi dan konten siaran harus jadi humas-nya negara gitu ya? Ga boleh menurunkan citra.

Waah masih banyaaakkk.. itu baru sampe pasal 3.. sementara draft ini berisi ratusan pasal nih.. Semoga publik juga peduli karena akan menjadi konsumen media.

Ambil sedikit contoh lain yaa.. yaitu pasal tentang Lembaga Penyiaran Publik.

Pada bagian ini lembaga penyiaran publik (LPP) wajib menyiarkan program pemerintah. Pasal begini jelas membatasi independensi LPP dan mengubahnya menjadi alat propaganda pemerintah.

Implikasinya:

Hilangnya kepercayaan publik terhadap LPP sebagai sumber informasi yang objektif dan netral.

Terkikisnya nilai demokrasi karena LPP tidak lagi menjadi ruang publik untuk diskursus dan kritik terhadap pemerintah. 

Selanjutnya bagian Pasal yang mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran UU Penyiaran juga bermasalah. Sanksi denda yang tinggi dan potensi pencabutan izin usaha tanpa proses pengadilan, dikhawatirkan dapat melemahkan keberagaman isi media dan memukul media kecil.

Implikasinya, terpeliharanya monopoli media oleh perusahaan besar yang memiliki modal kuat.

Hilangnya suara-suara kritis dari media atau content creator yang berani menyuarakan kepentingan rakyat.

Pasal lain yang bermasalah adalah memberi tugas tambahan kepada KPI yaitu pengawasan terhadap media digital. Ketentuan yang memberikan kewenangan besar kepada KPI untuk mengawasi konten siaran dikhawatirkan dapat melanggar privasi pengguna dan mematikan ruang ekspresi di media sosial.

Implikasinya, tercipta budaya takut bicara di kalangan pengguna media sosial. Bukan budaya beradab dalam bicara di media sosial. Serta matinya ruang publik digital sebagai wadah untuk bertukar informasi dan gagasan.

Ada lagi soal pelarangan Konten tertentu, seperti jurnalisme investigatif. Ini jelas bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers dan bertentangan dengan UU40/99 tentang Pers, yang menyebut tidak ada pelarangan penyiaran, tidak ada sensor dalam kegiatan jurnalistik. Belum lagi pasal yang menyebut KPI juga menangani sengketa jurnalitik dalam penyiaran. Jelas bertentang dengan UU 40/99 yang menyebut sengketa pers diselesaikan hanya oleh dewan pers. Implikasinya, ketidakjelasan regulasi dan potensi konflik antar lembaga terkait pengaturan media.

Pasal-pasal tambahan ini perlu dikaji ulang karena berpotensi membatasi kreativitas, melemahkan fungsi kontrol media, dan menciptakan ketidakpastian hukum.

Penting untuk memastikan revisi UU Penyiaran ini mengedepankan kebebasan berekspresi, regulasi yang jelas dan proporsional, serta ekosistem media yang sehat dan demokratis.

4. Harapan ke depan soal penyusunan RUU Penyiaran ini seperti apa? 

Saya berharap parlemen tunduk dan berpedoman pada peraturan tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak otoriter, melainkan terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai perintah mahkamah konstitusi.

5. Poin Utama

Saya sorot kembali beberapa poin penting :

1. Potensi Pembatasan Kebebasan Berekspresi dan Pers:

Beberapa pasal dalam draft revisi dikhawatirkan dapat membatasi ruang jurnalisme investigasi dan kebebasan berekspresi. Saya menekankan pentingnya menjaga kebebasan berekspresi dan pers. Revisi UU Penyiaran seyogyanya tidak boleh melanggar hak asasi manusia ini dan justru harus memperkuat budaya demokrasi di Indonesia. Kekuatiran terhadap konten media digital yang bebas mengalir tidak bisa dititipkan ke dalam Undang-undang Penyiaran.

