Penulis : Nursyawal
Artikel ini juga terpublikasi secara lebih terperiksa di Bandung Bergerak
https://bandungbergerak.id/article/detail/1598899/obligasi-kaum-cendikiawan
Pendahuluan
Sebagian
warga negara Indonesia tentu pernah mendengar nama dokter Terawan
sebagai menteri kesehatan pada saat awal pandemi covid19 menyerang Indonesia.
Nama lengkapnya Letnan
Jenderal TNI (purn.) Prof. Dr. Dr. Terawan Agus
Putranto, Sp.Rad(k). Nama
dokter Terawan menjadi sorotan publik karena bersikap
meremehkan di awal kemunculan wabah covid19 di Indonesia.
Tidak lama kemudian ia masuk daftar reshuffle kabinet.
Sebelum menjadi menteri, Terawan sudah mendatangkan kontroversi seputar
pemecatan dirinya sebagai dokter oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dengan
tuduhan melakukan pelanggaran kode etik berat pada Februari
2018. Dokter Terawan dinilai telah menerapkan sebuah metode terapi
medis tanpa melalui tahapan yang diatur negara. Metode yang disebut Terawan
sebagai “cuci otak” itu adalah terapi terhadap penderita stroke atau gangguan
pembuluh darah di kepala, menggunakan gabungan teknik radiologi yang disebut Digital
Substraction Angiography
(DSA) dengan terapi injeksi heparin ke
pembuluh darah yang bermasalah. Untuk mempraktikan terapi ini, dokter Terawan
memakai 2 lantai Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat di Jakarta
dan menyediakan 35 tempat tidur dengan tarif layanan minimal Rp.30
juta perpasien (kumparan.com).
Nasib
agak mirip dialami seorang akademisi ahli elektro terapan Dr.
Warsito Purwo Taruno, M.Eng.
Lulusan Universitas Shizuoka Jepang,
yang mengembangkan terapi listrik untuk pasien kanker sejak 2004. Metode
pengobatan kanker yang memanfaatkan medan listrik dengan sebutan Electro-Capacitive
Cancer Therapy (UCCT)
dinyatakan oleh Kementerian Keseharan RI tidak boleh
digunakan karena tidak terbukti aman dan efisien. Klinik
warsito yang disebut klinik rompi antikanker ditutup oleh Pemerintah
Kota Tangerang Selatan
pada tahun 2016 atas dasar keputusan kementerian tersebut (detik.com). Selain
rompi, warsito juga mengembangkan helm antikanker. Pada
tahun 2019, metode ini disebut sebagai terobosan dan aman serta efektif ketika
diterapkan pada kultur sel oleh seorang peneliti dari institut teknologi
sepuluh nopember, dalam disertasi doktoral ilmu fisika mediknya (its.ac.id). Hingga Oktober 2023, klinik Dr. Warsito
Purwo Taruno M.Eng.
secara resmi belum dibuka kembali. Meski dari
situs web yang dikelola Dr. Warsito, yaitu ctech labs, dapat ditemukan sejumlah
percakapan antara warga yang berkonsultasi mengenai terapi kanker payudara
dengan admin pengelola web yang mempersilakan warga datang ke lab di tangerang
selatan. Dari situs web itu pula ditemukan dokumentasi kegiatan rapat evaluasi
uji coba ECCT terhadap hewan mencit bersama kementerian
ristekdikti dan UGM bertanggal 13 februari 2023. Hasil uji
coba itu disebut aman dan efisien untuk hewan percobaan (c-techlabs.com).
Melompat setengah milenium ke
belakang, ke daratan Eropa pada abad ke-16, seorang ahli fisika, matematika, astronomi dan filsuf, Galileo Galilei,
pun mengalami hal yang serupa. Ketika ia mulai
mempublikasikan teorinya yang mendukung teori Copernicus,
bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta melainkan hanya sebuah planet yang
mengitari matahari. Pandangan itu bertentangan dengan pandangan lembaga
kekuasaan negara saat itu, yaitu gereja, sehingga ia harus menjalani hukuman
pengucilan (tahanan rumah) pada tahun 1637 sampai akhir hayatnya di tahun 1642
(Encyclopedia Britannica,1922).
Sebelum mempublikasikan teori yang menentang kepercayaan utama saat itu, Galileo
mengemukakan banyak teori baru di bidang matematika, fisika,
kedokteran, dan filsafat.