2. Adaptasi dengan Perkembangan Teknologi:

Dunia penyiaran telah berkembang pesat dengan kemunculan platform digital dan media baru. UU Penyiaran yang direvisi perlu adaptif dengan perkembangan ini agar dapat mengatur semua jenis lembaga penyiaran dan media secara adil dan merata. Penting untuk memastikan keberagaman informasi dan konten yang berkualitas bagi masyarakat. Bukan fokus pada kewenangan tapi pelayanan. Sementara kekuatirana terhadap konten di media digital, pemerintah cukup menghadapi pengelola platform media digital dan bukan mengurusi users (pengguna) atau content creator satu persatu.

3. Penguatan KPI:

Banyak pihak mendukung penguatan peran KPI untuk meningkatkan kualitas siaran dan melindungi masyarakat dari isi siaran yang tidak sejalan dengan tujuan penyiaran nasional.

Namun, perlu dipastikan bahwa kewenangan KPI tidak tumpang tindih dengan lembaga lain, seperti Dewan Pers, dan akuntabilitasnya kepada publik diperkuat.

Keseimbangan antara otoritas dan akuntabilitas KPI sangat penting untuk memastikan regulasi penyiaran yang efektif dan demokratis. Kaitkan kembali antara tugas pengawasan dengan kewenangan perijinan oleh KPI yang dihapus UU Omninbus..

4. Partisipasi Publik:

Proses revisi UU Penyiaran harus terbuka dan transparan, dengan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan pakar media.

Revisi UU Penyiaran merupakan langkah penting untuk merespon perkembangan teknologi dan dinamika masyarakat. Namun, revisi ini harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kepentingan yang terkait.

Saya berharap revisi UU Penyiaran ini dapat menghasilkan regulasi yang adaptif, demokratis, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Penting untuk mengedepankan prinsip kebebasan berekspresi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses revisi ini.

============

Nursyawal, M.I.Kom., kandidat doktor bidang komunikasi sains, pengajar jurnalistik dan penyiaran, mantan komisioner kpid jabar, anggota AJI Indonesia, aktif juga di CSO bernama KNRP ( koalisi nasional untuk reformasi penyiaran).

24 Maret 2024

Film Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia

 Yang nulis : Nursyawal

 Pendahuluan

22 Februari 2024, para pelanggan layanan bioskop dalam jaringan yang dikelola perusahaan over the top Netflix di seluruh dunia, berbondong-bondong menyaksikan tayangan perdana versi hidup dari serial kartun “Avatar: The Last Air Bender” yang pernah populer Tahun 2005 silam. Situs goodstats.com mencatat, penonton tayangan perdana itu mencapai lebih 21 juta pengguna. Trailernya di platform youtube mencari hampir 10 juta kali ditonton.

Dalam setting ceritanya, film ini mengisahkan dunia imajiner yang terbagi dalam 4 unsur dasar alam, yaitu negara api, negara air, negara angin, dan negara tanah. Masing-masing negara itu terdiri dari warga negara yang menguasai teknik pengendalian unsur alam secara maksimal. Jadi, di negara angin, warga negaranya memiliki kemampuan mengendalikan angin tapi tidak menguasai pengendalian unsur alam lainnya. Sebagai penyeimbang dari seluruh unsur dasar itu, ada kelompok pendeta yang dapat mengendalikan seluruh unsur alam itu. Mereka disebut Avatar. Plot flim berpusat pada seorang remaja bernama Aang yang merupakan keturunan terakhir pendeta Avatar, setelah pendeta lainnya gugur dalam peperangan yang dilakukan oleh Negara Api. Aang yang masih remaja, hanya menguasai pengendalian udara, jadi mengembaralah ia mencari sumber-sumber ilmu, pengetahuan dan keahlian untuk mengendalikan unsur-unsur alam ke seluruh penjuru dunia agar takdirnya sebagai penyeimbang alam semesta dapat ditunaikan. Mengetahui keberadaan avatar terakhir, tentara negara api melakukan operasi perburuan terhadap Aang agar dominasinya terhadap negara-negara lain tetap terpelihara.

Film ini mengambil Cosmogony tentang Cinta dan Pertikaian sebagai dua elemen yang saling mengimbangi di alam semesta. Cosmogony dari Filsuf Yunani sebelum Sokrates, Empedocles yang juga menyampaikan teori tentang empat unsur dasar alam: tanah, air, udara dan api (Britannica). Secara umum, film serial Avatar berkisah tentang bagaimana keahlian, pengetahuan dan ilmu digunakan untuk mendominasi dunia.

Sejak lama pengetahuan disebut sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan. Idiom ini dibukukan Francis Bacon dalam bukunya Novum Organum Tahun 1620, dengan “knowledge is power” (Law, 2007:126). Tentu saja kekuatan itu datang bukan dari pengetahuan yang diperoleh dengan cara serampangan, melainkan menurut Bacon, pengetahuan hasil induksi, yang diperoleh melalui pengamatan dan pengujian berkali-kali (White, 2014:7).

Komunikasi Ilmu Pengetahuan

Seperti halnya Bacon, Robert K. Merton (1948), menyebut sudah seharusnya ilmu pengetahuan menjadi milik publik karena pengetahuan adalah hasil kerja kolektif dan kumulatif dari komunitas ilmuwan, dan ilmuwan tidak memperoleh rekognisi dari dirinya sendiri melainkan dari publikasi yang dapat diakses bebas oleh masyarakat. Juga karena melalui pengetahuanlah  masyarakat membentuk dirinya. Prinsip ini merupakan salah satu dari apa yang disebut Etika Merton atau Empat Norma Kecendikiawanan Merton (institutional imperative). Yang pertama, universalism, kecendikiawanan seharusnya dinilai dari hasil temuannya bukan dari ras, kebangsaan, atau posisi sosialnya. Yang ke dua, disinterestedness, fokus utama cendikiawan adalah membangun pengetahuan, pada kemajuan pemahaman, bukan keuntungan pribadi atau ketenaran. Prinsip ke tiga, organized scepticism, kecendikiawanan terbangun melalui pemeriksaan klaim secara kritis, mempertanyakan asumsi, menguji hipotesis dengan ketat. Karena keraguan dan penyelidikan mendorong kemajuan ilmiah. Yang ke empat, communism, bahwa pengetahuan merupakan milik bersama dan hasil kolaborasi kolektif. Para ilmuwan harus berbagi temuan mereka secara terbuka, menciptakan lingkungan kerja sama daripada menyimpan informasi (Bucchi, 2021:19).

Praktik membuka lebar informasi tentang pengetahuan sudah menjadi tradisi sejak jaman Mesopotamia, 5000 tahun yang lalu, ketika pengetahuan dipahatkan dalam papan tanah liat. Kemudian berlanjut ketika Kaisar Yunani, Alexander Agung, membangun sebuah tempat yang menampung naskah-naskah kajian akademik dari mana saja kemudian dikelompok-kelompokan berdasarkan kesamaan isinya. Menurut White (2014:3), praktik ini adalah sebuah model pengembangan ilmu pengetahuan. Yaitu, mengelompokkan infomasi (classifications), memeriksa keaslian dan kebenaran sumber (provenance) membuka akses kepada semua orang (access) keragaman gagasan (universality). Model ini yang merupakan bagian dari praktik komunikasi ilmu pengetahuan.

Tentunya, etika Merton itu, mendapat tantangan besar di era digital dan internet saat ini. Massimiano Bucchi (2021: 21) menyebut, secara tradisional, pengetahuan dinilai sebagai public goods (barang milik publik) namun saat ini pengetahuan telah bergeser menjadi private goods (barang milik pribadi) yang dilindungi skema Hak Kekayaan Intelektual. Bucchi menyebutnya science 1.0 sebagai fase tradisional, dan science 2.0 ketika terjadi pergeseran pandangan tentang kepemilikan pengetahuan dan penyebaran informasinya kepada publik.