Galileo meyakini bahwa bumi adalah planet yang mengitari matahari setelah ia dapat mengembangkan alat yang kemudian disebut teleskop, dari alat kedokteran yang disebut mikroskop. Melalui teleskop, Galileo dapat melihat dengan jelas permukaan bulan, satelit bumi, yang saat itu dipercaya memiliki permukaan halus bulat, namun ternyata penuh lubang kawah. Dari teleskop itu pula Galileo dapat melihat satelit planet Yupiter dan cincin planet Saturnus. Sebelum menemukan fakta tentang permukaan bulan, dan melihat hingga sejauh planet Saturnus, Galileo bereksperimen terlebih dahulu dengan cahaya, lensa dan mikroskop untuk mengembangkan teleskop refraksi (Britannica Concise Encyclopedia, 2006). Namun secanggih apapun metode dan sekokoh apapun teorinya, kebenaran pada saat itu ditentukan oleh otoritas agama, yaitu Gereja.
Sejarah Otoritas Pengetahuan
Dalam sejarah, sikap manusia terhadap pengetahuan
baru cenderung formalistik. Pengetahuan
baru harus melalui sejumlah tahap yang ditetapkan oleh lembaga ilmu pengetahuan
pemegang mandat untuk menetapkan dan memberikan rekomendasi terhadap
pengetahuan baru itu. Di abad pertengahan, millenium pertama, mandat tersebut
dipegang oleh lembaga keagamaan. Pada abad milenium kedua ini, mandat tersebut
dikuasai lembaga negara. Prinsip “jika nampak, maka itu
benar”, tidak serta merta menjadi pengetahuan dan dapat diterapkan,
tanpa izin lembaga pemegang kekuasaan atas apa yang dapat disebut sebagai
pengetahuan.
Apa
yang terjadi dengan dokter Terawan dan Doktor
Warsito adalah contoh pergulatan
otoritas pengetahuan ketika seseorang menganggap dirinya menemukan pengetahuan
baru kemudian berusaha meyakinkan orang lain tentang pengetahuannya itu. Ada relasi kuasa antara penemu pengetahuan baru dengan pemeriksa
pengetahuan itu. Juga
ketika seorang perempuan ahli fisika dan kimia, bernama Marie
Curie, berusaha meyakinkan dewan guru besar di Paris
Perancis, yang
seluruhnya laki-laki, untuk menerima teorinya tentang unsur
kimia baru, bernama polonium, dan
kemudian radium. Otoritas pengetahuan pun dapat berselingkuh
dengan ideologi patriarki, sehingga perempuan
tidak mungkin membuat pengetahuan baru. Sejarah ini dapat dilihat
dalam film produksi MGM berjudul “Madamme Curie”
yang dibuat pada tahun 1943, beberapa tahun setelah wafatnya Marie
Curie. Film yang kemudian di-remake oleh Amazon
Film dengan judul “Radioactive”
dan tayang di bioskop pada tahun 2020 (imdb.com).
Kontradiksi tidak
terjadi, ketika tidak ada yang mempertanyakan “jurnal mana dan terakreditasi apa”, saat
Plato dan Aristoteles
menuliskan teori-teorinya.
Kita harus mempercayai kata-kata mereka, seperti halnya
ethos-pathos-logos dalam buku Rhetoric-nya
Aristoteles, atau percaya saja penyataan Plato
dalam manuskripnya Republic tentang “seorang
raja haruslah seorang filsuf”. Tidak ada yang
mencibirnya karena tidak jelas metode sampling dan uji validitas datanya,
sebelum menyimpulkan hal itu. Kita cukup mengagumi cara kedua filsuf itu
berargumentasi tanpa perlu memeriksa linearitas sekolah
dan bidang keahlian mereka, serta scopus indexnya.
Ketika otoritas pengetahuan berada di bawah
kendali otoritas keagamaan seperti yang dihadapi Galileo Galilei
di abad pertengahan,
maka tafsir ahli agama, menjadi sumber
otoritas utama dalam memahami dunia. Pada saat itu,
justru disebut jaman kegelapan. Jauh sebelum abad
pertengahan, di jaman Yunani Kuno, universitas
sebagai otoritas pengetahuan sudah berkembang hingga era romawi.
Pada era kekhalifahan Islam,
majelis ilmu yang berbasis masjid kemudian berkembang menjadi madrasah dan
akademi, sempat menjadi otoritas pengetahuan, di mana ilmu diklasifikasikan,
didiversifikasi, dan para ahli (alim) memperoleh ijazah, sebelum jaman
kegelapan tiba (Makdisi, 1981).