           Sebelum Bucchi, White (2014) telah mengeksplorasi dampak media digital pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Baik  ekonomi, politik, dan sosial, serta menyoroti peluang dan tantangannya. Dalam bukunya, White membahas bagaimana media digital mengubah komunikasi, perdagangan, dan norma-norma budaya. Menurut White, selain memungkinkan konektivitas global dan pengalaman yang unik untuk masing-masing penggunanya, digitalisasi juga menimbulkan kekhawatiran tentang ruang privasi, informasi yang salah, dan kecanduan gawai (adiksi). Secara khusus, White membahas transformasi dunia akademik akibat digitalisasi, yaitu bagaimana penguasaan informasi ilmiah telah berpindah dari lembaga publik ke platform digital swasta, yang berdampak pada etos pembangunan pengetahuan. Serta pergeseran materi akademik ke organisasi komersial sehingga mengaburkan batas-batas antara ruang pengetahuan publik dan privat. Termasuk potensi risiko terhadap proses pemufakatan akademik seperti pemeriksaan (provenderence) dan klasifikasi ilmu (classification) serta menekankan perlunya informasi yang kredibel di era digital sebab setiap orang saat ini dapat memproduksi informasi.

           Sinyalemen White dan Bucchi tentunya berdasar. Merujuk hasil riset Michael Gusenbauer (2019), Google Scholar diperkirakan menyimpan kurang lebih 389 juta jurnal dan artikel ilmiah dalam databasenya, sehingga menjadikannya sebagai mesin pencari informasi akademik yang paling komprehensif (idntimes.com). Jumlah ini mencakup berbagai disiplin ilmu dan sumber, termasuk artikel, tesis, buku, abstrak, dan opini pengadilan. Berdasarkan informasi yang dapat diperoleh melalui mesin pencarian Google, Google sendiri menyimpan sekitar 15 Exabyte data atau 15 juta Terabyte. Google memiliki 12 instalasi pusat data di Amerika Serikat (google.com). Data yang disimpan oleh Google mencakup berbagai jenis informasi, mulai dari permintaan pencarian di internet, video di YouTube, data email, rekaman perjalanan pengguna, isi media sosial, rekaman suara, video dan foto pribadi, dan lain-lain (google.com). Tidak ditemukan informasi terbuka tentang apakah google menerapkan model pembangunan pengetahuan yang diajukan White, ke dalam mesin-mesinnya.

Seluruh data itu kemudian dioptimalisasi menggunakan robot/mesin pembelajar yang disebut Artificial Intelegence. Google saat ini telah mengembangkan AI bernama Gemini yang dapat digunakan untuk banyak kebutuhan dari mulai merancang rute perjalanan liburan, membuatkan essay ilmiah, menggambar, editing audio atau video, serta analisis moneter sederhana. Tentunya fitur lengkap Gemini adalah fitur berbayar. Google juga melayani jasa kesehatan melalui Google Health yang menggunakan sumber daya data besar, data pengguna, serta perangkat cerdas di pergelangan tangan yang memonitor tanda-tanda vital penggunanya. Jika ditemukan ada petunjuk gangguan kesehatan, perangkat cerdas itu akan memberikan notifikasi kepada pengguna untuk menggunakan layanan konsultasi kesehatan Google Health yang juga dilayani oleh AI. Layanan baru pindah kepada petugas layanan kesehatan manusia ketika kasus pengguna telah mencapai standard tegakan diagnosis tertentu (google.com). Tentu saja seluruhnya tidak gratis.

Penutup

           Tahun 2006, seorang ahli matematika Inggris, Clive Humby menyebut, “Data is a new Oil”. Proyeksi ini meramalkan data akan menjadi komoditas perdagangan antarentitas swasta. Di era digital, kepakaran pun mati (the death of expertise) menurut Nichols (2017). Setiap orang dapat mencari informasi dan membangun pengetahuannya sendiri.

Ini adalah tantangan bagi kaum cendekiawan yang berada di dalam kampus yang secara tradisional mendapat tugas moral menjaga integritas pengetahuan, agar masyarakat dapat mengambil keputusan atas pengetahuan yang sahih dan handal, karena pengetahuan itu telah melalui proses pemeriksaan dan pengujian yang ketat. Bagaimana komunitas kampus dapat kembali menjadi sumber pengetahuan dan melakukan komunikasi ilmu pengetahuan di era digital ini? Tidak terjebak dalam industrialisasi atau komersialisasi peradaban.

Dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 159 tertulis: "Dan orang-orang yang menyembunyikan bukti-bukti yang nyata dan petunjuk yang telah Kami turunkan setelah Kami jelaskan di dalam Kitab, mereka yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh orang-orang yang mengutuk". Dari sejumlah tafsir dari Ibnu Abbas, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Tafsir Tahlili (quran.nu.or.id), surat ini turun ketika ada peristiwa pendeta Yahudi yang tidak menyampaikan isi Taurat kepada orang-orang yang bertanya tentang isinya. Sehingga dapat ditafsirkan, wahyu itu mengutuk orang-orang yang menyembunyikan atau tidak menyebarkan kebenaran dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tafsir Shihab (2005) menambahkan, tidak semua yang diketahui boleh disebarluaskan, walaupun itu bagian dari ilmu syariat dan hukum. Karena informasi terbagi dua, pertama, dapat segera disebarluaskan, kebanyakan dari ilmu syariat. Kedua, tidak perlu segera disebarluaskan, namun mempertimbangkan keadaan, waktu atau sasaran. Informasi tidak dapat disampaikan dengan sama kepada yang pandai dan belum pandai, atau kepada anak kecil atau orang dewasa. Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Istilah Shihab, setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada juga ucapan yang sesuai.

Wallahu’alam bissawab.


24 Januari 2024

Fenomena Televisi Komunitas Kampus Divia Unpad TV

 Pengantar

Divia Unpad TV mengudara sejak 2017 sebagai lembaga penyiaran komunitas dengan ijin penyelenggaraan penyiaran dari Kemenkominfo. Berdasarkan aturan UU 32/2002, lembaga penyiaran komunitas dibatasi wilayah siarannya dengan membatasi kekuatan (daya) pemancar, sehingga wilayah siaran Divia Unpad TV hanya mencakup Jatinangor Sumedang atau 2,5 km radius dari titik pemancar yang terletak di kampus Fikom Unpad Jatinangor Sumedang.

Isi siarannya adalah produksi mahasiswa yang mendapat penugasan dari dosen mata kuliah tertentu untuk membuat produksi konten audio visual serta publikasi hasil riset dosen dan sejumlah luaran kegiatan pengabdian masyarakat dalam bentuk iklan layanan masyarakat.

Pada Tahun 2020, seiring rencana pengalihan teknologi penyiaran televisi di Indonesia menjadi digital, dan menutup penyiaran berteknologi analog (ASO-Analog Swtich Off) Divia Unpad TV ikut serta mengajukan ijin siaran baru sebagai lembaga penyiaran komunitas digital. Permohonan itu dikabulkan kemenkominfo dengan terbitnya ijin penyelenggara penyiaran televisi digital komunitas untuk Divia Unpad TV pada Bulan Juni 2020 dengan wilayah siaran Bandung dan sekitarnya. Sebagai akibat perubahan sistem penyiaran dengan teknologi digital, maka wilayah siaran televisi komunitas tidak lagi dibatasi, melainkan sama dengan televisi swasta. Daya jangkau siarannya sesuai kekuatan pemancar dari pihak penyelenggaran muxer yang disewa oleh penyelenggara penyiaran.