Kemudian muncul perubahan sosial di Eropa
yang disebut dengan Pencerahan, renaissance, di mana otoritas
pengetahuan mulai beralih dari otoritas keagamaan ke otoritas ilmiah yang
bertumpu pada pengetahuan yang bersumber dari
diri sendiri dan metode yang terukur. Selanjutnya di abad ke-19, revolusi
industri menghadirkan lebih banyak penemuan teknologi mesin, termasuk mesin
cetak kertas yang memungkinkan penyebaran pengetahuan dalam skala yang lebih
luas. Pada saat itu, ensiklopedia memainkan peran penting dalam menghadirkan
sumber pengetahuan yang terjangkau oleh banyak orang. Memasuki abad ke-20 metode
ilmiah berkembang lebih canggih, dan institusi akademik semakin memainkan peran
penting dalam mengukuhkan otoritas pengetahuan. Referensi ilmiah, jurnal
akademik, dan lembaga penelitian menjadi sumber otoritas utama dalam banyak
disiplin ilmu (Riiegg dan Ridder-Symoens,
2003).
Pada jaman Yunani Kuno,
produksi dan penyebaran pengetahuan dilakukan secara
sistematik melalui lembaga sosial yang disebut universitas. Kata universitas
berasal dari bahasa latin “universitas
magistrorum et scholarium”, yang berarti "komunitas guru dan akademisi". Universitas
juga sudah ada lama di Asia dan Afrika (Makdisi,
1981), sementara sistem universitas modern berakar pada universitas abad
pertengahan di Eropa, yang didirikan di Italia dan pada
dasarnya berakar pada sekolah kristen untuk pendeta (Haskins, 1898).
Sementara di Indonesia, secara tradisional masyarakat berguru kepada “orang pintar”. Dalam sejumlah artefak naskah kuno, orang pintar itu disebut “Mpu”. Mereka memproduksi sejumlah catatan pengetahuan dan mendapat kepercayaan untuk “menyebarkan” kepintarannya kepada sejumlah murid. Pengetahuan mereka produksi berdasarkan intuisi, koleksi kisah leluhur, bahkan bisikan dewa yang disebut wangsit (Bahtiar dalam Mahasin dan Natsir, 1984).
Cara Manusia Menemukan Kebenaran
Sepanjang sejarahnya, manusia terus mengembangkan metode
untuk menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Positivisme dikritik
interpretivisme kemudian keduanya dikritik postmodernisme. Ada kritik yanag
menolak seluruhnya, ada yang membantah dan memperbaiki sebagian, ada yang berusaha
memadukannya menjadi metode campuran. Metode yang disebut sebagai “cahaya di
cakrawala ilmu sosial” (Cresswel, 2020).
Tidak banyak yang menyadari
dampak jangka panjang ketika merayakan terbebasnya akal manusia dari dogma dan
doktrin selama jaman kegelapan, bahkan untuk selebrasi kebebasan tersebut, disematkan
label “masa pencerahan”. Masa pencerahan memang mendatangkan optimisme dan
mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan serta semangat eksplorasi dan
menguatnya otoritas akademisi serta teknokrat dalam pembangunan ilmu
pengetahuan. Namun beberapa abad kemudian barulah disadari, paradigma positivistik
yang diagungkan oleh generasi masa pencerahan, menyebabkan materialisme,
egoisme, akibat penyembahan berlebih pada logika deduktif dan rasionalitas
mutlak. Eksplorasi memang memajukan ekonomi, tetapi sekaligus eksploitasi.
Modernitas akibat berkembang pesatnya ilmu dan teknologi, malah menempatkan
manusia diujung rantai makanan sebagai apex predator. Tidak ada lagi pemangsa manusia
selagi ia hidup, selain manusia itu sendiri. Manusia menjadi satu-satunya yang
dilayani oleh semesta. Kemudian terbentuklah hirarki akibat situasi itu. Yang
sesuai dengan keinginan manusia disebut moderen, adi luhung, yang lain, disebut
primitif. Dalam dunia akademik, hirarki itu juga muncul, teori-teori besar,
disebut grand theory dan sudah pasti ilmiah, yang bukan, disebut teori lain-lain
dan labelnya “pseudo ilmiah” (Azmi, 2013). Cara rasional lebih ilmiah dibanding
cara lain.