Seiring dengan terbitnya ijin dari kominfo untuk siaran di wilayah bandung dan sekitarnya, Divia Unpad TV kemudian menyusun tim pengelola serta memperkuat format acara siarannya. Semula pada saat siaran analog tidak ada pola acara, kemudian telah memiliki pola acara dari senin hingga minggu. Yang tadinya siaran tanpa kejelasan jam siaran, sejak Maret 2021 telah teratur siaran 19 jam dari jam 5 pagi hingga 24 malam. Untuk meningkatkan layanan, Divia Unpad TV juga memiliki akun Youtube sebagai sarana live streaming dan penyimpanan sejumlah tayangan.

Sebagai lembaga penyiaran komunitas yang berlokasi di kampus, maka isi siarannya didominasi hasil karya sivitas akademika, seperti publikasi hasil riset, dokumentasi kegiatan seminar, liputan kegiatan para guru besar, hasil karya kreatif mahasiswa, liputan kegiatan kampus, serta iklan layanan masyarakat sebagai hasil kegiatan pengabdian kepada masyarakat.

Seluruh kegiatan produksi melibatkan sivitas akademika, khususnya Fikom Unpad, termasuk tenaga kependikan dan alumni.

Dekan Fikom Unpad Dr. Dadang Rahmat Hidayat menyatakan kegiatan Divia Unpad TV adalah wujud pertanggungjawaban kalangan akademisi sebagai produsen ilmu pengetahuan kepada masyarakat sekaligus upaya untuk menyajikan tontonan yang dapat menjadi tuntunan, sehingga misi Unpad untuk memberi manfaat kepada masyarakat dapat terlaksana.

Dalam kajian komunikasi, proses penyampaian wacana ilmu pengetahuan dari kalangan pakar kepada kalangan awam, disebut komunikasi sains (Science Communication). Metode komunikasinya disebut popularisasi yaitu cara untuk menerjemahkan karya asli ilmuwan atau peneliti menjadi pesan yang mudah dipahami kalangan non-ilmuwan atau bukan peneliti.

 Perspektif Komunikasi Profetik terhadap fenomena:

Dari  perspektif komunikasi profetik, praktik ini merupakan wujud dari pelaksanaan perintah pertama Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” (Al-‘Alaq: 1).

Quraish Shihab menafsirkan, ayat ini tidak hanya memerintahkan manusia untuk melakukan segala hal dengan menyebut nama Allah, atau beribadah atas nama Allah saja, melainkan menekankan pentingnya ilmu pengetahuan untuk dapat memahami wahyu-wahyu Allah baik dalam kitab suci maupun pada semesta.

Menurut Shihab, ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan pengetahuanlah umat manusia dapat menjadi khalifah (pemimpin) yang baik di muka bumi.

Selain menuntut ilmu, Islam juga mewajibkan untuk menyebarkan ilmu tersebut karena dapat menuntun orang-orang awam di jalan yang benar. Surat Ali Imran ayat 187 bahkan mengecam pihak-pihak yang mengetahui kebenaran namun menyembunyikannya.

 Yusuf Al-Qaradawi, jihad masa kini adalah bekerja untuk Islam dan gigih menyampaikan pesan dakwah dengan hikmah dan pelajaran, memakai ilmu pengetahuan dan kepandaian bukan dengan senapan dan peluru. Karena jika hidayah dapat tersampaikan melalui dalil, tanpa peperangan, itu lebih baik.

 Masalah yang dipandang menarik bagi peneliti:

·      Bagaimana pengalaman para pengelola divia unpad tv dalam melakukan komunikasi sains

·      Bagaimana bentuk-bentuk popularasi karya ilmiah ke dalam program siaran Divia Unpad TV

·      Bagaimana rentang/spektrum popularisasi karya ilmiah yang dilakukan pengelola Divia Unpad TV

Temuan yang diharapkan (meski masih bersifat hipotetis).

·      Makna dan pengalaman para pengelola divia unpad tv tentang komunikasi sains

·      Tipikasi Popularisasi Sains

·      Model Komunikasi Sains