Akademisi menjadi bangsawan
moderen, menggantikan posisi raja-raja dan begawan. Seolah pengetahuan yang
dihasilkannya tak terbantahkan, apalagi oleh kaum awam. Tom Nichols (2017) menyebut,
sikap pongah para akademisi yang membangun jarak dengan kaum awam, pernah mendapat
perlawanan bahkan dari seorang anak kecil yang membantah pernyataan seorang
Profesor. Julian Benda (1927) menyebut sikap itu sebagai pengkhianatan kaum
intelektual yang berakar dari cara berpikir objektif dan bebas nilai. Ilmu
dikembangkan hanya untuk ilmu itu sendiri. Terinsipirasi oleh ideologi Benda, Moh.Hatta
(1957) dalam pidatonya di peringatan Hari Alumni pertama Universitas Indonesia
11 Juni 1957 mengatakan :
“dengarkanlah jeritan Albert Einstein dalam bukunya Out
of My Later Years. .. pikiran rasional saja tidak cukup untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kita. .. Pada suatu pihak ia menghasilkan
pendapatan-pendapatan yang memerdekakan manusia dari pekerjaan badaniah yang
berat, membuat penghidupan lebih mudah dan lebih kaya. Tetapi sebaliknya ia
membawa kegelisahan besar ke dalam penghidupan, menjadikan orang budak dari lingkungan
teknologinya dan lebih mencelakakan lagi dari gejala-gejalanya, membuat alat
untuk memusnahkan sesama manusia secara besar-besaran”.
Menurut Hatta, pengetahuan harusnya berfungsi untuk membebaskan manusia, meningkatkan kemanusiaan dan itulah pula tugas kaum cendikiawan (akademisi).
Penutup
Bagi awam, dunia akademis
bak dunia yang berada pada dimensi lain. Tak dipahami dan tak nampak. Kalaupun
nampak, ia seperti bersembunyi dibalik perhiasan gading, seperti yang disitir seorang
sastrawan Prancis pertengahan abad ke-19, Victor Hugo dalam puisinya, Les Contemplations
(1859) seabad setelah revolusi Prancis. Sebuah analogi untuk menggambarkan
situasi di mana pada pemikir, pemimpin, kaum bangsawan, kaum elit, yang tidak peduli
dengan kondisi rakyat jelata. Mereka seperti hidup dalam dunia mereka sendiri,
terisolasi dari kenyataan kemiskinan akut dan wabah penyakit. Seperti
diketahui, dalam konteks waktu, pada saat itu, gading gajah yang putih dan
kuat, memiliki atribusi sosial sebagai perhiasan mewah, berbeda dengan nilai
jaman sekarang ketika orang yang memiliki koleksi gading gajah malah merasa
kuatir ditangkap polisi. Sementara di jaman itu, bentuk bangunan kaum
bangsawan, ningrat serta sekolah-sekolah terkenal di Eropa, biasanya berupa
kastil dengan menara-menara. Maka muncullah istilah menara gading, tempat
bersembunyinya para intelektual di tengah kemewahan. Menghasilkan pengetahuan
yang tak menjawab persoalan rakyat jelata.
Ilmu pengetahuan
sejatinya adalah alat untuk memahami dunia dan menjalankan tugas sebagai
manusia di muka bumi. Namun nyatanya, hingga kini, masih digunakan sebagai alat
kekuasaan. Alat penindasan. Bukan pembebasan. Bahkan di ruang-ruang kelas. Cara
berpikir diseragamkan dan kebenaran mutlak digeneralisasi. Melawan hirarki
tersebut menjadi tindakan negatif. Pemikiran alternatif menjadi disiden. Moh.
Hatta mengingatkan, kaum cendikiawan memiliki kewajiban moral untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, menyejahterakan bangsa, dan membangun peradaban. Jangan
menjadi pengkhianat bangsa. Jika memiliki kuasa, hendaknya ia melayani, meski mereka
bukan kelompok kebanyakan. Jika ia menjadi rakyat, hendaknya tidak ragu
menyampaikan kebenaran, meski kebenaran tidak selalu berarti semua orang setuju
atau berlawanan dengan kekuasaan.
*****
Referensi
Buku
Ini alasan kemenkes larang klinik kanker warsito, 2016, Tempo.co https://nasional.tempo.co/read/725302/ini-alasan-kemenkes-larang-klinik-kanker-warsito (diakses 15/10/2023)
Membedah metode ‘cuci otak’ dokter terawan, kumparan.com https://kumparan.com/kumparannews/membedah-metode-cuci-otak-dokter-terawan/1 (diakses 15/10/2023)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar